Chapter 10

17 9 2
                                    

Singkat cerita, tibalah hari dimana 4 orang sahabat dan juga Anto. Tepatnya kami berlima sedang berada di dalam mobil dan perjalanan menuju tempat disekitar meninggalnya Revan.

Tiga hari yang lalu, tepatnya di hari rabu kami semua mencoba datang ke kantor polisi dan meminta agar kasus Revan dibuka kembali. Namun karena banyak prosedur yang harus dilakukan bahkan harus meminta persetujuan dari keluarganya, maka kami memilih untuk mencari sendiri apa penyebab Revan meninggal apapun resikonya.

Mobil Affan berhenti disuatu tempat yang agak jauh dari lokasi, karena lokasi camping harus ditempuh dengan jalan kaki kira-kira dua kilometer.

Aku dan yang lainnya mulai turun dari mobil serta mengeluarkan barang-barang keperluan yang sudah disiapkan sebelumnya. Aku menggendong tas yang cukup berat begitupun yang lainnya.

Mulai melangkahkan kaki serta bergandengan satu sama lain dengan berbaris karena jalanan yang sempit harus dilalui satu orang. Tujuan bergandengan adalah agar tidak ada yang lepas dari pengawasan karena kami pun tidak di dampingi oleh pembina ataupun pembimbing maupun orang dewasa. Yang namanya nekat ya seperti ini mungkin.

Di barisan paling depan adalah Anto karena dia yang pertama kali meminta untuk mencari tahu penyebab kematian Revan. Di barisan kedua Ada Affan dan seterusnya ada aku, Dira dan Nando yang paling belakang.

Karena jalanan yang cukup bersahabat, tidak licin dan dominan aman untuk dipijaki. Tak perlu waktu lama akhirnya kami pun sampai di lokasi camping yang berjarak dua kilometer.

Terdengar suara air terjun dari kejauhan dan hawa sejuk yang dapat menenangkan pikiran. Lokasinya cukup esktrim karena terletak di atas dan ada jurang di samping kiri namun lumayan jauh dari tempat tenda kami berdiri.

Aku dan dira menggelar sebuah tikar dan duduk di tikar tersebut sambil menunggu tiga cowok membangun dua buah tenda.

Samar-samar mataku kembali menangkap sosok Revan yang berdiri sangat dekat dengan jurang, salah pijakan beberapa senti saja maka akan terperosok ke jurang yang cukup dalam. "Revan!" ucapku sambil mengucek mata memastikan itu Revan atau bukan.

"Itu bukan Revan, itu makhluk lain" sahut Anto yang mendengarkan ucapanku.

"Udah kamu jangan deket-deket jurang, udah cukup waktu itu aja kamu jatuh dari air terjun karena halu lihat Revan" ucap Affan yang tangannya masih sibuk mendirikan tenda.

Aku berdecak kesal dan memutar arah dudukku membelakangi jurang agar tak tepancing dengan penampakan Revan. Entah mengapa aku malah memperhatikan Nando yang sedang sibuk bersama Affan.

Dira menjentikkan jarinya persis di depan mataku "Ngapain ngeliatin Nando mulu? Suka ya?" Ucap Dira sambil menyenggol lengan untuk menggodaku.

"Ngaco! Ya rajin aja si Nando dari pada Anto" ucapku sambil menyengir.

"Ya iyalah orang gue sendirian dan Nando sama Affan, gimana gue gak kuwalahan coba" sahut Anto.

Aku melepas tas ranselku yang berat dan membantu Anto untuk mendirikan tenda cewek. Dira pun ikut berdiri dan membantu Anto bersamaku.

"Eh tukang palak, masa benerin tenda aja gak bisa" ucap Dira.

"Enak aja manggil tukang palak, mau gue cium" cengir Anto.

"Najis tralala ya gue dicium lo. Sampe gue harus mandi di campur tanah"

"Lo kira gue anjing" kesal Anto.

"Jangan berantem mulu, cinta itu berawal dari benci" ucapku mencoba menengahi.

"Berarti lo pernah benci sama Affan dong?" ucap Anto.

"Ya enggak lah ANTO" ucapku.

•••

Hari ini adalah hari jum'at, kami memutuskan untuk berangkat hari jum'at agar mempunyai waktu yang cukup panjang di hari sabtu minggu untuk mencari tahu tentang Revan.

Hari mulai gelap, pun tiga cowok itu mulai menata kayu bakar dan memantikkan api agar dapat menghangatkan tubuh serta memberi penerangan. Langit nampak indah dipenuhi dengan cahaya bintang yang bertaburan bebas pun bulan yang sedang bulat sempurna membuat malam terang karena pantulan sinarnya.

Affan mengeluarkan sebuah gitar dari tenda cowok dan mulai memainkannya, kami berlima duduk di satu tikar yang cukup lebar untuk alas duduk.

"Rin temenin gue ke kamar mandi" ajak Dira.

"Enggak jangan, kamu sama Nando aja bahaya kalo cewek-cewek doang" ucap Anto.

"Yauda deh, ayo Nan" ucap Dira.

Mata Anto tak bisa lepas memandang Dira dan Nando yang mulai turun ke bawah untuk ke kamar mandi. "Rin, buka tas nya Dira dan cari buku diary warna merah muda" ucap Anto.

Aku mengernyit heran dan tak berkutik sementara Affan masih fokus dengan senar gitarnya. "Kata Revan, ada petunjuk di buku itu" sambung Anto.

Tanpa bertele-tele aku langsung bergerak dan mencari keberadaan buku tersebut, ku buka resleting tas bangian depan milik Dira dan di sanalah ku temukan buku yang Anto maksud.

Aku keluar dari tenda dan kembali duduk di tikar dekat api unggun.

"Baca halaman terakhir dari buku itu" ucap Anto.

Hanya anggukan yang ku berikan dan segera ku buka buku halaman belakang.

"Baca yang keras" ucap Anto.

Aku menarik nafas panjang dan mulai membaca.

Dear, Revan.

Maaf ya aku waktu itu tidak sengaja dan aku menyesal.
Kamu berada di dekat jurang bersama Syifa. Aku sengaja menyenggol Syifa agar jauh dari kamu tapi Syifa malah dorong kamu dan kamu jatuh ke jurang.
Aku sayang kamu.

Send(U)//
Kirim(Umbra Revan)

Setelah ku baca buku diary itu, dengan segera ku kembalikan buku itu ke dalam ransel Dira. Aku segera kembali duduk di samping Affan, susah payah ku tahan air mata agar tak jatuh dan membuat Dira curiga.

"Udah lo tahan dulu emosi lo, ini uda malem. Besok aja di bahas" ucap Anto.

"Fan, lo denger gak sih gue tadi ngomong apa?" Ucapku kesal karena Affan masih cuek dan memainkan senar gitarnya.

"Denger kok, send u kan yg artinya kirim umbra Revan" ucap Affan dengan santainya.

"Yang sebelum itu denger gak?"

"Maaf ya sayang aku lagi fokus jadi gak denger kamu ngomong apah" ucap Affan.

"Yauda kalo gitu" ucapku dan menjauh beberapa senti dari Affan, memasukkan kayu dalam api unggun agar tak tercecer.

"Engkau wanita tercantikku ku ingin kau tahu kau merubah warna hidupku" Affan mulai menunjukkan kebolehan menyanyinya dan menyanyi untukku.

Seketika jantungku berdetak kencang, hatiku yang kesal menjadi luluh karenanya. Sungguh enak di dengar suara Affan, seperti bisa menyejukkan hati dan mencairkan semua yang beku.

Affan menarik tanganku dan menyuruhku kembali duduk di sampingnya. Anto hanya diam saja dan kembali memainkan ponselnya.

Jangan lupa vote comment ya 😊💕

Salam santuy.

Send(u) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang