"Berisik banget sih kamu jadi cewek, cuman lecet sedikit saja heboh. Selesai kkn, aku ganti biaya kerusakan mobil kamu. Bila perlu, aku belikan yang baru!" Arya yang merasa marah, dengan sengaja membentak gadis dari fakultas management yang terkenal manja.
"Kamu keterlaluan ya, Arya. Cowok arogan seperti kamu, enggak akan bisa menghargai perasaan orang lain." Tina yang tak bisa mendapat bentakan, seketika air matanya mengalir membasahi pipi tirusnya.
"Sudah! Kenapa pada berantem sih kalian? Kayak anak kecil saja." Belum ada sehari menjalani masa kkn, pria dari fakultas sastra itu sudah merasa pusing dengan tingkah laku Tina dan Arya yang kembali bertengkar.
"Daripada berantem terus, mending berpikir bagaimana cara mengusir ular itu," ucap Faza dengan nada bicara sedikit tinggi, menunjuk ke arah seekor ular besar yang membentang menghalangi jalan.
Mendengar sang ketua marah, sontak membuat Tina dan Arya yang sedang beradu mulut seketika terdiam.
Tak perlu menunggu perintah, Dimas dengan sigap mengambil ranting yang tergeletak di pinggir jalan, kemudian berjalan ke arah ular berada.
"Hati-hati, Kak." Anita yang merasa khawatir melihat kakak tingkatannya, mengimbau agar berhati-hati dalam menghadapi hewan reptil yang terkenal cukup berbahaya.
Dimas hanya tersenyum seraya mengangguk pelan. "Ayo, sekarang kita sudah bisa lewat," tuturnya, bersamaan dengan perginya ular dari jalanan.
"Wih, hebat ya, Kakak. Berani mengusir ular," seru Rania takjub.
"Ya jelas ularnya langsung kabur, yang nyamperin kan buaya, He-he-he." Mulut Putra kembali beraksi, menggoda teman satu tongkrongannya.
Merasa malas menanggapi usilan Putra, Dimas berlalu begitu saja, masuk ke dalam mobil.
Ketujuh muda-mudi pun melanjutkan perjalanannya menuju balai desa. Sesampainya di sana, Pak kades dan Bu Kades ditemani beberapa warga setempat, berdiri sejajar menyambut kedatangan para anak kota yang akan memberi perubahan pada desanya.
Arya dan Tina pun memarkirkan kendaraannya di lapangan yang bersebrangan dengan balai desa.
"Selamat datang kembali, Nak Faza dan yang lainnya." Pak kades menghampiri ketujuh anak kota yang berjalan kearahnya.
Faza beserta teman-temannya menyalami Pak kades juga warga lainnya. Kemudian mereka masuk ke dalam balai kota.
"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, selamat sore, Ibu serta Bapak kades dan para warga sekalian, saya Faza selaku ketua kkn, ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena telah mengizinkan saya beserta rekan-rekan saya, untuk melaksanakan kuliah kerja nyata di desa ini. Semoga saya beserta rekan-rekan saya dapat memberikan perubahan positif di desa ini. Sekian dari saya Faza Anggara dari fakultas sastra, kepada rekan-rekan, saya persilahkan untuk memperkenalkan diri," ucap Faza menoleh teman-temannya yang berdiri sejajar dengannya.
"Selamat sore semuanya, saya Putra Anshori dari fakultas management."
"Saya Arya Nugraha dari fakultas sastra."
"Saya Dimas Adi Pratama dari fakultas kedokteran."
"Saya Tina Angelista dari fakultas management."
"Saya Rania Rahmawati dari fakultas management.
"Saya Anita Dwi Rahayu dari fakultas kedokteran."
"Saya harap, Ibu serta Bapak sekalian, dapat bekerjasama guna meningkatkan kemakmuran di desa ini. Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh." Faza mengakhiri percakapannya dengan menyebutkan salam.
***
Ketujuh anak muda itu berjalan menuju posko ditemani oleh Pak kades.
"Pak, mobil saya aman kan kalau diparkirkan di sana?" tanya Tina yang khawatir dengan mobilnya lantaran tempat parkir dengan posko yang mereka tempati terbilang jauh.
"Aman kok, Nak. Setiap malam anak-anak karang taruna dan beberapa warga selalu berkumpul di pos ronda yang terletak di samping balai desa," tutur Pak kades yang berjalan paling depan.
"Syukur deh. Soalnya, itu mobil kesayangan aku. Mana tahu di sini ada pencuri." Tina berkata sekenanya.
"Tenang saja, selama saya tinggal di desa ini, tak pernah ada kasus kehilangan." Pak kades dengan sengaja memberikan penekanan di saat mengucapkan kata kehilangan.
Rania yang menyadari bahwa ucapan temannya itu menyinggung sang kepala desa, sontak menyikut tangan Tina.
"Aw! Sakit tahu, Rania." Gadis yang selalu membiarkan rambutnya tergerai, meringis kesakitan seraya menatap sang pelaku.
Rania menatap Tina sinis. "Jaga omongan kamu, ini kampung orang," bisiknya.
"Bah. Maafkan teman saya jika perkataannya menyinggung perasaan, Abah," ucap Faza merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa, Nak Faza." Pak kades berjalan menaiki tangga posko, lantas membuka gembok yang mengunci pintu rumah.
"Tidak terlalu buruk," batin Arya seraya mengedarkan pandangannya menyusuri setiap sudut rumah yang terbuat dari bilik dan kayu.
"Kalau begitu, abah pamit pulang ya. Besok siang abah akan datang lagi untuk mengajak kalian berkeliling desa," ucap Pak kades seraya menyerahkan kunci rumah kepada Faza.
Ketujuh anak muda itupun mengantar pria paruh baya yang akan menjadi orang tua mereka selama tinggal di desa Mekar Sari, sampai di ambang pintu.
"Tina, lain kali lebih dijaga ya tutur bahasanya, kita enggak pernah tahu isi hati orang." Sang ketua menasihati. Namun, Tina berlalu begitu saja, tak mengindahkan ucapan Faza.
Faza hanya dapat mengusap dada, lantas pergi menuju sebuah kamar di samping dapur.
Selepas menata barang-barang mereka di dalam kamar, ketujuh anak muda itu berkumpul di ruang tamu seraya menonton televisi.
"Kalian pada lapar enggak? Masak mie yuk." Rania yang merasa perutnya keroncongan, berinisiatif menawarkan teman-temannya.
"Mau dong, tahu aja kalau aku lagi lapar, mie goreng ekstra pedas," ucap Tina penuh antusias.
"Yang lainnya?" tanya Rania.
"Bikinin mie goreng aja semuanya," ucap Faza yang tengah sibuk dengan laptopnya.
"Aku enggak lapar, bikinin kopi aja." Pria super menyebalkan itu menatap Rania seraya memamerkan deretan giginya.
Rania pun menatap malas Putra, kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur.
"Aku bantuin ya, Rania." Gadis berkerudung merah marun itu mengikuti Rania yang telah berjalan lebih dulu.
Rania dan Anita pun menyiapkan makan malam ala anak kos, lantas memasukkannya ke dalam sebuah mangkuk besar.
"Rania. Itu ruangan apa?" Anita menunjuk sebuah kamar di dekat pintu belakang.
"Entah, akupun tak tahu." Rania mengangkat kedua bahunya.
"Oh iya, Abah diamanati oleh pemilik rumah agar kita tidak usah mendekati kamar itu, apalagi sampai berusaha masuk," sambungnya dan Anita pun mengangguk pelan.
"Makan malam sudah siap," seru Rania seraya membawa makanan yang akan mereka santap.
"Ini kopinya." Anita menaruh segelas kopi yang masih mengepulkan asap.
"Kok hanya satu, buat aku mana?" tanya Dimas.
"Kakak enggak bilang kalau ingin kopi juga," ucap Anita yang hendak duduk di samping Tina.
"Udah, ini aja berdua." Putra menyodorkan segelas kopi miliknya kepada Dimas.
Tok ... tok ... tok!
Suara pintu diketuk, membuat sang ketua dan yang lainnya menghentikan acara makan malamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN Desa Peminta Tumbal
TerrorSekelompok remaja pergi ke sebuah kampung yang terletak di daerah Jawa Barat untuk mengabdi di sana selama 1 bulan penuh. Namun, alih-alih mendapatkan nilai bagus, mereka malah mendapat sial karena ulah mereka sendiri. Kesialan apa saja yang akan me...