"Tumben, makanmu hanya sedikit." Aku memecah keheningan. Dinda, wanita cantik yang duduk di depanku sudah lebih dari tiga menit melamun. Kami sedang duduk makan siang di foodcourt sebuah mall di Jakarta Selatan.
"Tadi, sebelum ke sini sebenarnya aku sudah makan." Katanya pelan, ia mulai memasukkan lagi salmon teriyaki roll ke dalam mulutnya, dan mengunyahnya.
"Pantas saja hanya pesan itu." Mataku mengarah makanan yang ia pesan itu. "Biasanya makanmu banyak. Hahaha." Aku meledeknya.
"Hih, kamu jangan bahas-bahas itu lagi. Itu kan sudah sangat lama."
"Kan memang kenyataannya begitu, waktu itu, sesaat setelah kita menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, kamu mengajakku untuk makan steak. Namun setelahnya kamu lanjut pesan nasi goreng. Padahal badanmu kecil, tapi kok makanan sebanyak itu muat ya? Hahaha." Aku tertawa lagi.
"Hahahaha." Ia tertawa. "Waktu itu aku sangat lapar. Chicken steak itu enggak bikin perutku kenyang."
"Aku makan chicken steak juga, tapi aku kenyang. Banyak alasan. Memang kamunya saja yang makannya banyak. Hahaha."
"Ih!" Ia mencubit pelan lenganku."
"Eh, Eh, ampun." Kataku sambil sedikit tertawa.
Kami mulai menjalin hubungan saat kelas dua SMA. Kebetulan kami satu sekolah, bahkan satu kelas. Saat itu Dinda adalah sekretaris di kelasku. Aku hanya murid biasa. Sebenarnya, aku sempat dipercayai jadi salah satu kandidat ketua kelas, namun, hanya ada dua orang yang memilihku. Fajar, Sahabatku, dan Dinda, yang saat itu adalah gebetanku.
Kami mulai dekat karena sering belajar bersama. Kebetulan, Dinda sangat pintar, ia peringkat satu di kelas, dan aku peringkat dua. Jarak rumah kami terbilang cukup dekat, hanya sekitar lima ratus meter. Hingga kami sering belajar bersama di rumahku. Untungnya Dimas, abangku, selalu mengalah jika aku ingin belajar di rumah. Abangku seorang drummer, berisik sekali jika dia sudah menabuh alat musiknya itu. Tapi ia akan berhenti jika aku dan Dinda bersiap untuk belajar.
Bernostalgia memang kegiatan yang menurutku sangat seru untuk dilakukan. Terlebih aku sudah mengenal Dinda lebih dari delapan tahun. Banyak sekali hal yang kami lewati, banyak sekali momen-momen lucu yang kami ingat.
"Kamu ingat, tidak? Waktu pertama kali kita makan bersama setelah kita resmi menjadi sepasang kekasih?" Tanyanya setelah puas mencubitiku.
"Ingat."
"Memangnya, di mana?"
"Di kafe dekat sekolah, kan?"
"Iya, benar. Saat itu rasanya malu sekali makan berdua denganmu."
"Haha." Aku tertawa kecil. "Aku juga malu."
"Kamu juga malu? Apanya yang malu? Kamu makan seolah-olah sedang tidak bersamaku. Lahap sekali. Berbeda denganku. Aku takut terlihat jelek saat makan, itulah sebabnya aku hanya pesan kentang goreng dan jus jeruk."
"Bukannya kamu bilang, kamu sudah kenyang saat itu?"
"Sebenarnya aku sangat lapar, tapi gengsi. Aku tidak ingin terlihat jelek, aku ingin terlihat cantik di hadapan orang yang benar-benar aku cintai. Jadi, aku menahan lapar sampai kamu mengantarku pulang. Di rumah, aku langsung ke dapur dan makan masakan ibuku."
"Hahahaha." Aku tertawa kencang. Menurutku ini sangat lucu. Ia sangat malu makan di hadapanku. Sebenarnya, aku juga malu saat pertama kali makan berdua dengannya, namun sepertinya rasa laparku mengalahkan itu. Aku dengan lahap memakan nasi goreng sosis, tidak peduli seperti apa bentuk wajahku saat menyendok dan mengunyahnya, yang penting laparku hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelah Patah Hati (END)
Short StoryKumpulan cerita pendek yang (Beberapa) terinspirasi dari kisah nyata.