Rabu, Januari 2010
Pada akhirnya hari itu datang juga.
Rumahmu ramai. Banyak laki-laki yang membantu mengangkat barang. Memindahnya ke mobil pengangkutan barang.
Saat itu aku hanya duduk di kamar, memeluk diri sambil menahan sesak yang berujung air mata. Sesekali mengintip lalu kembali meringkuk.
Pintu kamarku kian terketuk, perasaanku mulai teraduk-aduk.
Kamu pun berdiri di ambang pintu, tersenyum memandangku.
Tega.
"Aku mau pamit."
Aku mengalihkan pandangan, kemana saja, asalkan tidak beradu dengan bola matamu.
"Hey, Jinyoung-ie"
"Iya." Jawabku singkat.
Kamu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna perak yang berpitakan merah.
"Ini apa?"
Kamu pun tersenyum sambil menyerahkannya padaku.
"Hadiah perpisahan."
Kalau aku disuruh memilih hadiah perpisahan, bolehkah aku meminta untuk jangan pergi?
Aku tak tahu. Tiba-tiba air mata ini meleleh, turun membasahi pipi. Mengalir. Terus mengalir. Sampai bahuku bergetar tak kunjung berhenti.
Kamu hanya diam saja melihatku. Lama. Seperti menunggu air mata ini habis.
Tak tahu berapa lama kita berdiri.
Lalu kamu bawa jarimu menghapus sisa-sia air mataku yang tertinggal.
Lama memandangku. Mata kita bertemu seolah berbicara mewakili lidah yang kelu.
Kamu membawaku kedalam pelukan hangatmu. Pelukan perpisahan.
Entah kapan kita bisa bertemu kembali, lagi?
"Apa kita bisa ketemu lagi?"
Kamu diam seribu bahasa, menepuk-nepuk pelan punggungku.
Pelukanku semakin erat.
"Aku tidak bisa janji. Tapi aku berharap, iya."
Air mataku mengalir kembali. Di pundakmu. Untuk terakhir kali. Sebagai salam perpisahan.
Kamu pun berbisik kembali.
"Aku senang bisa kenal sama kamu Jie. Makasih sudah menemani masa kecilku sampai sekarang."
Menyakitkan berpisah denganmu, cinta pertamaku. Im Jaebum.

KAMU SEDANG MEMBACA
r.i.n.a.i [J.J.P]
AcakIm Jaebum. Jika kamu adalah hujan, mengapa aku harus berteduh? The story that you never expected GS