Sementara Monic dirumah sakit...
Terus memandangi Ayahnya yang tubuhnya terbalut selang, wajahnya begitu pucat dan tak tersadar. Sembari berdo'a agar Ayahnya cepat sadarkan diri dan menemaninya kembali. Terlihat Dokter memasuki ruangan itu, memeriksa keadaan Ayah Monic berkata beberapa kata Motivasi pada Monic lalu kembali meninggalkan ruangan yang bau obat itu.
Monic mendekat memeluk ayahnya yang bertubuh dingin dan hampir kaku "Yah, Monic pulang sebentar. Monic harus ngurus ibu untuk yang terakhir kalinya" sembari menangis dalam dekapan Ayahnya. Tanpa sadar tangan Ayahnya membalas pelukan Monic, Monic yang terkaget teburu-buru menghapuskan air mata dipipinya kemudian memanggil dokter.
Setelah dokter mengeceknya "Nak, Ayahmu memang sudah sadarkan diri, tetapi ia masih perlu banyak istirahat"
Monic merespon dengan lega "Makasih dokter" Ia berjalan keluar ruangan bersama sang dokter kemudian menuju luar rumah sakit ia pulang mengurus ibunya untuk yang terakhir kali. Sepanjang perjalanan Monic hanya berada pada tatapan kosong tak ada gairah. Sampai dirumah ia melihat banyak kerabat dan tetangga, terpampang bendera kuning di gerbang rumahnya. Melihat itu lagi, ia hanya bisa menangis. Monic mulai menjejakkan kaki di ubin rumahnya, memasuki ruang tamu tergeletak jenazah ibunya ditutupi kain putih dari kaki sampai kepala. Ingin ia membangunkan Ibunya yang sedang tidur itu, tapi mustahil "Ibuku sudah tidur untuk selamanya" isakkanya semakin deras.
Teman-temanya dan para guru tiba disana termasuk Kalla. Monic kembali duduk dengan pandangan kosong, Kalla menghampiri Monic duduk disebelahnya dan memeluk sahabatnya itu. Hanya ada wajah haru yang jelas. Rombongan berjalan menuju tempat pemakaman,begitupun Monic berjalan dengan lemas seolah tak pecaya, hatinya tak terima tapi itu takdir tak bisa dilawan ia HARUS menerimanya.
Monic berusaha menerima dengan ikhlas, wajah dan penampilanya yang berantakan sangat jelas mengungkapkan perasaanya yang hancur. Melihat tahap demi tahap ibunya memasuki lubang tanah kotak. Lalau ditaburkanya bunga diatas makam Ibunya itu, tertulis jelas nama ibunya di batu nisan. Membuat ia menjadi semakin haru, dirinya sudah tak sinkron.
Rombongan itu kembali kerumah, dan baru beberapa menit tanpa ibunya. Hidupnya terasa hambar. Memang sulit mengikhlaskan orang yang kita sayang apalagi ia sangat dekat. Ingin rasa hati Monic menghampiri makam ibunya dan menggalinya lagi, membangunkan ibunya mengajak ibunya hidup lagi. Monic benar-benar tak tahu harus apa siapapun tolong bilang sama Monic, begitu ucapkan dalam hati.
Waktu berlalu semua tetangga pulang kerumahnya masing-masing, hanya tersisa kerabat dekat Monic disana. Kalla dan Ferdinan juga masih ada disana.
Monic memegang foto ibunya dan memandanginya,
"Gue paham gimana rasanya kehilangan Mon, pasti berat banget, gue tau. Dulu waktu gue diposisi lu, emang gue sendiri gak terima. Tapi gimana? Itu semua udah kehendak dan gak mungkin banget buat kita nentang. Satu-satunya jalan yang terbaik Cuma ngikhlasin Mon. Gue yakin lu kuat Mon, lu gak akan kesepian Mon disini masih ada Kalla, Ayahlu, Temen-temenlu, Ya gue tahu mereka ga bisa gantiin posisi Ibulu. Tapi setidaknya mereka juga sayang sama lu dan mereka juga berhak ada di hati lu" Suaranya terdengar begitu lirih dan pelan, dan sangat menyadarkan Monic yang sedang melamunkan dukanya, sayang Monic tak sempat melihat wajah orang yang bicara penuh makna itu. Sehingga membuat Monic mendapat sedikit pencerahan.
Kalla yang menguping pun tersenyum, melihat Ferdinan yang badung alias nakal bisa bicara sebijak itu. Sampai dirinya juga ikut terharu dan mendapat pencerahan.
Setelah 2 hari berlalu, ditambah kesehatan Tn. Benlivoi mulai membaik, ini merupakan kabar baik bagi Monic, Senyum kembali tersirat diwajahnya, keceriaan kembali menghiasi aktivitasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Linear JARAK
Teen FictionIni bukan tentang MATEMATIKA Tapi, cerita tentang dia dan aku yang tak tahu akan bersatu atau membiarkan hubungan kita begitu saja. Mungkin bersatu tapi bukan sebagai pasangan? Ini bukan menyalahkan takdir, sekali lagi BUKAN!! malah aku ingin mener...