[ intro ] Oleander.

9.9K 1.2K 303
                                    


—Dinasti Joseon, Agustus 1412.








"Cepat!" kepala pelayan berlari menyusuri pilar-pilar koridor; wanita tua itu membimbing dayang lain menuju kamar putra mahkota.

Sementara di dalam sana wanita cantik yang terbaring ini mengernyit sambil memegangi perut besarnya, menahan sakit teramat sangat ditemani Sang ibunda Permaisuri.

Setelah membuka dua belah pintu, Si kepala dayang mengangkat bawahan dangui hijau polosnya, "Cepat-cepat-cepat!" maka dayang-dayang lain bersiaga sambil menunggu bidan yang telah dipanggil salah satu penjaga istana, mereka bersiap dengan peralatan seadanya untuk kelahiran cucu pertama dari kekaisaran Raja Agung Taehoon.

.

Panah menembus dada, darah mengalir bersanding pedang-pedang terayun, di atas kuda yang gagah mereka kembali membumihanguskan satu sama lain dalam ambisi. Jeritan keras memandu sorai sebelum hempasan bilah itu kembali menghantarkan kematian.

Pada dataran bumi, bukit di semenanjung perbatasan antar dua kekaisaran menjadi saksi bisu ribuan prajurit tumbang dan berserak menjemput ajal.

.

Di luar istana, penjemputan Sang bidan terhenti sebab panah yang menembus dada satu dari dua utusan kaisar yang membawanya. Hal ini menjadikan sisanya bersiap melindungi Sang bidan, akan tetapi busur kembali terhempas entah dari mana.

Tatkala kedua pria itu tergeletak tak lagi bernyawa, di jalanan sepi ini wanita tersebut tampak gemertar begitu lelaki dengan wajah tertutup menyisakan sekembar mata mengintip sadis melompat dari ketinggian, sempat berjongkok di depannya sebelum bangkit dan berjalan mendekat sambil menggenggam kepala pedang di sisi tubuh.

Maka hal ini menjadikan Sang bidan yang tak berdaya berlutut memohon ampun, air mata mengalir di wajah tuanya yang ketakutan; jangan bunuh saya, saya mohon tuan, jangan bunuh saya, racaunya lirih. Akan tetapi, tanpa melewati waktu lagi lelaki itu mengangkat pedang dari sarung, sekedar menusuk dada Sang bidan hingga menembus pada punggungnya.

Pemberontakan.

Jelas ini pemberontakan.

Sesaat sebelum mengembuskan napas terakhir, wanita itu sempat menyaksikan jelas-jelas kemilap rembulan terpantul dari onix besar sosok ini.

.

Menunggangi kuda yang meringkik mengangkat kedua kaki depan, Sang Putra Mahkota menghentak tali digenggaman; kobaran semangat juang terpancar dari sekembar mata tajamnya.

Akan tetapi, tatkala salah satu ksatria yang dikirim kerajaan menyusup dan menghindari seluruh serangan demi berhenti di sisi kudanya; sekedar menyampaikan kabar penting kepadanya, pecah itu tercipta, sunyi pada berisiknya daratan tempur yang sengit pupus bersama luka. Maka detik tatkala pengelihatannya yang termenung menemukan pemimpin dari pasukan musuh, pancaran semangatnya terkubur oleh api amarah begitu besar. Ia menggemelatak gigi-gigi sebab angkara, hening mengosongkan otaknya dalam keperihan, sebelum dengan pedang di sebelah tangan yang selalu siap, kuda ini berlari menuju lawan tandingnya.

.

.

.

Mentari menuju pagi berpegang pada gumpalan kelabu awan menutup bias mentari. Di atas punggung kuda yang berderap cepat ia memimpin pasukan menuju istana utama; diiringi sambutan masyarakat desa atas kemenangan mereka di medan perang. Namun sirat pada paras itu tampak serius; sorot matanya mematikan namun membendung banyak duka.

Lantas sesampai mereka di dalam lingkungan kompleks kerajaan, figur ini menuruni kudanya dan berlari menuju halaman tengah yang telah menjadi pusat berkumpul seluruh penghuni istana.

Maka langkah cepatnya sempat terhenti, lalu berganti pijakan tertatih mendekati kamar bersama puluhan pasang mata yang menatapnya sama pedih. Hanya untuk menjaikannya tersungkur dalam pesakitan teramat besar saat melihat wujud yang tertutup kain putih di dalam sana.

Ia tak ingin mempercayai, namun fakta menamparnya kuat-kuat begitu membuka kain putih yang menutupi wajah pucat istrinya.

Bola matanya berpendar, gemetar; "An-anakku ... a-apa ...?" ia memutus penggalan kata di sana, menggantungnya saat menoleh menatap Permaisuri yang telah menangis dalam diam. Namun wanita ini tergugu beberapa saat, lalu menggeleng perih bersama air mata yang kembali jatuh.

Dengan begitu, persetan wibawa seorang Putra Mahkota, ia menangis sejadi-jadinya di hadapan jasad Sang istri yang gagal melahirkan buah hati mereka.



●●●



—Dinasti Joseon, Agustus 1417.



Lima tahun selepas hari itu, tak ada lagi Sang putra Mahkota yang bersinar dan dekat dengan rakyatnya. Pembawa kebahagiaan juga senyuman.

Kini, seluruh Korea mengenal pewaris utama kaisar Taehoon sebagai pribadi yang keji dan luar biasa diktatoral. Dalam sunyinya yang mengancam, sosok ini hanya berbicara dalam agrumen yang tak kenal belas kasih.

"Putra Mahkota memasuki ruangan," pengumuman kecil dari penjaga ini bersambut terbukanya pintu dari luar, lalu pemuda yang tak lagi menyinggung senyum pada parasnya melangkah ke dalam dan menunduk sopan pada Sang Raja yang membelakanginya.

"Apa yang membuat Anda memanggil saya, Ayahanda?"

Masih memandang area luar ruangan, ke tanaman-tanaman hias di taman kerajaan, Sang Raja sempat menghela napas sebelum bertutur tegas, kedua tangannya berada di belakang punggung penuh wibawa, "Wangseja, putraku. Telah lama kau berlarut-larut dalam kesedihan. Pekan depan putri dari seluruh bangsawan negeri ini akan berkumpul di perayaan hari jadi istana. Aku ingin kau memilih satu untuk mendampingimu sebelum kenaikan tahta."

Terperenjat, sosok ini melebarkan matanya tak sependapat, dengan kening yang berkerut dalam ia menggeleng pelan, "Tidak, Ayahanda. Tidak akan ada yang bisa menggantikan Jisoo-aku tidak ingin siapapun menggantikannya."

"Kim Taehyung!" pada akhirnya pria itu berbalik, menatap tajam putra tertuanya dengan retina membakar, "Hidupmu harus tetap berjalan! Kematian istrimu tidak berarti lebih besar dari kelangsungan kerajaan! Aku tidak peduli pada pilihanmu untuk menolak-bagaimanapun, kau harus mencari istri, atau aku yang akan menentukannya!"



●●●

Lelaki itu berlutut satu kaki di hadapan Sang Selir Raja yang duduk mengangkat satu kaki di balik dungui megahnya, dengan kepala dayang kepercayaan terduduk sopan di sebelah.

"Kau," wanita itu tersenyum di wajah dewasanya yang tetap cantik, "Aku menyukai hasil kerjamu lima tahun lalu."

Di ruangan yang hanya berisi tiga orang ini, wanita itu menoleh pada Sang dayang, menitahkan agar keluar meninggalkan mereka berdua. Maka manakala sosok tersebut menunduk santun dan beranjak dari sana; menutup belah pintu dengan sepenuh pengabdiannya, Sang selir raja melunturkan senyuman, sekedar membuang muka ke arah lain dan bertutur dingin, "Aku ingin kau melakukan satu tugas lagi, Jungkook-ssi."

Sejenak pemuda itu hanya terdiam, hingga ia mendongak dan Sang selir tertinggi kerajaan ini memalingkan minat menjadikan atensi mereka bertemu.

"Kau melaksanakan tugas dengan hebat. Kini aku mempercayaimu ... untuk menghabisi Putra Mahkota sebelum kenaikan tahtanya."







~❀✿❀~

⌚ 30 November 2019 ⌚

BTS TAEKOOK AU
FANFICTION

SPESIAL COLLAB
PROJECT

Fatharai
joliyeol
TootooBoo



H A P P Y   R E A D I N G —

Deadly NightshadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang