Aku menoleh ke bawah ketika aku merasa sepatuku seperti terbentur sesuatu. Sebuah bola basket, aku pun mengangkat pandanganku searah dengan datangnya bola. Seperti yang bisa ku tebak, Song Mingi berdiri di ujung sana dengan senyum lebarnya.
Mingi berlari ke arahku dan mendudukkan diri di sebelahku. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung masih bercucuran di pelipisnya. Laki-laki itu tampak kelelahan, tetapi sinar matanya cerah sekali.
"Udah selesai?" tanyaku.
"Udah ah, pegel," jawab Mingi.
Sejurus kemudian, Yunho mendekati kami. Ia tidak jauh berbeda dari Mingi, hanya saja keringatnya tidak sebanyak Mingi karena guys, siapa sih yang berolahraga menggunakan hoodie? Di negara dengan suhu panas yang tidak manusiawi ini??
"Modus mulu ya pak," celetuk Yunho. Ia mengemas botol minum dan tasnya, "Nath, mau-maunya lo dimodusin Mingi."
"Ssst, bacot," ucap Mingi. Ia meraih bola basket yang tadi ia lemparkan ke arahku dan men-dribble-nya asal.
Aku menatap Yunho, "Balik sana lo, jangan lupa apelin Jungeun, kasian tuh ngenes banget hari ini."
"Iya, ntar gue bilangin sekalian, ada yang sok-sok ngehindar tapi sekarang malah berduaan--"
"SSSST YUNHO!!!" aku memotong ucapan Yunho.
"Hah? Apa?" tanya Mingi.
"Sialan kau, Jung Yunho. Pulang sana lo hush hush!!" usirku.
Yunho menjulurkan lidahnya ke arahku, mengejekku dengan muka jeleknya. Astaga, mengapa Yunho harus membocorkan jika aku berusaha menghindari Mingi???
Yunho mengambil langkah seribu dan berlari secepat mungkin meninggalkan kami. Astaga, tidak Yunho, tidak Jungeun, dua-duanya sama-sama memancing emosi.
"Nath, lo ngehindarin gue?" tanya Mingi. "Kenapa?"
Aku memijat dahiku dengan kasar, "HHH bukan gituuu, ah susah jelasinnya!"
"Kenapa? Lo digangguin? Karena deket sama gue?" tanya Mingi lagi.
Aku menggeleng, "Enggak, udah lah itu cuma opini pribadi doang. Lagian kalo gue ngehindar dari lo, gue gak bakal ada di sini."
"Natasha, liat gue," Mingi berucap dengan tegas, "Gue tanya, ada yang gangguin lo? Jangan bohong, bilang sama gue kalo ada yang bikin lo gak nyaman."
Aku kembali mengangguk dan berusaha tersenyum. "Enggak, gak ada sama sekali. Gue aja parnoan," ucapku.
Yah, seperti kata Jungeun, mungkin aku yang terlalu khawatir. Aku menanggapi kekhawatiranku secara berlebihan, itu sebabnya aku merasa seperti langkahku selalu ditatap tajam oleh orang-orang.
Mingi mengulurkan jari kelingkingnya, "Janji sama gue, setiap lo ngerasa diganggu, gak nyaman tentang sekitar apalagi setelah kita deket, selalu bilang sama gue."
Aku menatap kelingking Mingi. Tunggu, apakah ini tidak terlalu berlebihan, padahal semuanya hanya prasangka?
"I'll try," ucapku, lalu membalas uluran jari kelingking Mingi dengan melakukan pinky promise.
Mingi tersenyum, "Mungkin gue gak bisa selalu jagain lo, but yeah, I'll try."
"Ah udah deh, ini berlebihan tau?? Gak bakal ada apa-apa, tau sendiri lah Jungeun kayak apa," ucapku.
"Yee, makannya jangan suka bikin khawatir," balas Mingi.
"Ya apa hubungannya??" aku tiba-tiba teringat saat Mingi memarahi Yunho tadi, "Barusan ngapain lo marahin Yunho? Masa istirahat minum doang gak boleh??"
"Ya gak boleh lah, orang istirahatnya sambil ngobrol sama lo," ucap Mingi santai, namun aku justru mengerutkan dahiku.
"Dih, random banget," balasku.
Aku tidak ingin menjadi orang yang 'sok peka'. Lagipula jika 'sok peka' itu ternyata hanya perasaanku saja alias hanya perasaan sepihak, toh aku juga yang akan sakit.
"Nath," panggil Mingi.
"Ya?" Aku menoleh ke arahnya.
Mingi kembali memantul-mantulkan bola basketnya, hingga kemudian ia melempar bola itu ke tengah lapangan dan menoleh ke arahku. Raut mukanya terlihat serius, tetapi ia tetap tersenyum.
"Lo pasti udah ngerti kan sama semuanya, sama semua yang gue lakuin," ucap Mingi.
"Apanya?" tanyaku.
"Tentang kita," jawab Mingi.
Oh Tuhan, aku tidak ingin berspekulasi tentang akan menuju ke mana obrolan ini.
"Kita?" tanyaku lagi. "Yang jelas aja lah anjir, udah sore, gue males mikir."
Mingi menghela napas. "Gue suka sama lo," Mingi menatap dalam mataku, "Lo... Mau jadi pacar gue?"
Untuk beberapa saat, otakku seperti berhenti bekerja. "Gi, not so fast," ucapku.
"Nath, mungkin selama ini gue invisible di mata lo, tapi buat gue, lo enggak begitu," Mingi menggantung ucapannya, "Gue selalu ada di deket lo, tanpa lo sadarin."
Aku tetap menggelengkan kepala, "There will be a time, tapi bukan sekarang. Gue masih butuh waktu buat ngenalin lo, buat nyeimbangin pola pikir kita, dan yah, gue butuh waktu."
"Jadi, gue ditolak?" tanya Mingi.
Aku menggeleng lagi dan tersenyum padanya. "Bukan, gue cuma butuh waktu. Lo bisa tanya gue lagi di masa depan, kalo lo masih mau bertahan sama gue," ucapku sambil memainkan rambut Mingi.
Mingi meraih pergelangan tanganku dan menahannya. "Gue masih punya kesempatan, kan? Satu hal gue minta sama lo, meskipun gue udah nembak lo dan untuk keperluan pembicaraan, anggep aja lo nolak gue, jangan jauhin gue, Nath, jangan ngehindar," ucap Mingi.
Aku tertawa, "Enggak, lagian kita juga keep in touch, kan? Gue masih rajin balesin chat lo tiap malem."
"Janji, jangan berubah?" tanya Mingi.
Aku mengangguk, "Janji."
lagian mas kapten ngegas amat, baru juga 7 chapter :(
mo curhat ah
jadi inget, dulu mas crush bilang ke aku kalo jangan berubah (karena udah jamannya emansipasi dan aku penganut RA Kartini, ya, aku confess ke mas crush duluan huhu 😭), tapi yang namanya jarak ada aja :")
setelah dua setengah tahun suka sama mas crush, masih tteolinda tteolinda nae gaseumi ttwigo itta kalo mas crush lewat, apalagi sambil senyum hadeu.
ada perkembangan? hoho tentu sj tidak.
udah ah sedih, bye.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Of Our Life ➖ATEEZ Mingi [✔]
Fiksi PenggemarNamanya Mingi, kapten basket yang selalu penuh kejutan. was #1 in ATEEZ Originally written by Penguanlin, 2019.