1. Observasi

726 16 3
                                    

CHAT GRUP KELOMPOK 10.

Faza Anggara: Besok jangan pada telat ya, jam delapan pagi harus sudah ada di parkiran kampus.

Rania Rahmawati: Siap, Pak ketua.

Anita Dwi Rahayu: Oke.

Putra Anshori: Gas, Pak ketua.

Tina Angelista: Aku enggak ikut observasi ya, besok daddy aku pulang dari Singapore.

Putra Anshori : Daddy tukang bakso di kampus ya, Tin?
He-he-he, bercanda Daddy.

Arya Nugraha: aku juga izin ya.

Tina Angelista: Minta disantet nih, si cungkring.

Dimas Adi Pratama: Aku juga ya, Pak ketua yang paling ganteng se-antero.

Faza Anggara: Baiklah, Rania dan Anita enggak usah bawa motor. Kita ke sana naik motor aku dan Putra.

Rania Rahmawati: Oke.

Anita Dwi Rahayu: Oke.

Putra Anshori: Oke.

***

Dengan mengendarai ojek online, Rania telah sampai di parkiran kampus. Terlihat seorang pria jangkung tengah duduk di bangku parkiran seraya meminum kopi instan dari gelas berbahan sintetis.

"Faza, yang lain belum datang?" tanya Rania, sekadar basa-basi.

"Kamu lihat, 'kan? Di sini hanya ada aku." Faza menjawab dengan begitu sinis, bahkan tak menoleh sedikit pun pada lawan bicaranya.

"Cih, dasar laki-laki berhati batu, enggak bisa apa jawab pertanyaanku dengan sedikit ramah?" gumam Rania kesal.

Faza yang mendengar rutukan Rania, seketika mata elangnya menatap gadis yang ada di sampingnya. "Bilang apa tadi?"

"Eh, a-anu ---"

"Tumben datang tepat waktu kamu, Nia," seru Putra menghampiri Rania dan Faza.

Rania hanya melirik tajam kepada teman sefakultasnya yang terkenal menyebalkan. Baru kali ini ia merasa bersyukur akan kehadiran Putra, sebab tak perlu lagi ia mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Faza.

"Maaf telat, tadi di jalan macet banget soalnya," ujar Anita, setengah berlari menghampiri ketiga teman barunya.

"Makanya berangkat lebih awal biar enggak terkena macet," ucap Faza, masih dengan sikap dinginnya.

"Ya maaf," ucap Anita lirih.

Manusia berhati batu itupun beranjak dari duduknya, mengenakan helm kemudian menaiki motor Ninja R yang terparkir tak jauh dari tempatnya duduk.

"Put, aku naik motor kamu ya," pinta Rania. Tak mau satu motor bersama sang ketua kelompok.

"Sama Faza aja sana, aku mau boncengin Anita," ucap Putra seraya menyerahkan helm cadangannya kepada Anita, gadis berjilbab dari fakultas kedokteran.

"Woy! Cepetan!" Teriakan Faza membuat Rania yang belum menyelesaikan negosiasinya bersama Putra dan Anita, mau tak mau berjalan menghampiri Faza.

Memiliki tubuh yang pendek, membuat Rania kesulitan menaiki motor Faza yang terbilang tinggi.

Senyum tipis terukir di bibir tebal Faza. "Pegangan sama tangan aku." Faza mengulurkan tangan kirinya.

"Faza, helm buat aku mana?" Rania menepuk pelan pundak Faza.

"Lah, kamu enggak bawa helm sendiri?"

"He-he-he, kelupaan, soalnya tadi buru-buru." Rania memamerkan deretan gigi putihnya, meski ia tahu Faza tak melihatnya.

"Nih." Faza memberikan helm cadangannya kepada Rania.

Segera Rania memakai helm, tak mau pria galak yang ada di depannya menggerutu seperti para ibu-ibu ketika memarahi anaknya yang bandel.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, akhirnya mereka sampai di desa Mekar Sari.

Faza berjalan menghampiri sebuah rumah permanen bernuansa serba hijau. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," teriak seorang wanita dari dalam rumah.

"Kalian anak kota yang mau tinggal di sini selama beberapa minggu itu ya?"

Faza pun menghampiri seorang wanita yang diperkirakan berumur empat puluh tahun itu, mencium tangan kanannya dengan begitu takzim. "Iya, Bu. Perkenalkan ini Putra, Rania dan Anita. Ketiga teman kami yang lainnya tidak bisa ikut karena ada keperluan mendadak," tuturnya.

Mendengar nama mereka disebut, Rania beserta kedua temannya beriringan menghampiri wanita dengan jilbab menutupi setengah badannya, mencium tangan wanita itu secara bergantian.

"Silahkan masuk, sebentar lagi juga abah pulang dari ladang," ucap wanita paruh baya itu mempersilahkan masuk.

"Oh iya, kalian panggil saya emak saja, warga di sini juga biasa memanggil emak," sambung Ibu kades, kemudian melangkahkan kakinya menuju belakang rumah.

Tak berapa lama, wanita paruh baya itu kembali dengan membawa nampan berisikan kopi dan teh manis yang masih mengepulkan asap, tak lupa beberapa jenis kue kering serta makanan khas kampung Mekar Sari.

"Mangga dituang," perintah wanita itu seraya meletakkan makanan dan minuman di atas meja.

"Terima kasih, Bu. Eh, Emak," kata Faza.

"Apa artinya, Ran?" bisik Anita yang duduk di sebelah wanita mungil dari fakultas management.

"Silahkan dimakan," bisik Rania, Anita pun mengangguk pelan.

Di saat mereka tengah asyik berbincang seraya menyantap hidangan dari Ibu kades, terdengar suara pria tua dari luar rumah.

"Assalamualaikum." Pria dengan umur setengah abad itu masuk kedalam rumah. "Eh, ada tamu ternyata."

"Waalaikumsalam," seru Ibu kades dan yang lainnya.

Ibu kades pun mencium tangan suaminya, Rania yang duduk di dekat pintu, sontak berdiri dan mencium punggung tangan pria itu diikuti ketiga temannya.

"Katanya tujuh orang, kok hanya ada empat orang?" tanya seorang pria tua yang menjabat sebagai kades, kemudian duduk di samping istrinya.

"Tiga teman kami tidak bisa ikut, Pak. Ada keperluan mendadak katanya," tutur Faza. Pak kades pun menganggukan kepalanya pelan, tanda mengerti.

"Panggil saja Abah," ucapnya.

"Ya sudah, sekarang saja kita berangkat ke posko," sambung Pak kades.

Selepas pamit kepada Bu kades. Pak kades dan keempat anak muda itu berangkat menuju posko, rumah yang akan mereka tempati selama 30 hari kedepan.

Faza yang biasanya berwajah datar, seketika menjadi ramah. Ukiran senyum tak pernah lepas menghiasi wajahnya yang rupawan kala warga sekitar menyapa Pak kades dan keempat anak kota itu.

Meski matahari begitu terik. Namun, Rania bersama teman-temannya tidak merasakan kepanasan sama sekali, hembusan angin yang menyegarkan seolah menyambut dan turut serta mengantar mereka.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka telah sampai di sebuah rumah panggung yang terletak di ujung desa. Rumah yang tidak terlalu besar. Namun, cukup untuk menampung tujuh orang jiwa.

"Maaf kalau rumahnya tidak bagus," ujar Pak kades seraya membuka pintu.

"Tidak apa-apa, segini juga sudah bagus, Bah." Faza berjalan mengekori Pak kades.

Disaat teman-temannya sibuk melihat-lihat kamar dan ruang tamu, Rania justru berjalan menuju dapur, mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Retinanya menangkap sebuah kamar yang tertutup rapat, berjalan mendekati kamar, tangannya terulur hendak membuka pintu. Namun ....

"Sedang apa di situ, Nak?" Suara parau dari arah belakang mengagetkan gadis mungil itu.

"Jangan pernah sekalipun membuka pintu itu apalagi sampai berani masuk," perintah Pak kades.

"Satu lagi, kasih tahu teman mu yang lain agar menjauhi kamar ini," sambungnya.

"Memangnya kenapa, Bah?" tanya Rania seraya mengekori Pak kades menjauhi kamar paling besar diantara yang lainnya.

KKN Desa Peminta TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang