Trauma

1.6K 102 5
                                    


Matanya masih terbuka diantara kegelapan disekitarnya. Dengkuran halus disampingnya tak menimbulkan niat bagi Seokjin untuk ikut terlelap dan menyelami dunia mimpi. Desing halus dari mesin penghangat juga detik tajam dari jam dinding seakan menemaninya.

Jam berapa sekarang?

Beranjak, Seokjin mulai berdiri dengan sangat perlahan berusaha agar pergerakannya tidak membangunkan pria yang tertidur sangat lelap di sampingnya. Memakai mantel, Seokjin memejamkan mata. Ia, tak bisa jika terus berdiam.

Menatap sosok pendamping hidupnya sejak 3 tahun yang lalu, Seokjin berusaha untuk tidak menyentuh wajah itu. Tangannya berhenti di udara, menghadapi tremor yang tiba-tiba datang tanpa tahu kenapa. Suaminya, tampak sangat lelah. Benar-benar lelah. Meski sebenarnya tidak tega, Seokjin juga ingin menjadi egois. Ia, sangat lelah.

Kali ini, ia hanya ingin sendiri.

Memantapkan diri, Seokjin keluar dari apartemennya. Menyelami dunia malam di pertengahan desember. Seokjin kian mengeratkan genggamannya di dalam saku coat hangatnya. Awal musim dingin kali ini sangat dingin. Tidak. Mungkin, dingin itu berasal dari hatinya yang membeku.

Langitnya mendung. Seokjin tidak mendapatkan bintang yang bersinar bagai kerlip malam yang diinginkannya. Desah kecewa muncul. Hanya sesaat, sebelum langkahnya membawa tubuhnya ke salah satu kursi taman yang biasa digunakan sebagai tempat makan siang.

Seharusnya, ada seseorang disampingnya untuk bersandar. Tempat Seokjin mengeluhkan betapa sakit saat hatinya kian mendingin. Bahkan kini sudah tak ada rasanya lagi. Segalanya terasa hambar. Ia ingin, sungguh, mendapatkan kembali rasa yang tumbuh di hatinya. Marah, kecewa, bahagaia, kesal. Ia merindukan rasa itu. Namun segalanya entah kemana. Mati rasa.

Ia ingin hatinya yang hancur kembali utuh, sungguh. Seokjin hanya masih tak bisa menerima rasa kecewa yang ditamparkan padanya. Seakan Seokjin tidak berharga, meski tak begitu adanya.

Pening.

Seokjin tak mau terjebak dalam sebuah untaian memori yang hanya menyakitinya. Namun, ia seakan terjebak didalam lubang dengan dinding disekitarnya. Tak ada siapapun maupun apapun yang bisa menolongnya. Hanya ada dirinya dan rasa takutnya sendiri.

Semuanya sudah dilakukan. Ikut kelas motivasi hingga ke psikiater untuk menyembuhkan mentalnya yang tak sekedar hancur. Namun terobek hingga bagian dimana sulit untuk kembali disatukan.

Mereka bilang, jalan terbaik adalah memaafkan.

Sudah. Seokjin bahkan tidak marah maupun melakukan penolakan saat semuanya berubah 180˚. Seokjin tetap bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Seokjin tetap diam saat semua perih menghujam hatinya dengan kejam. Tak ada yang tahu patah hatinya, hingga Seokjin benar-benar depresi.

Satu. Dua. Tiga. Tetes air mata yang tak akan pernah diketahui siapapun selain Seokjin dan sang malam. Ingin berteriak dan memaki. Namun Seokjin tak bisa. Semua sakitnya, hanya miliknya sendiri. Tak ada yang boleh tahu.

Karena jika tetap seperti ini, Seokjin yakin tak akan ada yang dapat menyakitinya lagi.

Bohong jika ia tertidur dengan lelap. Namjoon merasakan bagaimana Seokjin bangun dari tidurnya, dan menyelinap keluar meninggalkannya tiap malam. Ia sangat sadar mungkin hanya akan ada penolakan untuknya. Tapi itu masalah nanti. Malam ini, Namjoon hanya ingin menjaga Seokjinnya.

"Seokjin,"

Namjoon memakaikan sebuah mantel untuk Seokjin. Tak ada ucapan terimakasih atau seberkas senyuman yang diharapkannya. Seokjin hanya diam seperti patung, melirik Namjoon saja tidak. Ingin Namjoon memeluk tubuh yang kian mengurus itu. Menggumamkan kata-kata manis dan menggoda hingga Seokjin memerah hingga ke telinga.

La MerveilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang