Bab X : Pintu Terakhir

17 1 0
                                    

Semenjak kelas 12, terutama semester 2, kami menjadi jarang sekali untuk bertemu. Aku dan Cantika fokus untuk Ujian Nasional. Setelah Ujian Sekolah dan Ujian Nasional, kami murid SMA Carita Bangsa harus melakukan kegiatan magang.

"Rencana magang dimana?" tanyaku kepadanya. Yang kutahu, dia belum mendapatkan tempat untuk magang.

"Belum tahu nih. Tunggu nanti dari sekolah bagaimana jadinya." jawabnya pasrah. Aku turut prihatin dengannya. Aku sendiri sudah mendapatkan tempatku bekerja. Aku bekerja di salah satu sekolah TK yang ada di dekat sekolah. Aku bekerja bersama dengan Wawan dan Jojo.

Akhirnya dia mendapatkan tempat magang. Cantika akan bekerja sebagai salah satu staff di minimarket. Aku turut berbahagia melihat dia yang mendapat pekerjaan.

"Cie kerja jadi karyawan minimarket." mulaiku untuk 'berdebat'

"Cie kerja jadi guru. Didik anak-anak lu jadi bener, bukan jadi sesat."

"Kan gua orang bener, Tik." Aku membela diri dengan penuh kebanggaan.

"Ada kantong plastik gak?"

"Di tempat lu kerja geh banyak."

"Ohh iya ya."

"Dasar pikun, makin tua jadi makin lupa."

"Maap atuh, kan kepala aing pernah ketimpa barang gede, Vin."

"Ohh masih amnesia?"

"Iya."

Aku ingin menghantam kepalanya agar kembali sadar. Hehe. Maafkan aku, memang bar-bar anaknya.

-----

Satu bulan telah berlalu. Dari anak anak didikku yang awalnya belum kenal denganku hingga sekarang selalu memanggilku "Mr Gavin" ketika berjumpa denganku. Tibalah kami sampai di masa yang paling tidak ingin aku temui. Perpisahan. Semua persiapan mengenai wisuda telah disiapkan. Latihan performance, latihan berjalan, latihan bernyanyi. Aku mulai merasakan esensi dari perpisahan itu sendiri. Semula yang awalnya tidak dekat menjadi dekat. Semua takut akan kehilangan. Sama sepertiku, aku takut kehilangan Cantika.

Aku pernah bermimpi suatu hal yang buruk. Aku bermimpi Cantika sudah tiada. Benar-benar tiada. Dalam mimpi, aku seperti mendapatkan undangan dari keluarga Cantika. Aku bertanya kepada keluarganya maksudnya apa. Mereka terdiam. Aku masih bingung. Aku kemudian melihat di dalam mimpi, Cantika telah meninggal. Cantika meninggal tanpa memberikan kata-kata terakhirnya untukku.

Aku benar-benar dibuat sedih oleh mimpi itu. Untung saja itu hanyalah mimpi belaka. Aku bercerita kepada Lusi, dia bilang itu hal yang lumrah.

"Ketika lu belum rela untuk melepaskan sesuatu, maka mimpi-mimpi itu wajar untuk terjadi" kata Lusi kepadaku.

"Tapi, mengapa harus mimpinya seperti itu" tanyaku belum puas

"Lu harus belajar melepaskan dirinya."

-----

Sehari sebelum Graduation, aku menyempatkan untuk menulis surat kepada orang-orang yang memiliki kedekatan denganku. Marvel, Kevin, Retha, dan yang pasti Cantika.

Aku menulis surat yang sangat panjang kepada Cantika. Surat terakhirku kepada Cantika semasa SMA. Aku ingin mengungkapkan apa yang aku rasa selama "berteman" dengannya. Aku ingin menjelaskan mengapa aku mau berteman dengannya. Pertanyaan yang muncul dalam benakku: "Apakah aku dapat memberikan surat itu kepada Cantika?"

Beberapa saat sebelum Graduation dimulai, kami semua dikumpulkan untuk menjalani foto bersama kelas untuk kali terakhir. Aku dapat melihat betapa cantiknya Cantika menggunakan kebaya berwarna hijau kebiru-biruan. Aku juga tidak kalah gantengnya. Aku menggunakan kemeja terbaikku, dengan setelan jas formal yang membuat diriku semakin berkharisma jika difoto. Aku ingin meninggalkan kesan terbaikku di masa SMA.

Wisuda pun dimulai. Tidak ada penghargaan yang aku mau pun Cantika dapatkan siang itu. Wajar, kami hanya murid-murid biasa saja. Tidak ada kelebihan dalam hal akademis. Semua penghargaan disabet oleh Budi saja. Dia memang masternya akademik.

Video akhir tahun pun dirilis oleh panitia wisuda. Aku meneteskan air mata ketika melihat video tersebut. Aku menyadari, waktu perpisahan itu semakin dekat. Video akhir tahun yang disambung dengan doa adalah menjadi momen terakhirku untuk duduk di atas kursi milik sekolah.

Sesi ramah tamah telah dimulai selepas doa. Aku mengucapkan salam selamat tinggal dan meninggalkan surat untuk mereka yang telah kusebutkan. Aku terdiam ketika melihat Cantika yang begitu sibuknya berfoto dengan orang lain. Aku yang sedari tadi membawa surat untuk Cantika harus terus menahan niat untuk memberikan surat itu dan meminta foto untuk pertama dan terakhir kalinya semasa SMA

Hingga aku menyadari dia segera meninggalkan auditorium, aku langsung berlari menuju arah pintu. Aku berlari dan membawa surat itu dalam genggaman.

"Tika... Tika...." kataku yang disertai rasa ngos-ngosan setelah berlari dari ujung ke ujung pintu yang lain.

"Iya, Gavin?" Cantika berhenti dan bersiap untuk mendengarkanku berbicara.

"Nih, ada surat buat lu, Tik."

"Ohh. Makasih ya, Vin."

Tak ada acara foto bersama untuk pertama dan terakhir kalinya. 

Cantika pun berjalan melewati pintu terakhir, meninggalkanku yang masih terdiam disana sembari melihat langkah kaki Cantika yang semakin menjauh. 

Fren(zone) :  SMA, Cinta, UnrepeatableWhere stories live. Discover now