Sulit sekali menyambung nyawa

229 6 0
                                    

Sudah dua hari aku hidup sendiri. Dengan kondisi kelaparan, aku tidak pernah tau harus berbuat apa. Dua hari yang lalu, ibuku pergi. Biasanya, ia akan kembali untuk membawakanku makanan. Tapi, entah kenapa, kali ini tidak. Ia pergi dan tidak kembali lagi. Aku mulai berpikir untuk belajar bagaimana cara bertahan hidup. Sebab selama ini, aku hanya menunggu ibuku pulang membawakan makanan untukku. Telat untukku menyadari bahwa selama ini aku hidup dengan mudah.

Aku tak paham mengapa Ibu tidak kembali ke rumah. Mungkin memang ia yang lelah mencari makanan sedang aku hanya berdiam diri. Entahlah, yang jelas, kini aku harus bergegas pergi menyambung nyawaku.

Aku pergi dan memasuki sebuah rumah kecil. Ini rumah pertama yang aku tumpangi diam-diam. Tempat ini sangat kecil dan dihuni oleh banyak orang. Tidak ada pagar rumah, bahkan rumah ini menempel dengan rumah tetangga sebelah. Untungnya, aku tidak peduli dengan bentuk dan ukuran rumah, karena yang aku inginkan di sini hanyalah mencari makanan sisa yang bisa menghilangkan laparku saat ini. Aku tidak pernah mengharap lebih, aku tidak butuh uang, pakaian, perhiasan, ataupun ponsel pintar.

Aku mengintip jam dinding yang tertempel di samping foto wanita cantik dengan tulisan Nikita Willy di bawahnya yang menjadi model majalah kalender di rumah itu. Jarum pada jam dinding itu menunjuk angka 12, aku tahu ini jam 12 malam. Tidak seperti yang aku bayangkan, beberapa penghuni belum juga tertidur, aku yang sudah sangat lapar mencoba memberanikan diri mengendap-endap mencari makanan yang ada di dapur rumah ini. Beruntungnya aku menemukan beberapa potong tempe yang sudah sangat dingin di dekat kompor . Aku memakannya dan kembali ke sudut rumah ini, sudut di mana aku mengumpat.

"Udah jelas-jelas korupsi masih aja dibebasin. Gimana sih!" teriak Pak Mamat, bapak pemilik rumah yang sontak membuatku terkejut. Ia sedang menonton berita malam yang diisi dengan kasus korupsi pejabat negara.

--

Pagi-pagi buta aku sudah pergi dari rumah Pak Mamat. Aku cukup ragu untuk pergi dari tempat itu, namun kondisi rumah yang ramai di siang dan malam hari membuatku sulit mencari makan, apalagi di rumah itu hanya ada sedikit makanan sisa yang dapat aku makan, aku yakin akan sulit kedepannya jika aku tetap bertahan di sana.

Aku harus mencari temat lain untuk menemukan makanan. Tempat yang nyaman dan tidak terlalu ramai, sehingga mudah untukku mengambil makanan sisa yang ada. Aku memang hanya bisa memakan makanan sisa. Bagaimana caranya aku membeli sebab uang saja aku tak punya. Lalu, bagaimana jika aku meminta? Ah tidak mungkin orang-orang ini mau memberiku makanan miliknya.

Aku mendapat tempat baru di rumah Pak Baskoro. Bangunan ini tidak besar, namun lebih besar dari rumah Pak Mamat. Aku pikir aku akan nyaman tinggal di rumah ini. Sebab, sebelum aku menemukan ruang untuk mengumpat, aku sudah menemukan dan melahap beberapa potong bakwan jagung dingin di meja dapur rumah ini. Setidaknya aku bisa beristirahat sepanjang hari ini dengan perut yang sudah terisi.

"Wah bener-bener nih! Udah sekaya itu masih aja nyolong duit rakyat! Udah gitu masih aja bebas berkeliaran, bukannya ditahan!" kata Pak Baskoro yang sedang berjalan membawa koran dan secangkir kopi. Mungkin berita yang dimuat di koran yang ia baca memberitakan hal yang sama dengan apa yang ditonton oleh Pak Mamat semalam. Aku hanya memperhatikannya dari jauh sambil memikirkan kata-katanya.

Selama ini aku mengira negara ini diwakili oleh orang-orang baik yang terpilih, sehingga jelas mereka bekerja untuk rakyat. Namun dari yang aku dengar semalam, aku rasa wakil rakyat itu sangat jahat, ia dipercaya untuk mewakili rakyat dengan harapan dapat membuat kedamaian dan kesejahteraan justru membuat hidup rakyat tambah susah. Memangnya berapa gaji seorang wakil rakyat? Mengapa terus merasa kurang? Bukankah sudah bisa makan enak setiap hari saja sudah lebih dari cukup?

"Bajingan emang nih tikus berdasi! Rugi dah gua bayar pajak tiap bulan."

Pak Baskoro membanting koran itu di meja makannya dan mulai menyantap nasi goreng yang tampaknya baru selesai dimasak. Aku melihat wajah pada koran itu, wajah itu membuatku bingung. Mengapa bajingan seperti itu dinamakan tikus berdasi, namun aku lebih bingung lagi bagaimana cara mendapatkan makanan selezat yang sedang disantap Pak Baskoro.

Aku tertidur sampai jam 7 malam. Jam dinding di rumah ini berbentuk hati, dan tidak ada pajangan dinding lain selain jam itu. aku mencoba keluar melihat keadaan rumah. Cukup sepi. Sepertinya waktu yang tepat untukku mencari sesuatu yang dapat kumakan.

Aku berjalan dengan santai, melewati sisi demi sisi rumah mencari makanan yang tidak dimakan oleh penghuni rumah. Ruang tengah, ruang makan, dan dapur sudah aku kunjungi namun belum juga aku menemukan sesuatu yang kucari. sepertinya dugaanku salah, sudah semua sisi aku lewati tidak juga aku menemukan makanan di rumah ini.

Sebenarnya aku ingin bertahan di rumah ini, karena siapa tahu nanti malam ada makan malam yang tersisa di rumah ini, namun perutku berkata lain.

--

Malam ini aku masuk ke dalam bangunan yang sangat besar, aku tidak tahu persis ukurannya, namun sepanjang aku mencari tempat untuk bersembunyi, aku melihat ada lebih dari sepuluh pintu yang terpasang di rumah ini. aku tidak melihat ruangan apa yang dihubungkan oleh pintu itu, karena saat itu mataku lebih fokus melihat kue bolu di meja makan rumah ini. Aku buru-buru memakan kue bolu itu dan segera pergi meski aku tidak melihat ada orang di rumah ini.

Sudah beberapa jam, dan aku belum juga melihat ada orang di rumah ini. Dari tempat aku bersembunyi, aku kembali ke meja makan dan memakan bolu yang tersisa tadi. Namun nasib sial menimpaku kali ini, seorang pria tiba-tiba saja berlari mengejarku. Aku yang terkejut segera lari sekencang-kencangnya melewati ruang demi ruang rumah itu dan bersembunyi di balik lemari.

"Mana? Joko! Kamu liat nggak Jok?"

Aku mengintip bapak-bapak dengan pakaian yang sangat rapih dan bersih bertanya pada seseorang pria berkaos putih lusuh, aku pikir itu adalah bos dan sopir atau mungkin tukang kebunnya yang bernama Joko. Joko terus mencari, namun tidak dapat menemukanku. Aku cukup lega saat itu.

Selagi aku bersembunyi, aku sempat membayangkan bagaimana sulitnya Ibuku membawakan makanan untukku selama ini, aku tidak pernah menyangka sesulit ini.

Tidak lama, lemari tempat aku bersembunyi bergoyang. Benar saja, Joko terkejut, matanya menatapku tajam, aku yang tak kalah terkejut juga menatapnya. Sepertinya, lima detik dengan keadaan seperti ini mungkin akan membuat kami saling jatuh cinta. Tidak, aku tidak menatapnya selama itu, aku justru keluar dan berlari kencang setelah menatap tatapan yang mengerikan itu. aku mencoba mencari jalan keluar, mendobrak pintu demi pintu yang mungkin dapat mengantarkanku ke halaman depan rumah ini.

Belum sempat menemukan pintu keluar, kini aku terperangkap dalam sebuah karung beras. Terlihat Joko mengangkat dan mengikat ujung karung ini sehingga aku terkurung di dalamnya. Aku berusaha keras keluar dari kurungan, namun usahaku sia-sia. Di belakang Joko terlihat pria yang wajahnya terdapat pada koran yang dibaca Pak Baskoro pagi tadi, aku mengingatnya. Dia adalah tikus berdasi.

"Udah, Bakar aja Jok!" Perintah Pria itu pada Joko yang dibalas dengan anggukan.

Aku teriak meminta pertolongan namun tak lama badanku terasa basah dan memanas. Aku menjerit kesakitan.

"Biadab, Bajingan kau pejabat negara! Tega sekali menyiksaku seperti ini. Tidak, aku tidak sudi. Sama sekali tidak sudi bajingan sepertimu disebut-sebut sebagai bagian dari tikus! Apalah itu tikus berdasi! Aku hanya memakan makanan sisa, hanya berusaha menyambung nyawa. Tidak sepertimu, yang mengambil hak orang hanya untuk kepuasan hidupmu! Aku tidak sehina itu! Bajingan kau!" teriakku sambil merintih menahan panas.

"Hahaha. Mampus! Yang bikin resah, emang harus disiksa kaya gini! Hahaha." Ia tertawa. Dan tawa tersebut merupakan suara yang terakhir kudengar.

Lelah Patah Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang