"Gue gak butuh apa-apa untuk sembuh dari sakit, cause you are a medicine for all of my pain, Ra. Only you, Cevara.''—Ganesha Haryan Putra.
🌼🌼🌼
Sore itu tribun lapangan basket outdoor penuh dengan teriakan nyaring dari pemilik para gunung kembar, alias kumpulan perempuan.
Ada yang berteriak layaknya orang normal sembari menyebut nama pemain favorit, ada pula jenis seperti orang kerasukan yang berteriak nama pemain lalu meniup terompet yang diakhiri berjoget-joget tanpa rasa malu. Kericuhan yang menambah penat Rara ketika mencoba menikmati aksi para lelaki berlengan seksi yang saling berebut si bundar berkulit oranye di bawah sana.
Tak terhitung, sudah berapa kali dahi Rara berkerut setiap mendengar pujian hiperbola para supporter bucin yang mengidolakan sahabatnya. Si objek tunggal yang menjadi perhatian Rara.
Walau terkadang ia lebih fokus menggerutu dalam hati, menimpali ocehan perempuan berisik di sekitarnya. Seketika ia menyesal menjadi bagian dari kerumuman itu, berdesakkan bersama puluhan atau bahkan ratusan orang hanya demi menonton tanding persahabatan antara jurusan akuntansi dan kedokteran daripada rebahan di kasur nyamannya.
Kalau bukan akibat Ryan yang mengancam mogok bicara seperti saat Rara pulang tanpa menonton latihan rutinnya. Dipastikan gadis berkuncir ekor kuda tersebut juga malas berada di sana.
Mungkin nyalinya patut dipersalahkan sekarang, sebab mogok bicara pada Ryan sama dengan tak akan ada bala bantuan mengerjakan tugas.
''Ryan semangat!!!'' teriak banyak gadis di bagian belakang.
Rara mengernyit memegangi telinga. "Astaga! Dia habis makan toa apa gimana, sih?!'' dongkolnya.
"Mati gue, woi! RYAN PAMER JIDAT ITU!!! ASTAGA MATI GUE KEREN BANGET!!!''
"MATI JUGA GUE, MASA BAJUNYA DIANGKAT-ANGKAT, WOI!!!"
Kedua telapak tangan Rara serempak kembali menutup telinga. Tak lupa, bibir ranum itu ikut menyumpahi kelakuan kurang ajar Ryan yang sengaja tebar pesona.
Memiliki jeda, Ryan menyempatkan mencari keberadaan seseorang. Tangan kekarnya santai menyuar rambut ke belakang agar tak menghalangi pandangan, sebelum beralih menyeka keringat menggunakan bagian bawah kaos basket. Tak sungkan membagikan pemandangan indah berupa jejeran otot kencang perut kotak-kotak kebanggaannya.
Lelaki basah itu menyunggingkan smirk nakal ke arah tribun, begitu netra tajam yang dinaungi sepasang alis tebal berantakannya menangkap sosok yang diharapkan hadir.
Rara dan wajah kesal yang duduk di bagian tengah.
Tepat pada detik berikutnya ia menerima bola. Satu langkah panjang Ryan menghantarkan nilai papan skor di ujung sana berubah tiga point.
Mata Rara spontan terpejam begitu lengkingan semakin gila, tiba sang kapten bertubuh atletis tersebut berhasil mencetak skor sempurna melalui lay up indah yang acap kali dipamerkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear R #ODOC_TheWWG 2019
Chick-LitTersisa sebagai satu-satunya perempuan dalam keluarganya, membuat Rara selalu menjadi fokus utama. Walau jarang meminta, ia selalu mendapatkan apa yang dibutuh dan inginkan tanpa perlu banyak bicara. Namun mampukah Rara mendapatkan Ryan, sahabat ke...