Tak terasa, mereka telah sampai di sebuah persimpangan jalan.
"Jika kalian ingin membeli kebutuhan untuk sehari-hari, kalian tinggal menyusuri jalan di sebelah kiri, di sana ada kedai Bu Marni. Di sana juga terdapat sebuah masjid yang biasa dipakai anak-anak untuk menuntut ilmu agama," tuturnya seraya duduk santai di dalam gazebo yang terletak di samping kanan rumah yang mereka tempati.
"Kalau ke sebelah sini, mau kemana, Bah?" tanya Rania, telunjuknya menjulur ke arah jalan di sebelah kanan.
Pak Kades pun mengalihkan pandangannya ke tempat yang Rania tunjuk. "Itu arah mau ke hutan dan tempat pemakaman para leluhur."
"Oh ...," ucap Rania singkat.
Teriknya matahari mulai meredup, Pak Kades pun telah pamit pulang sedari tadi.
"Anita, Tina. Kita main ke sungai yuk," ajak Rania dengan begitu antusias.
"Ayo, lagipula bosan duduk-duduk di sini," timpal Anita yang tengah mengayun-ayunkan kedua kakinya yang menjuntai di tepi gazebo.
"Aku enggak ikut ah, nanti kulot aku gatal-gatal," seru Tina tanpa menoleh pada lawan bicaranya.
"Ya sudah kalau enggak mau ikut. Ayo, Nita." Rania menarik tangan Anita, kemudian berjalan beriringan.
Sebuah sungai yang tidak terlalu dalam serta airnya yang begitu jernih, membuat bebatuan di dasar sungai terlihat dengan sangat jelas.
"Kakak, sini." Dini--seorang anak perempuan dengan rambut hitam tebal di ikat dua, memanggil Anita dan Rania agar ikut serta bermain bersamanya.
Tanpa tunggu lama, kedua anak kota itu melepas sandalnya, kemudian turut serta bermain air bersama anak-anak desa mekar sari.
Meski hanya bermain air, raut kebahagiaan tergambar jelas menghiasi wajah-wajahnya yang begitu polos. Anak perempuan maupun laki-laki, berbaur dengan begitu santainya, tanpa ada rasa canggung ataupun merasa malu, meskipun hanya mengenakan celana dalam dan kaos singlet.
"Teh, namanya siapa? Meni geulis pisan, mau enggak, Teteh. Jadi makmum aku," tanya seorang anak kecil kepada Anita.
"Cie ... ada tuyul lagi godain cewek," ledek teman-temannya seraya mencipratkan air ke arah Doni.
"Dasar bocah, kecil-kecil ngomongnya udah kaya orang dewasa aja, sekolah yang benar," omel Rania, kala anak kecil berkepala plontos itu menggoda Anita.
"Apa sih, Teh, orang Doni lagi godain, Teteh cantik itu. Bukan godain, Teteh mungil," ledek Doni, kemudian menjulurkan lidahnya.
"Minta di jitak ya ini bocah, anak siapa sih kamu?" Rania berjalan menghampiri sang bocah, mengepalkan tangan kanannya, bersiap-siap untuk menjitak kepala plontos Doni yang telah berani meledeknya.
"Enggak kena, enggak kena," ledek Doni, kala ia berhasil mengelak.
Namun, bukannya merasa marah, Rania justru terlihat bahagia mengajar-ngejar Doni.
"Kejar terus, Teh. Jitak aja kepalanya dengan kencang," sorak anak-anak kecil, membuat Rania mempercepat laju kakinya.
Anita yang tengah duduk di atas batu besar di tepi sungai, terkekeh melihat tingkah kocak Rania bersama anak-anak desa. Namun, seketika senyuman gadis berhijab itu memudar, kala kedua manik matanya tertuju pada seorang gadis kecil di seberang sungai. Gadis kecil itu terus saja menatap Anita dengan sorot mata yang begitu memilukan.
Anita pun bangkit dari duduknya, hendak berjalan ke arah gadis kecil yang melambai-lambaikan tangan kanannya, meminta Anita untuk menghampirinya.
"Anita, pulang yuk, udah mau maghrib," ajak Rania, menghentikan langkah kaki Anita yang hendak berjalan ke arah jembatan penyeberangan yang terbuat dari bambu.
"Eh iya, ayo." Anita pun mengiyakan ajakan Rania. Matanya masih tertuju pada seorang gadis kecil yang terus menatapnya.
"Hey, anak-anak, ayo pulang," teriak Rania kepada sekumpulan anak kecil yang masih asyik bermain air.
"Ayo, Doni. Nanti keburu abah datang," ucap Dini.
"Iya, ini juga mau pulang, Gendut." Doni pun bergegas mengenakanpakaiannya yang ia simpan di atas batu, diikuti ketiga temannya--Anto, Bayu dan Candra.
"Oh, Teteh Anita. Namanya," ucap Doni berlari menyusul Anita.
"Genit banget itu bocah, anak siapa sih dia, Dek?" tanya Rania pada Dini yang berjalan di sebelahnya.
"Anak abah, Kak. Dia adik aku, kita hanya beda sepuluh menit saja," ujar Dini.
"Anak pak kades?" Rania kembali bertanya, memastikan jika 'abah' yang Dini maksud adalah pak kades.
"Iya," jawab Dini seraya menganggukan kepalanya.
"Kok tengil banget ya itu bocah, beda jauh sama emak dan abah." Rania menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dadah, Kakak cantik. Abang pulang dulu ya, jangan kangen ya, Kak," teriak Doni, kala melihat Anita hendak masuk ke dalam rumah.
"Minta di lempar sandal ya ini bocah," teriak Rania seraya mengacungkan sandal dan bersiap melemparkannya ke arah Doni.
Mendapat ancaman, sontak Doni berlari. "Awas, ada nenek-nenek lagi ngamuk!" teriaknya.
"Betah banget main di sungai. Ayo kita makan, tadi emak ngasih makanan untuk kita," ucap Dimas yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
"Iya, Kak. Nita mau mandi dulu sekalian mau salat maghrib." Anita tersenyum kala mendapat perhatian dari sang kakak tingkatan.
"Cepetan, nanti keburu malam." Rania mengajak Anita untuk mandi bersama.
"Iya, ayo." Anita seketika mengikuti Rania yang hendak berjalan menuju dapur.
"Mana handuk dan pakaian gantinya?" tanya Rania kala melihat tangan Anita tak memegang apapun.
"Ah, iya. Kelupaan." Anita menepuk jidat pelan, lantas berlari menuju kamar untuk mengambil pakaian ganti.
Melihat Anita salah tingkah, Rania dan Dimas hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala.
"Ayo," ajak Anita untuk bergegas menuju kamar mandi umum.
"Kak ... Kakak." Sayup-sayup terdengar suara anak kecil memanggil.
"Ran. Kamu dengar suara anak kecil enggak?" tanya Anita seraya mempertajam indera pendengarannya.
"Enggak dengar," jawab Rania yang tengah asyik membersihkan busa sabun di badannya.
"Kak ... Kakak."
"Tuh, dengar enggak?" tanya Anita kembali, kala ia lagi-lagi mendengar suara anak kecil.
"Enggak dengar, Anita."
"Masa sih enggak dengar, suaranya lumayan kenceng loh, Ran."
"Ih, maksa. Orang enggak dengar, kalau suara adzan aku dengar," ucap Rania, kemudian mengikuti Anita yang sudah lebih awal keluar kamar mandi.
Bukannya bergegas masuk ke dalam rumah, Anita malah celingukan mencari sosok anak kecil yang terus saja memanggilnya.
"Buruan, udah mau gelap ini." Rania menarik tangan Anita, kemudian mempercepat langkah kakinya menuju rumah.
"Aw! Pelan-pelan, Rania. Jalannya." Anita meringis, kala kakinya menginjak sesuatu .
"Maaf," ucap Rania, tanpa memperlambat langkah kakinya.
Setelah sampai di dalam kamar, Rania lantas mengobati kaki Anita yang tertusuk paku.
"Sekali lagi, maaf ya, Nita," ucap Rania seraya melilitkan kain kasa di telapak kaki temannya.
"Mau sampai berapa kali kamu minta maaf? Aku enggak kenapa-kenapa kok." Anita tersenyum lebar, memperlihatkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN Desa Peminta Tumbal
HorreurSekelompok remaja pergi ke sebuah kampung yang terletak di daerah Jawa Barat untuk mengabdi di sana selama 1 bulan penuh. Namun, alih-alih mendapatkan nilai bagus, mereka malah mendapat sial karena ulah mereka sendiri. Kesialan apa saja yang akan me...