BAB 3 - Buah Cinta Kami

59 37 3
                                    

3 tahun sudah aku hidup dengannya, tapi sampai detik ini juga belum ada tanda-tanda aku akan mengandung. Aku dan Hamzah sudah berkonsultasi ke berbagai dokter. Kata dokter tidak ada masalah pada kami, hanya perlu bersabar dan tawakal.

Aku terus meminta pada Allah, agar segera memberiku malaikat kecil. Hamzah tak pernah absen untuk menyemangati. Aku hanya ingin mewujudkan keinginan Mama untuk segera memiliki cucu.

"Sabar, sayang.. Mungkin Allah mau kita lebih mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik untuk buah cinta kita." Hamzah mengusap kepalaku.

"Iya, sayang... aku cuma ingin mewujudkan keinginan Mama.." Kataku lirih.

Aku tak bisa melakukan apa-apa selain meminta kepada-Nya. Terkadang di hati terbesit pikiran apakah aku tidak pantas menjadi seorang ibu. Apa aku salah jika aku ingin merasakan mengandung, melahirkan, dan menyusui? Aku ingin menjadi perempuan sempurna di mata Hamzah. Walaupun Hamzah tak menuntut agar aku cepat hamil, tapi aku bisa melihat dari sorot matanya kalau dia ingin menjadi seorang ayah.

Tak jarang jika aku dan Hamzah saat pergi kondangan atau acara kantornya, banyak teman yang bertanya:

"Istrimu belum hamil?" atau "anaknya udah berapa?"

Aku tahu sebenarnya di hatinya terbesit kesedihan yang mendalam, tapi Hamzah sangat pandai menyembunyikannya. Hamzah dengan santainya menjawab:

"Masih di kasih waktu buat pacaran dulu sama Allah."

Ada perasaan bersalah yang lahir di hatiku. Seharusnya seorang laki-laki seusia Hamzah sudah memiliki 2 anak.

"Maaf ya, Kak..." Aku masih suka memanggilnya Kakak.

"Maaf kenapa, sayang?" Hamzah mengelus ujung jilbabku.

"Ya maaf, aku belum bisa kasih keturunan di tengah keluarga kecil kita.."Air mata mulai membasahi pipi.

"Kamu pasti kepikiran ya sama omongan teman-temanku tadi. Sayang, anak itu titipan Allah, kalau Allah belum mau memberi, ya kita hanya bisa berusaha dan berdoa." Hamzah tersenyum.

"Tapi jujur deh, kamu kayaknya udah siap banget ya jadi seorang ayah? Aku lihat kamu sayang banget sama anaknya Mas Budi." Entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Mas Budi adalah Kakak iparku.

"Sayang sama keponakan sendiri memang salah? Nggak ada hubungannya sama siap atau nggaknya jadi seorang ayah. Udah deh nggak usah baper sama omongan orang." Kata Hamzah.

Sejak menikah dengan Hamzah, aku selalu melingkari kapan terakhir datang bulan, aku pernah telat seminggu, tapi ternyata itu bukan kabar baik.

Suatu hari, aku sedang iseng membaca postingan teman di sosial media. Dia juga bernasib sama denganku, menikah 5 tahun dan belum juga dikaruniai momongan. Setelah dia rutin mengonsumsi obat herbal, tak lama kemudian dia hamil dan melahirkan anak yang sehat.

Aku tergoda untuk mencobanya. Mencoba menghubungi temanku itu lewat media sosialnya. Dia memberi informasi lengkap dengan menyebutkan dimana obat herbal itu dijual. Aku lekas pergi untuk mendapatkan obat itu. Karena konon katanya obat itu banyak yang mencari dan stok sudah mulai menipis.

"Kamu mau kemana sayang?" Tanya Hamzah, melihatku sudah rapi. Kebetulan itu hari Sabtu dan dia ada dirumah.

"Aku ada acara mendadak, Kak. Aku ijin keluar sebentar ya. Makan siang udah siap di meja." jawabku seraya menyiapkan barang bawaan.

"Aku antar ya?" Tanya Hamzah.

"Nggak usah sayang. Kamu temani Bunda saja dirumah yaa." Aku mencium tangannya.

TAKDIR CINTA [DALAM PROSES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang