Chapter 13

28 8 1
                                    

Anto menaruh gitarnya dan berjalan mendekati Affan. Menarik tangannya dan menyuruh duduk di dekatku, Affan menurut namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku menoleh ke arah Affan, menatap wajah sendunya yang penuh penyesalan. Mungkin memang benar, aku telah menyakitinya terlalu dalam.

Anto keluar dari tenda cowok dengan membawa 3 buah petasan panjang yang berbentuk seperti pipa dan satu buah korek api. Memaksaku untuk mendekati Dira bersama Affan.

"Ra!" Ucapku dan duduk di dekat Dira. Sehingga kami berlima sekarang berada tak jauh dari jurang dan Anto memantikkan api pada sumbu petasan.

"Malam ini gak ada api unggun, malam suram seperti hubungan persahabatan kalian. Gue emang tukang palak sih tapi temen gue gak ada yang munafik kayak lo Ra" cengir Anto.

Dira menatap Anto sinis. Dup dar kretek kretek kretek! Petasan mulai keluar dari rongga yang mirip pipa, memberi warna dilangit dan cahaya warna-warni nya terlihat sangat indah di tengah langit yang gelap. Sejenak semua pasang mata tertuju pada petasan yang meletup-letup di langit malam.

Tak butuh waktu lama, satu petasan itu sudah tak ada isinya. Anto menoleh ke Dira dan menyenggol bahunya hingga Dira terlihat kesal dan marah.

"Ck! Bisa gak sih lo sekali aja gak ganggu hidup gue?" ucap Dira.

"Gak bisa! Gue udah terlanjur jatuh cinta sama lo" ucap Anto.

"Apa? Enggak, lo gak boleh suka sama adek gue" ucap Nando sambil menoyor kepala Anto.

"Fan, Rin diem-diem bae" ucap Anto.

"Gak papa" ucap kami berbarengan. Sepersekian detik kami saling menatap satu sama lain hingga akhirnya kembali menatap langit yang gelap.

•••

Hari mulai malam, petasan Anto pun telah habis. Dira dan Nando lebih dulu kembali ke tenda begitupun Anto. Menyisakan kami berdua yang duduk tak jauh dari jurang dan duduk berjauhan beberapa senti. Kami masih saling diam, tak ada kata yang terucap. Sekalipun ada kontak mata yang tak sengaja terjadi, kami langsung mengalihkan pandangan.

Entah bisa dibilang saling marah atau hanya sekedar ingin introspeksi diri. Baru saja dua minggu aku menjalin hubungan ini dengan Affan, hanya karena aku yang halusinasi selalu membayangkan Revan membuat hubunganku terambang. Tak jelas, hanya mengambang seperti perahu kertas dan akan tenggelam begitu kertasnya sudah basah kuyup.

Entah kapan pelangi itu hadir dalam hubunganku dan Affan. Mungkin besok pagi, semoga saja pelangi itu akan datang sebelum aku meninggalkan tempat yang jauh dari kedamaian ini. Kemarin, hariku begitu indah, dalam satu kedipan saja semuanya berubah hampir hancur namun masih belum hancur.

"Rin!" Lirih Affan dalam keheningan di hutan. Mencoba mencairkan suasana hati yang sedang membeku.

Ku toleh Affan dan ku tatap lekat-lekat bola matanya. "Maaf" Ucap kami bersamaan, karena hanya kata maaf yang saat ini bisa keluar dari mulut kami. Entah harus menyalahkan siapa, semua terasa hambar dan tidak jelas.

"Emm aku ke tenda dulu" ucapku lalu pergi meninggalkan Affan yang masih setia duduk di atas tanah yang cukup lembab karena malam hari.

Tak lama kemudian Anto mengajak Affan untuk tidur di tenda karena hampir larut malam. Affan masih saja terjaga dan duduk di tempat tadi. Mengingat kejadian kemarin yang diganggu oleh penunggu hutan, Affan langsung masuk ke tenda dan tidur daripada diganggu makhluk astral lagi.

~•~•~•~

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun karena tidurku tak nyaman. Kulirik jarum jam yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi.

Kreeekkkk! Kubuka resleting tenda dan keluar menyambut terbitnya matahari. Sepertinya akan menyenangkan jika kugerakkan tubuhku di pagi hari, melakukan sedikit peregangan dan menghirup udara segar di hutan yang masih alami.

Aku berdiri membelakangi tenda dan melakukan aksi peregangan pada badanku agar terasa lebih rileks. Terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat dan semakin memdekat. "Fan!" Ucapku sambil memastikan apa itu benar orang.

Hingga beberapa detik tak ada jawaban, aku menoleh kebelakang dan melihat tidak ada siapapun. Kembali kuputar leherku dan sontak wajahku berubah. Ketakutan? Tentu tidak.

"Eh tuyul ngagetin aja" ucapku kesal.

"Sejak kapan tuyul segede gini" ucap Anto sambil tertawa meledek.

Hap! Anto membekap mulutku dengan tangannya dan membawaku sedikit menjauh dari tenda tempat kami camping. Ku pukul berkali-kali tangan Anto yang membekap mulutku dengan kuat.

"Mau macem-macem ya lo?" Ucapku setelah lepas dari bekapan tangan Anto.

"Pelangi mau datang buat lo" ucap Anto.

"Bercanda ni orang. Pelangi yang anaknya siapa?" Ucapku.

"Lo bakal baikan sama Affan hari ini" ucap Anto.

Aku menaikkan satu alisku dan menatap heran Anto. Terdengar suara hentakan kaki dalam suasana pagi yang masih hening, namun bukan berasal dari arah tenda. Suara hentakan itu mulai mendekat dan muncul dari jalanan setapak menuju lokasi camping.

"Ini dia pelanginya?" Ucap Anto.

Nampak jelas wanita paruh baya yang menggunakan pakaian dinasnya lengkap dengan memakai sepatu. Terlihat seperti penjaga hutan atau pengawas hutan atau apapun itu yang masih berhubungan dengan hutan.

"Nama ibu ini pelangi?" Ucapku.

"Bundanya Affan" ucap Anto.

Anto mengajakku duduk bersama dengan bundanya Affan di dekat jurang sambil melihat matahari yang mulai terbit. Pelan-pelan matahati mulai naik dan langit yang gelap kini tergantikan dengan sinar yang terang.

Bundanya Affan adalah seirang wanita yang baik dan lembut. Kentara dari cara bicaranya dan bahkan dia memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan bunda juga. Beliau mulai menceritakan masa kecil Affan semasa orang tuanya belum bercerai seperti sekarang. Anto hanya diam mendengarkan bundanya Affan bebrbicara, sesekali Anto menguap dan mengusap gusar wajahnya.

Mungkin Anto masih mengantuk dan ingin tidur kembali. Aku merasa bahwa Tuhan memang telah mengabulkan doaku untuk menghadirkan pelangi pagi ini.

"Bunda kenal sama Anto dimana?" Ucapku penasaran.

"Waktu Anto ngambil air di bawah"

"Bunda tinggal di deket sini?"

Kemudian banyak obrolan yang mendominasi tentang rasa penasaranku pada bundanya Affan. Matahari semakin naik dan Affan pun sudah keluar dari tendanya berjalan menuju ke arahku yang sedang duduk bersama bundanya. Namun Affan belum sadar itu adalah bundanya, karena kami duduk membelakangi tempat tenda berdiri.

"Rin, kamu gak siap-siap, katanya mau pulang?" ucap Affan sambil berjalan mendekatiku.

Affan semakin mendekat dan duduk di sebelahku. Menoleh ke arah kanan dan dia melihat sosok yang sudah lama ia rindukan, sosok ibunya yang sedang tersenyum simpul.

"Bunda?" Ucap Affan terkejut. "Ya ampun ini beneran bunda, bunda kemana aja gak pernah pulang? Uda gak inget kalo punya anak?" Ucap Affan mencecar bundanya.

"Bunda kan uda pisah sama papa kamu"

"Iya bun tapi kenapa setelah itu bunda gak pernah nemuin Affan? Ngajak Affan main sama bunda gitu? Kan Affan juga pengen punya bunda, semua teman disekolah punya ibu tapi Affan, Affan selalu sama papa"

Jangan lupa vote comment ya 😘💕

Salam santuy.

Send(u) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang