"Apa? Kamu mau nikahin perempuan itu?"
Itu reaksi Umi Pak Hilman saat meminta restu untuk menikahiku.
"Tapi kenapa Umi? Husnul adalah orang yang baik dan aku mencintainya." Pak Hilman membelaku.
"Apa kata saudara-saudara nanti, kalau kamu menikahi perempuan janda beranak 2, penyakitan lagi." Nada Umi makin tinggi.
"Sudah, Pak. Jangan dipaksa. Ingat ridha Umi itu adalah ridha Allah. Kalau Umi nggak ridha, berarti Allah nggak ridha." Aku menenangkan Pak Hilman.
"Aku nggak akan nyerah sampai Umi merestui kita." Gigih Pak Hilman.
Aku pulang dalam keadaan hati yang teriris. Sakit rasanya ditolak oleh calon mertua.
Mungkin benar, aku ditakdirkan untuk tidak berumah tangga lagi.
Meskipun Umi sudah menolakku, Pak Hilman terus memintaku untuk berusaha mendapat restu.
Anak-anak menyerahkan semua keputusan padaku. Mereka mendukung apapun yang menjadi keputusanku.
"Asal Ibu bahagia, kita pasti setuju." Ujar Haafizhah.
Akhirnya setelah membujuk Umi berkali-kali beliau menyetujui hubungan aku dan Pak Hilman.
Pernikahan digelar secara sederhana. Rasa haru mengalir begitu saja saat Pak Hilman mengucapkan ijab kabul.
Untuk kedua kalinya, aku menyandang status istri. Semoga ini menjadi yang terakhir.
"Panggil aku Mas ya." Pak Hilman mencium keningku.
"Iya Mas."
Sejak menikah dengannya, kami memutuskan tinggal di rumah orang tua Mas Hilman. Dia ingin terus di sisi orang tuanya,sebagai istri aku hanya bisa mengikuti.
Malam pertama, kondisiku malah drop. Aku muntah-muntah, dadaku sesak. Mungkin aku kelelahan karena terlalu lama berdiri waktu acara resepsi tadi.
"Maaf ya Mas, malam pertama Mas malah ngurus aku."
"Iya nggak apa-apa sayang. Kamu istirahat yaa."
Mas Hilman memang sudah tahu tentang penyakitku. Dia sama sekali tidak keberatan, dia malah merawatku dengan baik.
Sepertinya Umi belum menerimaku sepenuhnya. Beliau memperlakukanku kurang baik, tapi aku harus bisa menerimanya, aku yakin suatu saat nanti Umi bisa menerimaku.
"Tugasmu bersih-bersih rumah, nyuci, nyetrika, mengurus keperluan saya dan Abi, dll. Kamu mengerti?"
"Maaf Umi, saya kan harus mengajar. Nanti pulang sekolah saya akan membereskan rumah."
"Nggak bisa, kamu beresin rumah dulu baru ke sekolah."
Akupun mengikuti perintah Umi. Sebelum mengajar aku membereskan rumah dulu. Rasanya tenagaku sudah terkuras sebelum mengajar. Tapi jika dengan cara ini aku bisa mengambil hati Umi, aku akan iklhas melakukannya.
Mas Hilman selalu merasa kurang nyaman dengan sikap Uminya padaku. Aku bilang aku tidak keberatan asal ini bisa meluluhkan hati Umi.
Tak hanya aku yang mendapat perilaku tidak baik dari Umi, anak-anak juga menjadi sasaran kemarahan Umi.
"Sabar ya sayang, lama-lama nenek bakal sayang kok sama kamu." Mas Hilman menenangkan Hakim.
Alhamdulillah, aku bersyukur anak-anak bisa dekat dengan Mas Hilman dalam waktu yang cepat.
Hari ini kegiatan di sekolah cukup padat. Sehingga tadi aku tidak sempat makan siang, hal itu menyebabkan magku kumat. Sesampainya di rumah, aku ingin segera istirahat, kepalaku pusing. Tapi ketika aku mau masuk kamar, panggilan Umi menghentikan langkahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA [DALAM PROSES]
RomansaHusnul seorang gadis yang sebenarnya tidak ingin mengenal cinta. Namun Allah mempertemukannya dengan Hamzah, seorang yang sedang mencari cinta sejatinya. Mereka bersatu dalam ikatan pernikahan. Namun pernikahan mana yang tidak di uji. Setelah 3 tah...