BAB 10 - Bertahan Dalam Kesendirian

55 26 2
                                    

Sejak aku resmi berpisah dengan Hamzah, aku tidak lagi berkomunikasi dengannya ataupun Fatimah. Entah bagaimana kabar 2 orang yang pernah berkedudukan penting di hidupku itu.

Hamzah juga tak pernah menanyakan anak-anaknya, bahkan ketika Hakim sakit dia tak pernah perduli.

Sejak kepergian Mama, aku tak punya tempat berkeluh kesah. Tak mungkin aku menjadikan Fatimah sebagai teman curhat, karena diapun merasakan hal yang sama.

Aku ingin membangun kehidupan baru bersama kedua malaikatku. Aku ingin fokus mengantarkan mereka ke gerbang cita-cita.

Aku mulai aktif di kantor, tidak lagi memilih bekerja di rumah. Aku ingin menyibukkan diri, agar aku lupa semua kesedihan yang ku alami.

2 tahun sudah aku menyandang status janda. Sedikit risih, mengingat usiaku yang masih berkepala 4 tapi sudah tidak bersuami. Tapi ini sudah menjadi keputusanku, daripada hatiku terluka.

Anak-anak semakin dewasa. Mereka tentu punya kesibukan masing-masing. Namun mereka tetap memproritaskanku.

"Udah jalan aja sama teman-temanmu. Ibu nggak apa-apa kok. Kan udah dikerokkin." Kataku saat Haafizhah meminta izin keluar sama teman-temannya, tapi kondisiku sedang kurang sehat.

"Ya udah, tapi Ibu janji ya kalau ada apa-apa langsung telepon aku. Aku janji nggak akan lama."

"Iya sayang."

Sejak berpisah dengan Hamzah, kesehatanku membaik. Aku tak sering drop seperti dulu. Hanya sesekali aku merasa lelah yang berlebihan.

Kabar di siang hari membuat aku tersentak. Bunda terjatuh dari tangga dan sekarang di bawa ke UGD oleh tetangganya. Tapi kenapa aku yang di kabari? Kenapa bukan Hamzah atau Maya?

"Sejak menikah dengan Maya, Hamzah tidak memperdulikan Bunda lagi, nak. Maya juga begitu acuh sama Bunda." Ujar Bunda ketika tersadar.

"Astagfirullah, kenapa Kak Hamzah jadi seperti ini? Sabar ya, Bun, aku akan merawat Bunda sampai Bunda sembuh."

"Baguslah kalau sudah ada yang merawat Bunda, jadi aku nggak perlu bolak-baik ke rumah sakit." Kata Hamzah saat memasuki ruang rawat.

"Astagfirullah, ini wanita yang sudah melahirkanmu. Seharusnya kamu yang merawat beliau."

Ternyata Hamzah tak hanya tak memperdulikan anak-anknya, tapi juga mengacuhkan Bundanya. Mengapa dia jadi seperti ini? Padahal dulu dia adalah anak yang sangat mencintai Bundanya.

"Nul, kamu nggak ada rencana nikah lagi?" atau "Kamu tuh masih muda, cantik, berkarir, banyak laki-laki setia di luar sana yang mau sama kamu."

Itulah pembahasan saat reunian sama teman-teman sekolah. Menikah lagi?? rasanya aku masih trauma dengan pernikahan.

Selain bekerja di kantor, aku juga mengajar di sekolah dekat rumah. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan.

Hingga suatu hari, aku kembali drop. Dadaku sesak, kepala pusing, dan mual-mual. Tapi di sisi lain, aku harus ke sekolah karena aku berjanji akan mengadakan ulangan hari ini.

"Ibu guru kenapa? Kok pucat?" Tanya seorang murid.

"Ibu guru nggak kenapa-napa, ayo siapkan pensilnya kita ulangan." Aku melangkah membagikan kertas ulangan.

Mungkin memang aku tidak bisa bekerja di 2 tempat sekaligus, baru 3 bulan berprofesi sebagai guru, tubuhku sudah drop.

Aku tak kuat lagi, saat murid-murid menyerahkan hasil ulangan, aku jatuh pingsan. Salah satu murid langsung mencari bantuan.

Aku dibawa ke UKS oleh beberapa guru.

"Bu Husnul kalau sakit jangan memaksakan diri." Kata Bu Hilda salah satu guru di sana.

TAKDIR CINTA [DALAM PROSES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang