Dengan sigap Faza menghampiri asal suara. Meraih knop pintu lantas membukanya. Namun, tak ada siapa pun yang berdiri di depan pintu. Keadaan di luar begitu sunyi, hanya gemuruh air dan suara-suara hewan malam silih bersahutan yang ia dapati.
"Siapa, Za?" Putra yang penasaran, berjalan menghampiri.
"Entah, orang iseng kayaknya," ucap Faza merekatkan jaketnya yang terbuka. Kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Putra yang masih memperhatikan keadaan sekitar.
"Putra! Tutup pintunya, dingin tahu," perintah Tina, kala Putra berjalan menghampiri tanpa menutup pintu terlebih dahulu.
Alih-alih menuruti perintah Tina, Putra dengan santai duduk dan kembali menikmati secangkir kopi yang tinggal seperempat lagi.
"Putra! Bisa enggak sih, sehari saja tidak membuat aku ataupun Tina marah?" Rania meninggikan suaranya, kemudian menutup pintu.
Baru berjalan beberapa langkah menjauh dari pintu, suara pintu diketuk kembali terdengar. Gadis itu membalikkan badannya hendak meraih knop pintu.
"Jangan dibuka!" ucap Faza setengah berteriak.
"Memangnya kenapa?"
"Aku bilang jangan dibuka."
"Tapi kenapa?" Rania kembali menanyakan alasan yang membuat Faza tak memperbolehkan ia untuk membuka pintu.
"Apa susahnya tinggal ikuti saja perintahku. Kalau kamu masih penasaran siapa orang yang mengetuk pintu, bukalah. Namun, jika sesuatu terjadi padamu, aku tak mau direpotkan," ucap Faza, kemudian melanjutkan melahap mie miliknya yang mulai mendingin.
Rania yang ketakutan melihat sorot mata sang ketua, akhirnya memilih diam dan mengurungkan niatnya untuk mencari tahu siapa orang yang mengganggu acara makan malamnya bersama teman-temannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dinginnya angin, membuat para anak muda itu merasa kedinginan, kala sang angin menerobos masuk melalui sela-sela dinding yang terbuat dari anyaman bambu, serta membelai lembut tubuhnya.
"Aku tidur duluan ya," ucap Rania, berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari keenam temannya.
Gadis itu lantas membaringkan tubuhnya di atas kasur yang terbuat dari isi buah randu. Sebuah kamar yang tak terlalu besar. Namun, cukup untuk menampung ketiga gadis kota.
***
Ayam jago bertengger di atas reban dengan gagahnya, mengeluarkan suaranya yang begitu merdu. Derap langkah kaki para warga yang hendak pergi ke pematang sawah, membuat gadis mungil itu terbangun dari lelapnya.
"Anita, temani aku mandi yuk," pinta Rania kala mendapati teman sekamarnya masuk ke dalam kamar.
"Aku baru selesai mandi, Nia." Gadis berhijab itu melangkahkan kakinya menuju lemari di sudut kamar, mengambil seperangkat alat salat miliknya.
"Tungguin aja dari luar ya, aku enggak berani mandi sendirian."
"Ya sudah, tapi tunggu aku selesai salat ya," ucap Anita lembut.
"Salatnya nanti aja, habis aku mandi. Gak akan kesiangan kok, aku mandinya sebentar aja. Ya, Anita, ya." Rania merengek seperti anak kecil.
"Ya sudah, ayo." Anita pun akhirnya mengalah, menuruti permintaan teman barunya.
Kedua gadis itupun berlalu menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumahnya. Sebuah kamar mandi yang biasa digunakan para warga sekitar.
"Kamu tunggu di sini ya," pinta Rania seraya menunjuk sebuah bangku panjang yang tak jauh dari kamar mandi umum.
"Iya," ucap Anita singkat.
Anita pun masuk ke dalam kamar mandi yang hanya berdinding papan dengan atap dari sebuah seng.
"Anita, airnya dingin banget ya, kayak mandi pakai air es," ucap Rania yang keluar dari dalam kamar mandi, tubuhnya bergetar kedinginan.
"Namanya juga air dari pegunungan, tapi kalau mandinya siang, airnya bakalan hangat. Kayak di kampung aku," tutur Anita, bangkit dari duduknya.
Kedua gadis itupun berjalan beriringan, kembali menuju posko. Lantas menunaikan salat berjamaah.
"Selamat pagi, teman-teman kesayangan aku," seru Putra menghampiri Rania dan Anita yang tengah memasak di dapur.
"Pagi juga, Kak Putra," sapa Anita ramah.
"Khusus buat, Dek Nita. Jangan panggil aku kakak ya, tapi panggil, sayang." Putra memberi penekanan di saat mengucapkan kata sayang.
"Najis," ucap Rania dengan wajah malas.
"Kenapa sih kamu, Nia. Cemburu ya?" goda Putra.
"Ih, amit-amit. Daripada gangguin kita, mending kamu mandi aja sana, sekalian keramas supaya otaknya enggak geser." Rania mengetuk-ngetuk meja yang terbuat dari kayu. Sedangkan Anita, hanya tersenyum melihat tingkah Rania dan Putra bak seekor kucing dan tikus.
Seperti apa yang telah Pak Kades janjikan kemarin sore, ketujuh anak kota itu bersiap-siap pergi menuju balai desa.
"Selamat pagi, Abah," sapa Faza, menghampiri pria paruh baya yang tengah menikmati secangkir kopi hitam ditemani beberapa jenis gorengan.
"Pagi, sini sarapan dulu, Nak," balas Pak Kades.
"Makasih, Bah. Tapi, kita sudah sarapan dulu sebelum ke sini," tolak Faza secara halus.
"Ya sudah, hayu atuh." Pak Kades seketika berdiri dari duduknya, mengajak ketujuh anak muda untuk berkeliling desa.
"Di sanalah tempat anak-anak mengenyam pendidikan." Pak Kades menunjuk sebuah bangunan besar yang tak jauh dari lapangan, tempat Arya dan Tina memarkirkan mobilnya.
"Kok hanya ada tingkatan SD dan SMP saja, SMA-nya dimana?" tanya Rania, kala hanya anak-anak berseragam putih merah dan putih biru tua yang ia dapati.
"Di desa ini memang tidak ada sekolah SMA, karena kebanyakan orang tua di sini akan mengirim anak-anaknya ke pesantren setelah lulus SD ataupun SMP," tutur Pak Kades.
Setelah melihat-lihat serta menyapa beberapa murid serta guru, mereka kembali berjalan melewati lapangan.
Tak jauh dari balai desa, terdapat sebuah bangunan permanen dengan teras yang cukup luas.
"Di sini, tempat posyandu dan para ibu-ibu PKK mengadakan acara rutin setiap minggunya," ucap Pak Kades.
"Halaman rumahnya luas ya, kalau mau main bola, enggak perlu sewa lapangan," seru Arya, kala mendapati setiap rumah dengan rumah yang lainnya cukup berjauhan. Berbeda dengan tempat tinggalnya yang kebanyakan dari rumah ke rumah yang lainnya saling berdekatan.
Pak Kades hanya tersenyum simpul melihat antusias Arya.
"Itu apa, Bah?" Tina menunjuk sebuah pohon besar yang dikelilingi aneka pernak-pernik untuk melakukan sebuah ritual persembahan.
"Oh, itu. Sebagian warga di sini selalu rutin menyimpan sesajen setiap malam jum'at," ucap Pak Kades sambil sesekali mengisap tembakau yang telah ia linting.
"Gunanya untuk apa, Bah?" tanya Rania yang dirundung rasa penasaran.
"Hanya bentuk rasa syukur kepada para leluhur karena telah menjaga serta mensejahterakan desa ini," jawab Pak Kades seraya kembali melangkahkan kakinya.
"Oh begitu ya, pantas saja, kemarin aku melihat ada beberapa sesajen di bawah gapura selamat datang," ucap Dimas.
"Ada beberapa titik tempat yang sengaja ditaruh sesajen, seperti di gapura, pohon keramat yang tadi kita lewati, di dekat air terjun serta di makam leluhur yang terletak di tengah hutan," tutur Pak Kades.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN Desa Peminta Tumbal
HorrorSekelompok remaja pergi ke sebuah kampung yang terletak di daerah Jawa Barat untuk mengabdi di sana selama 1 bulan penuh. Namun, alih-alih mendapatkan nilai bagus, mereka malah mendapat sial karena ulah mereka sendiri. Kesialan apa saja yang akan me...