11 : hal kecil penuh makna

3.1K 595 44
                                    

"Mampir bentar lah slur, si bapak nitip akua dingin,"

Aku menoleh pada Jungeun. "Nitip gimana, anjir? Lo mau ke lapangan gitu?" tanyaku.

"Ya iya lah, masa akua-nya gue gelindingin dari koperasi sampe lapangan?? Syukur-syukur kalo nyampe lapangan beneran, gimana kalo mampir ke kolam ikan??" balas Jungeun ngegas.

Aku menggelengkan kepala. "Gimana kalo gue balik ke kelas, nungguin lo di sana?" saranku.

"APA APAAN??" seru Jungeun. "Demi persahabatan cenglu kita, temenin gue lah. Lagian di lapangan ada apa sih, bola basket ga gigit,"

"Iya, bola basketnya ga gigit, yang ngelempar tuh yang gigit," jawabku asal.

Bisa berbahaya jika perempuan rambut panjang kemarin melihatku di lapangan, apalagi setelah insiden labrak-melabrak yang Yunho katakan pagi tadi. Oke, aku mungkin tidak melihat dan tidak tahu jika Mingi benar-benar mendatangi perempuan itu, bisa saja itu adalah akal-akalan Yunho agar aku tidak terlalu khawatir, tetapi tetap saja, aku harus waspada!

"Eun, please lah, yang kemaren udah cukup. Lo gak bisa berkompromi sama gue banget sih??" omelku.

"Apaan kompor mie? Si goblok udah diringkus sama Mingi, ada gue juga, gak usah takut lah. Takut sama Tuhan, jangan sama manusia,"

"Wow, abis ketampol bola basket nih, lo bisa ceramah," celetukku. "Ya udah anjeng, cepetan!"

Kami pun memutar haluan, kembali ke dalam sekolah, untuk mampir ke koperasi yang hampir tutup. Selagi Jungeun memilih-milih minuman, aku terlarut dalam pikiranku. Apakah aku harus membelinya juga untuk Mingi?

Ah, persetan dengan egoku. Aku membuka showcase dan meraih air mineral dingin seperti yang Jungeun beli. Yah, aku anggap ini sebagai permintaan maafku secara tidak langsung.

Jungeun tersenyum-senyum penuh arti melihatku membayar air mineral itu. Aku memelototinya, kalian harus tahu bagaimana menyebalkannya muka Jungeun saat ini. Seperti ingin melempari mukanya dengan bola basket, perasaanku seperti itu.

"Ibu negara jual mahal banget, padahal mah peduli," ucap Jungeun.

"Ssst, bacot," ucapku.

"Tuh, udah persis Mingi banget," ucap Jungeun.

Aku memilih untuk berpura-pura tuli dan membuka tasku, mengeluarkan sebuah post it beserta pulpen. Arrgghhh! Aku tidak tahu apa yang akan ku tulis!!

"Mau ngasih surat cinta lau?" tanya Jungeun.

Aku menggeleng, "Kagak lah, sinting. Kasih saran dong, gue harus nulis apa?"

"Tulis gini, 'semangat ya sayang' terus kasih titik dua bintang," jawab Jungeun.

Aku menghela napas berat. Sudahlah, apa gunanya bertanya pada Jungeun.

Aku menggelengkan kepala dan menulis beberapa patah kata di post it-ku. Tentu saja, aku memilih untuk mengabaikan saran dari Jungeun. Siapa orang bodoh yang akan menuliskan saran itu secara mentah-mentah?

" 'Maaf. Semoga latihannya lancar. Semangat, N.' " Jungeun membaca tulisan di post it-ku. "Tambahin lah anjir, pelit tinta banget lo."

"Tambahin tambahin, pala lo kotak. Cukup lah, kalo kepanjangan, nanti maknanya gak sampe," jawabku.

Aku menempelkan post it itu pada label air mineral dan menambahkan beberapa washi tape agar kertasnya tidak terbang. Masalah apakah kertasnya akan basah dan tulisannya hilang, aku tidak peduli.

Aku menatap air mineralku. "Menurut lo, bakal diminum sama Mingi gak?" tanyaku.

Jungeun mengangguk, "Pasti lah, dia kan 11 12 sama Yunho."

Aku mengerutkan dahi. "Apanya?" tanyaku lagi.

"Bucin," jawab Jungeun. "Ya lo liat aja gimana Mingi ke lo, belom apa-apa bucinnya udah mendarah daging banget."

Aku mengangkat bahu. "Ah udahlah, gak peduli gue. Kalo gak diminum pun juga gapapa, cuma air putih, bukan thai tea. Ga rela lahir batin gue kalo sampe ngebuang thai tea."

Kami meninggalkan koperasi dan kembali melangkah menuju lapangan. Kami bergerak mendekati bangku-bangku kayu di pinggir lapangan dan meletakkan air mineral kami di dekat tas Yunho dan Mingi. Keduanya sedang berlatih dengan serius di tengah lapangan, mungkin mereka tidak tahu jika kami datang.

Ah tidak, Yunho menoleh ke arah kami. Jungeun memberitahu Yunho tanpa suara jika air mineralnya sudah ada di bangku kayu. Aku sebaliknya, aku hanya berdiri diam di sebelah Jungeun. Aku menatapnya, Mingi, mata kami bertemu, tetapi kami saling diam.

Ada banyak yang ingin ku katakan, tetapi tidak ada satu kata pun yang bisa menyuarakan apa yang sebenarnya ada di pikiranku. Ada bagian dari diriku yang merindu, tapi siapa aku? Barangkali, melihatnya pun aku tidak berhak.

"Yuk,"

Jungeun menepuk bahuku, mengajakku untuk pulang. Sebelum aku berbalik, aku tersenyum kecil ke arahnya.

Maaf, jika aku terlalu banyak menunda-nunda. Aku butuh waktu yang lebih banyak untuk menguasai egoku. Tidak masalah jika kau memilih untuk pergi, jangan pedulikan aku, aku sudah biasa ditinggalkan. Kau berhak mencari apa yang pasti, bukan aku yang selalu memintamu untuk menunggu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








note.
aku kira setelah uas, nyicil uprak, hidupku akan santuy, tapi ternyata engga juga huhuhu

Time Of Our Life ➖ATEEZ Mingi [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang