11. Sebuah Pengakuan

99 33 7
                                    

Arguby bergegas turun saat sudah memarkirkan mobilnya di pelataran Starbucks kafe. Ia masuk dan mengedarkan pandangannya mencari sosok Bella. Terlihat cewek yang ia cari sedang memainkan ponselnya dengan senyum terus mengukir di bibir manisnya.

Arguby mendekat, wajahnya terlihat sangat marah. Menggebrak meja yang merupakan tempat duduk Bella.

"Dimana Alova?" tanyanya ketus.

"Arguby." Seakan senang dengan kehadiran Arguby, Bella tersenyum sumringah. "Duduk," perintahnya genit.

"Dimana Alova?" Arguby mengulang pertanyaannya.

"Kenapa nyariin dia? Ada gue, yang pastinya lebih baik dari dia."

"Gue tanya, dimana Alova?!" bentak Arguby. Membuat mereka kini jadi bahan tontonan.

Bella tersenyum sinis. "Alova udah lenyap. Gue udah bilang, jangan telat."

"Kasih tau gue, dimana Alova?" Pertanyaan Arguby penuh dengan tekanan.

"Apa dia penting banget buat lo? Lebih dari seorang Audy?"

Kemarahan Arguby memuncak. Ia mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.

"Kalo sampe ada apa-apa sama Alova, lo yang bakal mati." Arguby berbalik dan melangkah.

"Audy meninggal karena lo, kan?" Suara Bella membuat langkah ketiga Arguby berhenti.

"Lo nggak jatuh cinta, selama itu, karena kesalahan lo sendiri, iya kan?" Bella mencecarnya dengan pertanyaan.

Arguby kembali melangkah.

"Arguby!" panggil Bella. Suaranya sama sekali tak digubris oleh cowok itu.

Arguby segera meluncurkan mobil miliknya melalui jalanan kota yang di samping kanan kirinya terdapat gedung-gedung pencakar langit, pusat kota yang selalu ramai entah itu oleh manusia atau kendaraan umum.

Ia mencoba menghubungi nomor Alova namun tak ada jawaban.

"Aish," gerutunya saat melihat jalanan di depan matanya macet. Bahkan suara klakson hampir membuatnya berteriak kesal. Arguby penasaran akan kemacetan yang terjadi, ia pun membuka kaca mobilnya dan mendongakkan kepala hingga keluar.

"Haduhh," ujar seseorang laki-laki paruh baya yang berjalan tepat melewati mobil Arguby.

"Pak, mau nanya. Macet kenapa?" tanya Arguby sopan.

"Kecelakaan, tragis bener. Meninggal di tempat," jawabnya bergidik.

Arguby menyerah. Ia kembali menarik tubuhnya masuk ke dalam mobil. Menghembuskan napas berat.

"Lo dimana, sih?" Arguby kembali menghubungi nomor Alova, dan hasilnya masih nihil.

Hampir setengah jam Arguby terjebak macet, akhirnya berangsur mobil di depannya maju. Seperti mendapatkan kesempatan, Arguby melajukan mobilnya perlahan. Mata Arguby kini melihat hal yang tak biasa, ia melihat Hans tengah berdiri tak jauh dari para kerumunan orang yang menyaksikan kecelakaan.

"Ngapain tuh orang di sana?" tanya Arguby tak mengerti. Tak mau ambil pusing, Arguby pun berhasil meninggalkan tempat kejadian perkara kecelakaan. Ia kembali melajukan mobilnya dengan cepat.

Ia berhenti di pelataran sebuah apartemen mewah, yang merupakan tempat tinggal Alova. Arguby melangkah cepat saat memasuki lobi. Ia menggunakan lift sebagai akses menuju lantai yang ditujunya.

Setelah pintu lift terbuka di lantai delapan, Arguby bergegas keluar. Ia sedikit berlari ke apartemen Alova. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Menekan tombol bel berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Arguby mengetuk pintu dengan keras, sembari mulutnya memanggil nama Alova.

FantasiaLova [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang