2. pemberangkatan

354 12 3
                                    

"Pokoknya jangan pernah mendekati kamar itu, apalagi sampai masuk ke sana," kata Pak kades terus berjalan.

"Tapi kenapa, Bah?" tanya Rania. Rasa penasarannya yang begitu besar, membuatnya terus bertanya penuh selidik.

"Anak muda ini." Pak kades tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala pelan.

"Abah juga tak tahu kenapa, Nak. Abah hanya diamanatkan oleh pemilik rumah yang kebetulan tengah bekerja di luar kota," kata Pak kades, kemudian menghempaskan bokongnya di atas kursi yang terbuat dari kayu jati.

"Jadi rumah ini masih ada pemiliknya?" tanya Rania ikut duduk di atas kursi yang terletak di ruang tamu.

"Iya, karena hanya rumah ini yang bisa kalian tempati," kata Pak kades, kemudian mengisap selinting tembakau yang terapit di antara telunjuk dan jari tengah.

"Sebenarnya ada rumah kosong. Namun, keadaannya tidak memungkinkan untuk kalian tempati," sambungnya.

"Emangnya kenapa, Bah?" Kembali, gadis yang penuh rasa ingin tahu itu bertanya.

"Karena sudah lama tak ditempati, takutnya nanti roboh. Tiang-tiang penyangganya pun telah banyak dimakan rayap." Dengan penuh rasa sabar, Pak kades menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang Rania lontarkan.

"Memang yang punya rumah kemana, Bah. Kok dibiarkan kosong?" Lagi-lagi gadis itu bertanya.

"Jangan ditanggapi, Bah. Sampai nenek-nenek mendadak tumbuh lagi giginya, enggak akan kelar-kelar," ucap Putra, menghampiri sang kepala desa yang hendak menjawab pertanyaan Rania.

"Apaan sih kamu, Put. Datang-datang langsung cari gara-gara." Rania menatap Putra sinis, teman yang selalu berhasil membuatnya naik darah.

"Cukup aku saja yang dibuat pusing oleh kamu, Rania. Abah tak akan sanggup," ucap Putra yang kini tengah duduk di samping Rania.

"Dilan, kali ah," ucap Rania sinis.

"Tak apa, Nak Putra. Peribahasa mengatakan 'malu bertanya, sesat di jalan'. Bukan begitu, Nak Putra?" ucap Pak kades, kembali mengisap selinting tembakau kemudian menghempaskan asap yang mengepul di udara.

"Kalau Rania yang bertanya, lain lagi ceritanya, Bah," ucap Putra seraya menatap teman sefakultasnya yang sedang cemberut.

Pak kades hanya tersenyum tipis melihat Putra dan Rania. "Kedua teman kamu kemana?" tanya Pak kades, kala tak melihat keberadaan Faza dan Anita.

"Mereka lagi di belakang rumah, Bah. Lagi main sama anak-anak kecil di sungai," tutur Putra.

"Oh ... jadi suara gemuruh itu dari suara air sungai," ucap Rania dengan wajah polosnya.

"Ikutan ah." Rania bangkit dari duduknya hendak pergi ke sungai.

"Ikutan-ikutan. Udah mau sore ini, ayo balik. Nanti kemalaman di jalan," ucap Putra menghentikan langkah Rania.

"Cuman mau lihat sebentar aja enggak boleh." Gadis itu menatap Putra dengan penuh kebencian.

Mendapat tatapan sinis, Putra hanya tersenyum kegirangan karena berhasil membuat teman sedari kecilnya merasa kesal.

"Ya sudah, hayu atuh, takutnya keburu hujan," ajak Pak kades. Kala langit sore mulai diselimuti awan hitam.

"Put, ayo kita balik sekarang, udah sore nih," ajak Faza, berjalan menghampiri Putra diikuti Anita.

"Ini juga mau balik, Abang ganteng. Gimana, udah puas main airnya?" ledek Putra, kala melihat ujung celana sahabatnya yang menjabat sebagai ketua itu basah.

Pak kades serta keempat anak muda itu berjalan beriringan menyusuri jalan yang masih berupa tanah merah, kembali ke rumah Pak kades.

Langit semakin gelap, suara bising dari serangga-serangga malam mulai meramaikan seisi kampung Mekar Sari.

"Kalau begitu, kami pamit pulang, Emak, Abah," ucap Faza, kemudian mencium tangan Pak kades serta Bu kades dengan begitu takzim.

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati di jalan, Nak," ucap Pak kades seraya tersenyum.

"Tunggu dulu." Bu kades menghentikan langkah Faza beserta ketiga temannya yang hendak keluar rumah.

"Ini ada makanan buat di jalan," ucap Bu kades seraya memberikan sekantung plastik hitam yang berisikan beberapa jenis makanan ringan.

"Terima kasih, Mak." Faza pun mengambil alih kantung plastik dari genggaman Bu kades.

***

Suara riuh menggema di aula kampus, bersamaan dengan ramainya para mahasiwa yang akan melaksanakan kuliah kerja nyata selama satu bulan di sebuah kampung yang telah dipilih oleh pihak kampus.

Setelah mendapatkan beberapa wejangan dari pihak kampus, para mahasiswa lengkap dengan jaket almamaternya, berhamburan keluar aula.

Berhubung jarak desa yang akan mereka tempuh tak terlalu jauh, Rania beserta teman-temannya sepakat untuk berangkat menggunakan kendaraan pribadi.

"Tin, kamu mau kkn atau mau pindahan?" ledek Putra, kala melihat isi bagasi mobil Tina.

"Berisik! Jangan numpang di mobil aku ya," ucap Tina, gadis cantik nan manja.

"Lagian males banget satu mobil sama cewek manja dan cerewet." Setelah berhasil membuat Tina dirundung amarah, dengan wajah tanpa berdosa ia berlalu begitu saja menghampiri sang ketua.

"Sudah, jangan terlalu dibuat kesal, kayak yang enggak tahu aja kelakuan Putra," ucap Rania seraya menarik tangan Tina agar segera masuk ke dalam mobil.

Tepat pukul sembilan pagi, Rania beserta keenam anggota lainnya berangkat menuju desa Mekar Sari dengan mengendarai mobil milik Tina dan Arya. Jalanan yang lancar, membuat mereka sampai lebih dulu dari waktu tempuh yang mereka perkirakan. Namun, setibanya di jalan penghubung antara desa Mekar Sari dengan jalanan kota, tiba-tiba Arya menghentikan mobilnya secara mendadak.

"Arya! Kamu bisa bawa mobil dengan benar enggak sih?" Gadis manja itu berteriak, kala mobil kesayangannya hampir saja menabrak bumper mobil Arya.

"Untung mobil aku enggak kenapa-kenapa, ngapain sih kamu pakai acara ngerem mendadak?" omel Tina seraya menghampiri Arya diikuti Rania dan Anita.

Arya hanya diam tak bergeming, memandangi sebuah pohon yang cukup besar, tumbang menghalangi jalanan yang akan mereka lalui.

"Astagfirullah, bagaimana ini?" gadis yang selalu mengenakan hijab itu terbelalak menatap pohon yang membentang menghalangi jalan.

"Ya mau bagaimana lagi, Hanya ini satu-satunya akses jalan yang bisa kita lalui untuk sampai ke desa Mekar Sari." Faza berkacak pinggang, menatap pohon tumbang dengan wajah serius.

"Kita angkat sama-sama," perintah Faza seraya menoleh teman-temannya.

Setelah bersusah payah memindahkan pohon yang sempat menghentikan laju mobil mereka, akhirnya Rania beserta teman-temannya dapat melanjutkan perjalanan mereka kembali.

Baru beberapa meter mereka menyusuri jalanan yang belum diaspal, dengan pohon-pohon besar tumbuh di kedua sisi jalan. Sebuah gapura besar bertuliskan 'Selamat Datang Di Desa Mekar Sari' terlihat begitu kokoh berdiri dihiasi tanaman yang merambat di sisi kanan dan kiri gapura.

Kembali, pria dari fakultas sastra itu menghentikan mobilnya.

"Ada apa lagi sih? Mobil aku nabrak kan jadinya." Amarah Tina seketika bergejolak. Bagaimana tidak? Mobil yang selalu ia rawat seapik mungkin, menabrak mobil Arya dan membuat mobilnya tak lagi mulus.

KKN Desa Peminta TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang