Support tulisan saya dengan vote dan share ya! Oh iya, cerpen ke 4 ini terinspirasi dari kisah nyata. So, selamat membaca!
--
Ponselku bergetar. Layarnya menyala terang. Nama Widya muncul di sana.
"Za. Belum tidur?" Tanyanya dalam pesan itu.
Aku melirik jam yang terdapat di sudut kanan atas layar ponsel, mendapati kini sudah jam dua pagi. "Belum, kenapa, Wid?" Aku bertanya balik.
"Temani aku teleponan, ya? Aku sulit untuk tidur."
Sebenarnya, walau berada di kamar, aku sedang sibuk bekerja dengan komputerku. Namun, sejak mengenalnya delapan tahun lalu, aku selalu saja tidak bisa menolak permintaannya.
"Oke." Balasku singkat sebelum akhirnya ia meneleponku.
"Masih kerja?" Terdengar suaranya di sebrang sana.
"Udah selesai, kok." Aku terpaksa berbohong. Padahal, aku mengesampingkan pekerjaanku untuknya. "Kenapa sulit tidur?"
"Entahlah. Akhir-akhir ini, rasanya susah sekali tidur cepat."
"Tidur siangmu terlalu lama, mungkin?
"Iya, mungkin. Omong-omong, aku mengganggumu, tidak?"
"Mengganggu? Tidak, kok."
"Memangnya, kamu sedang di mana?" Tanyanya.
"Di kulkas."
"Hahaha." Ia tertawa. Aku selalu suka mendengar tawanya. "Oh iya, selain bekerja, kamu sedang sibuk apa lagi?" Tanyanya padaku.
Entah apa jawabanku atas pertanyaan itu. Yang jelas, aku bicara dengannya cukup lama. Mulai dari membicarakan soal kesibukan selain pekerjaan, sampai akhirnya membicarakan masa-masa SMA, dulu.
Iya, Widya adalah teman ku saat masih SMA. Aku mengenalnya sejak delapan tahun lalu.
--
Aku ingat bagaimana aku mulai mengenalnya waktu itu.
"Reza." Panggilnya. "Aku boleh nebeng?" Tanya Widya sore itu, selepas rapat organisasi di sekolah.
"Memangnya rumahmu di mana?"
"Di Cinere."
Aku terdiam sebentar karena menyadari rumahnya cukup jauh dan tidak searah denganku.
"Boleh." Kataku sambil memberikannya sebuah helm.
Walau jauh, aku tetap mengantarnya sebab kasihan melihatnya seorang diri.
"Biasanya pulang naik apa? Tanyaku dengan sedikit menoleh ke arah kiri. Saat itu aku sedang fokus mengendarai sepeda motorku.
"Biasanya dijemput pacarku."
"Siapa?"
"Yusuf."
"Sekarang dia kemana? Sibuk?"
"Enggak."
"Lalu?"
"Baru kemarin, aku putus dengannya." Terdengar suaranya samar-samar.
Aku terdiam. Sepertinya aku salah memilih topik pembicaraan. Seharunya aku diam saja dan fokus mengendarai sepeda motorku. Bodoh sekali.
"Maaf, Wid."
"Enggak apa-apa, Za."
"Belok kiri atau kanan?" Aku memintanya menunjukkan arah rumahnya.
"Kiri, Setelahnya, tinggal ikuti jalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelah Patah Hati (END)
Short StoryKumpulan cerita pendek yang (Beberapa) terinspirasi dari kisah nyata.