River

2.2K 173 6
                                    

“Kau benar-benar tidak akan datang?”

Kim Seokjin, tangan lelaki itu tergantung diudara kosong antara mulut dan mangkuk ramen yang ada di meja. Mulutnya yang tengah mengunyah terhenti. Batal memasukkan mie yang sudah terlanjur berada di sumpit. Lanjut mengunyah, Seokjin hanya diam. Menunggu makanan itu benar-benar masuk ke dalam perut sebelum akhirnya mengambil segelas air segar untuk menyegarkan tenggorokan.

Mendongak, Seokjin mengetuk-ngetuk meja dengan kuku jarinya. Menimbulkan irama acak sementara lelaki di seberang menatap penuh penasaran. Menunggu jawaban atau apapun yang siap Seokjin keluarkan. Meski pria berkulit pucat itu tahu kemungkinan besar hanya alibi yang dikeluarkan oleh Seokjin.

“Haruskah aku menjawabnya?” menunjuk dirinya sendiri, Seokjin berusaha menampilkan wajah sepolos mungkin untuk menghindari semua pertanyaan.

Yoongi mengangguk, melanjutkan makan dengan mata yang mengawasi Seokjin yang tiba-tiba berubah gelisah. Bergerak tak nyaman, ketukan jemari Seokjin terdengar makin intens, lalu tiba-tiba berhenti karena Seokjin menautkan jemarinya, meremas bergantian dengan tubuh yang bergetar. Matanya bergerak gelisah keseluruh penjuru ruangan, memastikan agar tak bersitatap dengan Yoongi.

“Jin, kau okay?”

“Hm?”

Melepas gigitan dari bibir bawahnya, Seokjin merasakan rasa karat itu mulai mengalir lagi. Sepertinya, ia tak bisa melanjutkan makan ramen pedas yang sudah tersisa setengahnya saja itu. Membereskan semua peralatan makannya, Seokjin melipat bibir, mengangkat bahunya sekilas.

“Aku sudah selesai, selamat makan, Yoongi-ya,”

“Kau mau kemana?”

Seokjin yang baru saja membuang sisa ramennya kedalam sebuah plastic berbalik. Mengangkat alis merasa aneh akan pertanyaan yang Yoongi tanyakan padanya, Seokjin mengangkat tangan, telunjuknya menunjuk lantai atas tempat kamarnya berada. Setelah hanya anggukan yang ia dapatkan, pria berwajah manis itu menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah yang sangat terlihat ragu.

“Yoon, bukan karena aku tak mau,” menghela nafas dalam, Seokjin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. “I just can’t.”

Dan sekali lagi, Yoongi tak bisa mendengar jawabannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lagi. Untuk yang kesekian kali, Seokjin melingkari setiap tanggal yang telah ia lewati. Menggigit ujung pena merah yang baru ia gunakan, carrier itu menatap lamat-lamat calendar putih yang sudah ternoda dengan berbagai warna tinta di berbagai bagiannya. Oh, tentu saja itu ulahnya. Memangnya siapa lagi? Yoongi? Astaga, jika bukan kewajiban, kakak sepupu Seokjin itu bahkan akan malas bernafas.

Melempar calendar itu asal, Seokjin menjatuhkan tubuhnya pada ranjang tempat tidurnya. Menghirup dalam-dalam bau pewangi softener yang baru ia gunakan kemarin. Berniat menghilangkan sesuatu yang tiba-tiba melanda otaknya, memory kelam yang berusaha ia buang selama 8 bulan terakhir ini dengan susah payah. Dan sepertinya, ia tak akan bisa melupakannya.

Mulai terisak, carrier dengan hazel caramel itu meringkuk seperti janin. Memeluk kedua lututnya. Memulai posisi pertahanan tiap kali perasaan seperti ini datang menghampirinya. Berusaha melindungi dirinya sendiri dari gigil yang berasal dari kebekuan hatinya. 

Giginya bergemeletuk membentur satu sama lain. Tubuhnya bergetar, dengan bibirnya yang mulai memucat. Mengeluarkan gumaman lirih, Seokjin berulang kali mengucapkan kalimat bagai mantra. Menyakinkan diri bahwa disini tak ada yang akan menemukannya. Menyakinkan diri sendiri bahwa ia aman berada jauh dari tanah kelahirannya. Tak ada siapapun yang dapat menimbulkan kembali rasa sakitnya di sini. Tak ada. Tak ada.

Tangisnya merebak. Seokjin selalu merasa terguncang tiap kali ia menggoreskan tinta merah ke dalam calendar. Selalu berakhir dengan ia yang kembali merasa terluka. Dan selalu pula ia berhasil menyembunyikannya dengan sempurna. Selalu, Seokjin berhasil membuat semua orang tertipu oleh tingkahnya.

Lelah terisak, Seokjin mulai terlentang. Menatap langit-langit kamarnya dengan kosong. Sepenuhnya sadar jika jendela kamarnya terbuka dan hujan sedang turun dengan deras di luar sana. Namun ia terlalu enggan untuk melangkah dan menutup jendela. Dibiarkannya angin membawa air hujan untuk membasuh semuanya.

Berharap air hujan mengalir dan menghapus semua dosa dan luka yang kini di bawanya. Menghapus nama yang selalu berhasil membuatnya terpuruk tiap kali mengingatnya. Selalu berhasil membuat Seokjin nampak menyedihkan karena tidak mampu menguasai diri sendiri. Nama terlarang yang bahkan tak pernah ia ucapkan. Bekas yang tertinggal terlalu menakutkan untuk kembali dilihat.

Dan Seokjin hanya berharap, pelariannya yang seperti pengecut akan berhasil menyembunyikannya dari sang luka.

Semoga. Semoga saja.

Ia tak tahu apa yang harus ia katakan saat bertemu dengan Taehyung, mantan suaminya, yang ia tinggalkan tiba-tiba tanpa alasan atau sebuah pertanda. Hanya sebuah surat dengan kata maaf yang ia tulis berulang dan sebuah pengakuan dosa. Dosa yang ia lakukan saat Taehyung benar-benar mencintainya. Bersedia melakukan apapun untuknya. Namun Seokjin adalah pecundang. Ia, tak sanggup menyakiti Taehyung lebih jauh lagi. Memilih untuk berlaku egois dan pergi untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Hanya dirinya sendiri.

Menjadi seorang pembohong, penghianat. Seokjin yang penuh dosa, tak pantas dengan Taehyung dan cinta murninya. Tidak bisa.

Juga, Seokjin tak ingin mengambil resiko untuk kembali bertemu dengan Namjoon. Si brengsek yang menghancurkannya. Membuang Seokjin begitu saja, saat Seokjin siap untuk melepaskan semuanya hanya untuk bersama Namjoon. Dan kini Seokjin membencinya. Membenci kebodohan yang pernah ia lakukan.

Mengepalkan tangan dengan erat, Seokjin meninju kepala ranjangnya, menyebabkan tangannya terluka. Mengeluarkan darah segar melalui buku jarinya. Bagaimana ia berubah menjadi selemah ini?

TOKK!! TOKK!! TOKK

Dua ketukan panjang pada pintu kamarnya membuat Seokjin segera menghapus air matanya. Merapikan penampilannya sebaik yang ia bisa, dan menyembunyikan luka di tangannya. Seokjin membuka pintu, menemukan Yoongi yang bersandar di dinding samping pintu kamar tidurnya, mengetuk dengan malas.

“Seokjin, seseorang mencarimu,”

Alis Seokjin bertaut, bertanya-tanya siapa yang mencarinya. Pasalnya tidak ada yang mengetahui kepindahannya ke Toronto selain Yoongi sendiri.

“Sia-

Hai, Seokjin, kita perlu bicara.”

Fin

Hei, kasi tau aku dong kalian mau cerita yang kayak gimana

La MerveilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang