2

165 28 14
                                    

Berawal menjadi pelanggan lalu terpesona dengan keramahan dari seorang Jinyoung, Youngjae benar-benar menganggapnya seorang kakak. Menjadi anak semata wayang membuatnya merasakan hal baru dan menyenangkan saat mengenal Jinyoung. Ia lebih sering berkunjung ke kedai roti untuk sekedar mengisi waktu luang atau bahkan sempat membantu membuat roti.

"Unnie, besok aku mau kau datang ke pertunanganku. Aku mengundang khusus buatmu secara pribadi."

"Kalau begitu, mana undangannya?" Jinyoung melirik dengan sedikit mencibir.

"Sudah kubilang special. Dari mulutku sendiri." Youngjae terkikik.

Jinyoung hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ada-ada saja. Tapi serius, Youngjae tak pernah bercerita tentang calon tunangannya, bahkan gadis itu tak pernah memberitahu namanya.

"Aku penasaran siapa laki-laki yang beruntung yang akan menjadi tunanganmu?"

Laki-laki beruntung. Sebutan itu membuat pipi Youngjae menjadi kebas. Bukankah yang beruntung adalah dia sendiri? betapa susahnya menaklukan laki-laki yang dulunya selalu bersikap dingin terhadapnya.

"Hey , kenapa malah melamun."

"O-oh? Hahaha." Youngjae tertawa renyah namun terdengar ganjil.

"Ayolah ceritakan tentang dia kepadaku." Jinyoung benar-benar penasaran.

Youngjae tersenyum tipis, pandangannya menerawang ke atas, seperti memutar sebuah sebuah film di kepalanya.

Sebuah pertemuan unik dan sedikit menguras emosi.

"Dia. Tampan."

Hanya itu. Youngjae kembali menatap Jinyoung dengan menahan tawanya. Pasti kesal rasanya, penasaran menunggu cerita panjang namun berakhir cukup hanya dengan satu kata.

"Aish, menyebalkan." Gerutu Jinyoung.

Youngjae lalu tertawa sambil sambil memukul pelan meja. "Kau harus datang ke pertunangan kami dengan begitu aku akan mengenalkannya langsung padamu."

Jinyoung mengangguk, menyerah pada Youngjae.

.

.

Hari bahagia itu akhirnya datang juga. Sebuah kue dengan bergaya mewah sudah di kemas dengan rapi.

"Dahyun, kau pastikan kue ini dibawa hati-hati, suruh sopirnya jangan mengebut. Pokoknya tidak ada goresan sedikit pun, harus sempurna."

Dahyun memutar bola matanya sambil mengangguk-angguk. Sudah kali ketiga Jinyoung berpesan padanya.

"Baik nyonya, baik." Ucapnya dengan malas.

Setelah itu, dahyun beserta dua orang lainnya bergegas ke mobil untuk mengantarkan pesanan ke tempat pertunangan youngjae.

Jinyoung sebenarnya agak canggung datang sendirian namun ia tak punya pilihan lain. Tidak mungkin juga ia menolak undangan tersebut karena tentu akan membuat gadis ceria itu sedih.

"Sepertinya acara tukar cincinnya belum dimulai," gumamnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan diantara keramaian para tamu. Seharusnya tadi ia meminta Dahyun untuk menemaninya supaya tidak terlihat seperti orang yang linglung.

Sibuk mencari-cari sosok Youngjae yang tak kunjung nampak batang hidungnya, akhirnya dia bisa tersenyum lega. Youngjae ternyata berada di ujung sana.

Hendak menghampiri Youngjae, tiba-tiba langkahnya terhenti.

Mata Jinyoung membulat. Degupan jantungnya seakan berhenti berdetak. Darahnya ikut berhenti mengalir.

Youngjae tengah menggandeng sosok laki-laki yang sangat amat dikenalnya.

Amat mesra.

Atau memang, dia lah tunangannya.

Pikirannya berkecamuk. Dadanya nyeri bak ditusuk ribuan belati tajam.

Sosok yang tak pernah luput dari ingatannya. Bahkan setiap napas yang diucapkan laki-laki itu. Sembilan tahun lama tak bersua, akhirnya bertemu kembali.

Jemari lentik itu pun bergetar melihat laki-laki itu tersenyum setelah mendengar bisikan dari gadis yang di sampingnya.

Senyuman yang selalu dirindukannya. Senyuman yang dulu hanya miliknya.

Lidah pun kelu, napas menjadi tercekat. Ketika dulu nama itu yang selalu disebutnya dengan lantang. Kini pun tak sama lagi.

"Jae-bum," lirih Jinyoung. Tak ada yang mendengar karena dia hanya berbisik pada hatinya, meyakinkan diri apakah itu benar Jaebum-nya yang dulu?

Laki-laki bermata sipit itu menoleh ke arah kirinya. Jarak beberapa meter dari seorang gadis yang terpaku menatapnya.

Bola mata mereka bertemu. Sesaat waktu pun bergulir lambat. Skenario sembilan tahun pun berputar dalam benak mereka masing-masing.

Jinyoung tak sanggup lagi. Rasa rindu yang menggelora sekaligus hancur bertumpuk menjadi satu.

Akhirnya dia berbalik, memalingkan wajahnya. Kakinya melangkah menjauh sebelum air mata ini benar-benar jatuh.

Inikah jawaban dari cinta yang dipendam sejak lama?

Kalau iya, tolong cabut perasaan ini atau berikan kelapangan hati untuk menerimanya.

Pertemuan pertama mereka. Kamis, Februari 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

r.i.n.a.i [J.J.P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang