1》Plan

59 8 0
                                    

"Ya Seehi, kau sungguh akan keluar dari desa ini?"
Sudah lebih dari satu jam Seehi duduk berdua dengan sahabat kecilnya, Kim Namjoon. Pemuda dengan lesung pipi dan terkenal akan ketampanannya. Tapi hanya itu pertanyaan yang lagi-lagi terdengar dari mulut Namjoon.

"Aku sedang berusaha, makanya kau harus bantu aku cari tau caranya."

"Besok ayahku akan membeli peralatan pertanian untuk persediaan warga desa, kau bisa diam-diam masuk ke mobil ayahku. Itupun kalau kau berani."
"Untuk sekarang kau bisa memberiku saran, tapi aku jamin besok kau juga yang akan menggagalkan usahaku lagi. Tidak bisakah kau membiarkanku benar-benar keluar dari desa ini? Aku sungguh bukan anak kecil lagi Joon, berhenti pura-pura mendukung tapi nyatanya di otak cerdasmu itu tersusun cara untuk menggagalkan semua rencanaku" keluh Seehi panjang lebar.

"Tidak bisakah kau berfikir aman? Aku hanya berusaha menutupimu dari ayahku, Seehi. Ayahku tidak akan membiarkan siapapun keluar dari kurungan ini. Akupun sama sepertimu, mengharapkan kebebasan dan kesenangan di luar sana. Aku tidak mau kau terluka. Kau bahkan sangat mengetahui dengan gamblang konsekuensinya." Sungut Namjoon yang mulai terpancing emosi.
                           -_-_-_-

-Lee Seehi-

Kehidupan di Desa Genji. Aku tak tau harus menjelaskan dari sisi mana terlebih dahulu. Persediaan air yang sulit, buruknya infrastruktur, atau peraturan desa yang terkesan mengekang. Hidup di Genji mungkin bukan pilihan buruk untuk para orang tua atau bahkan para lanjut usia, tidak rugi juga untuk mereka yang masih lugu dan belum tau keterperangkapan yang sebenarnya menunggu mereka. Nanti, saat beranjak remaja perasaan aman akan mulai terusik. Kebebasan yang harusnya hak kita, dijadikan sebagai ke-haraman.

Larangan keluar dari desa ini sungguh menyiksa. Hanya untuk berbelanja pakaianpun dilarang. Segala sesuatu biasa dibeli di Kepala Desa, ayahnya Namjoon. Apapun itu. Dari pakaian sampai bahan pangan, dari yang berat sampai yang ringan, dari yang mudah sampai yang susah.

Bahkan parahnya, warga Genji dilarang menikah dengan orang luar. Jangankan menikah, bertemu saja tidak pernah. Desa ini benar-benar terisolir dari dunia luar. Bagai mengasingkan diri dengan suka rela. Kira-kira hal ini bermulai sepuluh tahun lalu, saat umurku baru menginjak tujuh tahun. Masih enggan memikirkan hal semacam itu. Masih kuanggap wajar dan tak mau peduli atau bahkan memang tak tau menahu.

"Seehi, apa kau sudah membeli persediaan beras?" Eomma keluar dari pintu kamarnya sambil menenteng dompet. Belanja bulanan, aku melupakan itu hari ini.

"Seehi akan membelinya nanti Eomma." Malas keluar dan bertemu Namjoon.
Sudah kubilang, untuk membeli  keperluanpun warga desa harus membelinya langsung ke kepala desa. Sungguh akupun bingung dengan pemikiran warga desa yang terkesan kolot.
"Kepala Desa tidak akan membiarkan warganya menggunakan barang-barang atau bahan masak yang buruk."

"Harus sekarang, Seehi. Sebelum kehabisan."

"Eomma, tidak akan kehabisan." Sanggahku terkesan merengek.
"Bertengkar dengan Namjoon lagi ya? Kalian bukan anak kecil, masih saja bertengkar."

"Karna aku bukan anak kecil lagi, biarkan aku menghirup udara luar  Eomma." Aku berubah serius,

                            -_-_-_-

Seehi terlihat berjalan sambil sesekali menghembuskan nafas dengan kasar. Setelah mengucapkan kalimat sakral itu 'lagi' di hadapan Eomma, Seehi  melenggang pergi berbekal uang yang tadi sempat ia ambil dari tangan Eomma.

"Uh, Rara? Han Rara?" Langkahnya terhenti saat di hadapannya kini berdiri perempuan dengan wajah datarnya.
"Kau, datang lagi kesini? Setelah berhasil kabur? Yakk, kau gila?"

Han Rara memang lebih beruntung dibanding Seehi. Gadis itu bisa bebas karna ia seorang yatim piatu yang artinya tidak ada orang rumah yang akan menjaganya ketat seperti Seehi.

Sekitar satu tahun lalu, Rara berhasil lolos dan dikabarkan menetap di kota. Itu yang terakhir Seehi dengar dari teman-temannya yang lain.

"Aku kembali, Seehi. Untuk membantumu. Membawamu bersamaku."
Seehi terpaku sesaat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rara tanpa ada raut ragu di wajah gadis yang dikenal dingin itu.

"Kau mau kan? Ikut denganku dan memulai semuanya di kota."

"Apa yang kau bicarakan, Rara? Kau mabuk?"

"Pergi sekarang atau tidak sama sekali. Aku akan membantumu. Tidak usah membawa apapun. Cukup dirimu."
Bagai godaan, Seehi linglung dan perlahan mengangguk sedikit ragu.

"Aku percaya denganmu, Rara. Ayo kita pergi dari sini, bawa aku."

"Tapi ingat kata-kataku, Seehi. Apa yang kau pikir mudah, tetap ada resiko setelahnya. Bersikap tidak tau dan tidak tau malu adalah sikap yang harus kita terapkan nantinya. Jangan mudah terhasut. Siapkan dirimu, semua benar-benar dimulai saat kita keluar dari sini"

Plan -end-


























Next?

First story nih :)...
Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan, Terima kasih. :)

EVADERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang