Hari Kelulusan

202 13 1
                                    

Hari ini waktunya ia wisuda. Aku sudah mengenakan pakaian terbaikku. Celana chino berwarna krem, dan kemeja hitam polos kebanggaanku. Rambutku yang belum lama kupangkas, kusisir ke sebelah kanan. Aku memang sengaja memangkas rambut karena hari ini, aku akan bertemu dengannya, bertemu keluarganya, ibu dan bapaknya. Sudah sepantasnya aku tampil dengan penampilan yang rapi.

--

Aku sudah mengenalnya sejak enam bulan lalu. Saat itu, di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) Aku melihatnya sedang mengantre untuk mengisi bensin, namun ia terlihat kesulitan membuka jok motornya. Kebetulan, aku berada tepat di belakanganya mengendarai motor dengan jenis yang sama. Ia sempat menengok ke arahku, seolah ingin meminta bantuan, namun dihalangi keragu-raguan.

Aku merasa kasihan, hingga kuberanikan diri turun dari motor dan berjalan ke arahnya.

"Kuncinya diputer ke arah kiri, Kak." Kataku saat sudah berada di sampingnya. Aku sengaja memanggilnya dengan sebutan "Kak," karena terkadang ada saja orang yang tidak terima jika dipanggil "Mbak," atau "Ibu"

"Udah, tapi enggak bisa." Ia mundur sedikit, memberikan ruang agar aku bisa membantu membuka jok motornya. Kebetulan motor kami sama, cara membuka joknya bukan melalui kunci di bawah jok, melainkan di kunci kontak. Aku paham betul bagaimana caranya karena memang sudah terbiasa.

"Putarnya sedikit aja, Kak." Kataku sambil memutar kuncinya ke arah kiri. Dalam sekali putaran, jok motornya langsung terbuka. Aku mundur lagi untuk memberikannya ruang untuk ia mendorong motornya. Karena kebetulan antrean saat itu sedang tidak terlalu ramai, dan sebentar lagi gilirannya untuk mengisi bensin.

Setelah mengisi bensin, aku segera melanjutkan perjalananku menuju kantor tempatku bekerja. Tapi, di jalur keluar SPBU gadis itu berdiri seperti menunggu sesuatu. Saat aku sudah dekat, ia melambaikan tangannya, aku segera melambatkan sepeda motorku agar berhenti tepat di depannya.

"Kenapa, Kak?" Tanyaku sedikit heran.

"Maaf, tadi aku lupa bilang makasih."

"Oh iya, enggak apa-apa."

"Eee- Aku, Hani." Katanya sambil menyodorkan tangan untuk kujabat.

"Dhani." Aku menjabat tangannya sebentar."

"Yaudah, sekali lagi makasih ya." Ia mengambil helm yang tergantung di kaca spionnya, dan memakainya.

"Iyaa, sama-sama. Oh iya, boleh minta nomor hp kamu?" Tanyaku. Memang gila, aku baru mengenalnya beberapa saat langsung meminta nomor telepon. Bodoh sekali aku ini. Entah darimana keberanian itu datang.

Ia nampak sedikit terkejut saat aku meminta nomornya. Cukup memalukan, untungnya ia segera menyebutkan angka demi angka itu, dan aku mengetik apa-apa saja yang ia sebut itu.

Dari sanalah kami mulai saling mengenal. Kami saling mengirim pesan, mulai dari menanyakan kabar, menanyakan kesibukkan, sampai akhirnya saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Dari perbincangan-perbincangan itulah aku tahu bahwa Hani ini wanita yang tangguh. Anak seorang pedagang sayur di pasar. Sehari-hari, Hani berangkat kuliah seorang diri mengendarai sepeda motor dengan jarak tempuh kurang lebih tiga puluh kilo meter. Sepulang kuliah, ia mengajar di salah satu yayasan di dekat rumahnya tanpa dibayar. Yayasan itu membangun taman mengaji yang dikhususkan untuk anak-anak kurang mampu. Hani mengajar di sana setiap sore.

Bagiku, Hani sangat cantik. Ia mengenakan kerudung, dan berkaca-mata. Tubuhnya mungil, mungkin tingginya hanya seratus lima puluh lima centi meter, dan berat badannya kurasa tidak lebih dari lima puluh kilo gram. Tapi, dengan tubuh semungil itu, ia sangat kuat. Ia cerita bahwa ia pernah mendaki gunung gede pangrango, dan gunung salak di jawa barat. Sedangkan aku sama sekali belum pernah mendaki gunung. Mendengarnya saja aku sudah lelah, apalagi melakukannya.

Lelah Patah Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang