Bacanya pelan-pelan, media nya di play, oke 👍👍
********
“Jadi kau benar-benar pergi?”
Seokjin tersenyum, mengeratkan pegangannya pada tas jinjingnya yang cukup berat untuk diangkatnya sendiri. Mengangguk pelan, pria bersurai coklat itu menepuk bahu Namjoon beberapa kali. Seakan menyakinkan bila segalanya akan baik-baik saja.
“Apakah benar-benar tak ada kesempatan lagi, Jin-ah?”
Dengan penuh harap, Namjoon menggenggam kedua tangan Seokjin. Meremas tangan halus itu pelan untuk menunjukkan betapa ia berat untuk kehilangan. Memaksa Seokjin melepaskan genggamannya pada tas jinjing berisi baju-baju milik pria berbahu lebar itu.
Ragu, Seokjin membalas remasan lembut di tangannya. Menatap penuh sesal pada Namjoon yang mengharapkan sebuah jawaban yang positif darinya. “Maaf, Joon. Tapi ibuku sakit, ayah memintaku pulang dan-“
Remasan yang kian menguat di tangannya memaksa Seokjin untuk berhenti berbicara. Tahu jika kalimatnya hanya akan menyakiti mereka berdua. Dibagian yang sama. Menusuk dalam diam dan meninggalkan bekas yang akan terlampau dalam. Yang mungkin waktu tak pernah dapat menguburnya untuk tempat berkembang bunga yang baru.
Peluit kereta bawah tanah yang berdering kencang begitu memekakan telinga. Membuat baik Namjoon maupun Seokjin menatap ke arah utara, tempat dimana kereta baru datang dan akan segera berangkat beberapa waktu lagi. Yang berarti, menyempitnya waktu mereka berdua untuk tetap bersama.
“So this is how this end?” tertawa hambar, Namjoon berusaha menutupi luka yang terpancar dari wajahnya. Tersenyum hingga matanya menyipit dan kedua lesung pipinya terbentuk secara sempurna.
Mata Seokjin berkaca-kaca. Siap mengucurkan liquid bening yang akan membentuk jejak sungai di kedua pipi yang masih terkandung lemak bayi dengan derasnya. Namun, ia tak bisa menunjukkannya di depan Namjoon. Mereka sudah terlalu sering membendung sesuatu yang berakhir menyakiti keduanya. Dan setidaknya, tidak untuk kali ini. Setidaknya, Seokjin menginginkan perpisahan yang tidak memilukan.
Mengusap ujung matanya, Seokjin ikut tersenyum. Menarik Namjoon dalam dekapan eratnya. Menyiratkan bagaimana keduanya begitu berat untuk saling meninggalkan. Berat melepaskan tubuh yang saling bersandar untuk berjalan ke arah yang berbeda, mengejar sesuatu tanpa satu sama lainnya.
“Jaga dirimu baik-baik,” bisik Seokjin sedikit tertawa. “Jangan bakar apartemenmu, okay? Lebih baik jika kau memesan makanan pada bibi Seon. Jangan makan ramyeon terlalu banyak. Itu tidak baik, Namjoon. Mengerti?”
Namjoon mengangguk dalam diam. Tangannya melingkar di pinggang Seokjin untuk mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan kepala dalam ceruk leher jenjang roommate-nya yang selalu beraroma menyegarkan dan menenangkan. Mencoba mengingat setiap jengkal hal yang tak mungkin ia dapatkan kembali setelah ini.
“Kau mendengarkanku, bukan?” melotot jengkel, Seokjin dengan paksa melepaskan pelukannya. Berkacak pinggang seperti saat ia memarahi Namjoon karena menghancurkan furniture apartemen mereka untuk yang kesekian kalinya.
“Aku,-”
“-Akan baik-baik saja.”
Seokjin mengulas senyum terakhirnya. Sedikit mengernyit karena terdesak untuk segera memasuki gerbong keretanya karena penumpang lain yang mulai mendesaknya untuk bergerak dari segala arah. Memaksa Seokjin untuk melambaikan tangannya dengan serampangan pada Namjoon sebelum tubuhnya menghilang ditelan ratusan penumpang yang mengantri di stasiun entah dari kapan. Meninggalkan Namjoon yang harus menelan senyum pahit di setiap baris kalimat yang mengandung kerikil dalam pita suaranya.
Gerak tanah yang bergetar, menandakan bahwa kereta harus segera berangkat kembali. Namjoon menatap Seokjin yang melambai, mengulas senyum untuk yang terakhir kalinya dibalik jeruji kaca kereta. Namjoon hanya menatap, sebelum akhirnya memilih untuk berbalik.
Berbalik pada kenyataan bahwa ia harus menyusuri jalanan tua ini sendirian. Melangkah pada masa lalu saat Seokjin belum hadir dalam hidupnya. Namjoon, kembali pada kelamnya hidup, menyadari bahwa tak akan lagi Seokjin yang berbaring disampingnya saat matahari sudah terbenam, maupun menyibak tirai agar matahari menusuk mata dan berhasil membangunkannya.
Lucu.
Seokjin hanya tinggal sejenak, mengusir semua rasa sakit yang Namjoon rasa karena kesepian. Hanya Seokjin yang peduli saat semuanya berbalik dan hanya menunjukkan punggungnya pada Namjoon. Seokjin, mengubur semua deritanya. Mengubah menjadi secercah harap bagi Namjoon untuk hidup dengan bahagia.
Namun, akhirnya Seokjin pergi. Sama seperti yang lainnya. Menyakitkan. Menjatuhkan Namjoon setelah membawanya terbang. Apakah sebuah pengakuan adalah hal yang salah? Tak bolehkah Namjoon menyatakan hal yang ia pendam sejak lama pada Seokjin? Jika memang Seokjin tak suka, Namjoon bisa mengalah.
Tapi, untuk ditinggalkan, Namjoon tak bisa melakukan apapun selain pasrah.
Menatap ke atas, Namjoon hanya menemukan gedung pencakar yang berdiri, dibasahi hujan yang juga membasuh dirinya. Menyembunyikan sebuah luka yang terbendung di pelupuk mata, “Pada akhirnya, kita tetap saling meninggalkan.”
“At the end, you disappear and leave me alone. If I could, I’ll spend my whole life hiding my heart away,-
-To make you still stay.”
FIN
Comment+like nya boleh
KAMU SEDANG MEMBACA
La Merveille
FanfictionNamjoon tak tahu, bagaimana jika Seokjin hilang dari hidupnya