"Gimana dong, Ko? Gue capek banget hidup kaya gini. Gue juga pengen kaya perempuan lain. Punya pacar. Bahagia sama pacarnya. Gue pengen kaya mereka. Enggak kaya gini, hidup sendiri bertahun-tahun. Gue sebel, laki-laki yang gue temuin enggak ada yang bener." Sasa melempar ponselnya ke sofa yang berbeda dari sofa yang ia duduki. Menunjukkan ia sedang kesal saat ini.
"Enggak mungkin enggak ada yang bener, Sa. Pasti ada yang bener." Bantah Riko, matanya fokus ke layar televisi di depannya.
Saat ini, keduanya sedang duduk di sofa ruang tengah rumah Sasa. Rumah yang selalu saja sepi. Ayahnya sibuk bekerja, dan pulang ketika hari sudah malam. Di rumahnya, ia hanya ditemani oleh Ibunya yang saat ini sedang tertidur di kamarnya.
"Gue serius, Ko. Enggak ada yang bener satupun. Selama ini yang deketin gue tuh cowok yang genit ke semua cewek lah, yang diem-diem punya pacar lah, yang ngajak jalan tapi enggak modal lah, yang belum apa-apa minta kirim foto lah. Gue capek."
Riko tidak menjawab, ia masih fokus menonton acara talk show di televisi. Sasa mengambil remot televisi dan mematikannya.
"Kok dimatiin?" Riko menoleh. Memandangi Sasa yang sudah agak cemberut.
"Kebiasaan."
"Kebiasaan apa?"
"Orang lagi curhat, malah sibuk sendiri."
"Oh iya." Balasnya singkat. "Bukannya waktu itu lu lagi deket sama Iqbal?"
"Ah dia PHP, Ko. Awalnya doang manis, lama-lama ilang. Gue kesel sama dia. Kalo emang bosen ya seharusnya dia bilang, jangan tiba-tiba ngilang."
"Kalo Ferdi?"
"Gue enggak suka sama dia, Ko. Bercandanya enggak lucu. Gue enggak nyambung ngomong sama dia."
"Hahaha. Coba lu cari cowok lulusan pesantren, Sa."
"Iya sih, cowok lulusan pesantren banyak yang beneran cowok baik-baik. Tapi lu pikir mereka mau sama gue? Lu kan tau gue males banget pake kerudung."
"Hahaha."
"Ish, malah ketawa!" Sasa mendengus sebal.
"Gue juga enggak ngerti, Sa, harus ngapain. Lu cantik, baik, dari dulu banyak yang suka. Gue juga bingung kenapa sampe sekarang lu belum juga punya pacar. Apa jangan-jangan karena lu terlalu pemilih?"
"Entahlah, Ko. Dulu gue emang banyak milih."
"Sekarang?"
"Gue udah berusaha untuk enggak banyak milih, Ko. Tapi susah. Mana bisa gue milih mereka-mereka yang enggak bener itu. Mau-enggak-mau, gue harus banyak milih lagi sampe nemuin yang bener-bener cocok. Yang bener-bener bisa gue terima semua kekurangannya."
"Gue yakin, Tuhan punya rencana yang baik buat lu, Sa."
"Iyaa, gue juga yakin begitu. Cuma kapan rencana baik itu dateng, Ko? Umur gue udah dua puluh lima tahun. Dan gue rasa ini udah waktunya gue nemuin jodoh gue."
"Emang cowok yang bener yang kaya gimana, sih, Sa?"
"Cowok yang bener bagi gue, yaa, kaya lu, Ko. Tapi gue ogah sama lu. Hahaha." Sasa tertawa.
"Gue laki-laki yang bener? Hahaha, Lu enggak tau aja kacaunya gue."
"Kita udah sahabatan lebih dari sembilan tahun, Ko. Gue udah kenal lu luar dalem."
"Tetep aja ada sesuatu yang lu enggak tau dari gue, Sa."
"Ah yaudahlah iya, lu juga bukan cowok yang bener."
"Ya enggak gitu juga, sih."
"Eh saos tomat! Lu maunya apa, sih? Dibilang cowok baik-baik nolak, dibilang cowok enggak bener nolak juga." Bentak Sasa dengan mata yang terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelah Patah Hati (END)
Short StoryKumpulan cerita pendek yang (Beberapa) terinspirasi dari kisah nyata.