BAB 5 - Menyusul Hamzah

56 33 0
                                    

Sebulan belakangan ini Hamzah sangat sulit dihubungi. Memang dia sudah menyampaikan bahwa dia sedang belajar untuk mempersiapkan ujian tengah semester, tapi sesibuk itukah sampai tidak bisa menghubungi istri dan anaknya?

Haafizhah setiap hari selalu merengek mencari Ayahnya. Aku hampir kehabisan cara membujuknya. Hal ini juga menyebabkan prestasi di sekolahnya turun.

"Saya perhatikan Haafizhah tidak bersemangat. Perkembangan belajarnya menurun. Dia lebih suka menyendiri daripada bermain dengan temannya. Apa sedang ada masalah keluarga? Maaf jika saya lancang, tapi apabila sedang ada masalah keluarga sebaiknya segera diselesaikan." Kata wali kelas Haafizhah saat pembagian raport.

Memang benar, semenjak Hamzah sulit dihubungi, Haafizhah terlihat tidak bersemangat. Dia lebih memilih murung di kamarnya.

"Haafizah sayang.. makan dulu yuk... Haafizhah belum makan lho dari tadi." Aku membujuk Haafizhah untuk makan, sebagai ibu aku khawatir dengan kondisi kesehatannya.

"Aku nggak lapar Bu, Ibu sama Nenek aja yang makan." Suara Haafizhah terdengar dari balik pintu.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya Haafizah sangat merindukan Hamzah. Akupun merasakan hal yang sama. Mengapa Hamzah tak memberinya kabar sama sekali? Aku tahu dia sangat gigih belajar, tapi harus sampai seperti inikah? Apa dia lupa di sini ada keluarga yang menanti kabarnya?

Baru saja aku melepas mukena, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Haafizhah ternyata.

"Bu, belum tidur?" Haafizhah duduk di nakas tempat tidur.

"Belum. Kamu udah makan?" Tanyaku.

"Besok ajalah makannya. Oiya bu, kita nyusul Ayah yuk ke Swiss, kan aku lagi libur." Ajakkan Haafizhah membuatku terdiam sesaat.

"Hmm... Tapi Ibu takut ganggu Ayah. Ayahkan lagi belajar." Kataku ragu.

"Ih, masa kita ganggu Ayah sih. Bukannya Ayah senang ya ditemani keluarganya, toh kita nggak lama-lama disana." Haafizah merengek seperti anak kecil meminta mainan.

"Ibu coba pikirkan ya." Haafizhah bersorak gembira mendengar responku.

Tidak ada salahnya mengikuti keinginan Haafizhah. Mama dan Bunda menyetujui rencana ini. Haafizhah memintaku untuk tidak memberi tahu Hamzah tentang ini. Biarlah ini menjadi kejutan dari kami berdua. Syukurlah sebelum Hamzah pergi, dia memberikan alamat tempat tinggalnya selama di Swiss, jadi aku tak perlu mencari-cari lagi.

Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Internasional Zurich. Udara yang dingin menyambut kedatangan kami. Kami segera mengeluarkan jaket yang ada di koper kabin. Aku memang sudah mencari tahu tentang cuaca disini, dan sekarang sedang musim dingin.

Selesai mengurus bagasi, aku langsung mencari taksi untuk mengantar kami ke apartemen tempat Hamzah tinggal. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 1 jam dari bandara. Mobil yang kami tumpangi berhenti di Apartemen Swiss Star Marc Aurel. Itu adalah apartemen yang Hamzah pilih untuk ditinggali selama dia menuntut ilmu di Swiss. Biayanya cukup ekonomis untuk kalangan mahasiswa yang merantau seperti Hamzah.

Ketika kami tiba di apartemen, apartemen Hamzah kosong. Mungkin Hamzah masih sibuk di kampus. Aku sebenarnya sudah gatal ingin menghubungi Hamzah, tapi Haafizhah menahanku.

"Jangan, Bu. Biar ini jadi suprise buat Ayah." Kata Haafizhah.

Hampir 1 jam aku dan Haafizhah menunggu di depan apartemen Hamzah. Angin malam setia menemani kami. Namun itu semua tak meredupkan semangat kami.

Akhirnya Hamzah datang. Dia sangat terkejut dengan kedatangan kami.

"Assalamuallaikum Kak..." Aku mencium tangan Hamzah.

TAKDIR CINTA [DALAM PROSES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang