BISA dibilang, Riri hampir tidak pernah kemari. Walaupun setiap tahun ia pulang ke Indonesia dan menghubungi kakak tingkatnya itu, tapi ia tidak pernah mendatangi restoran ini. Ini kedatangan perdananya setelah ia pulang beberapa bulan yang lalu.
Dulu, mereka memang dekat, tapi kedekatan mereka tergolong biasa saja. Dia memang adik tingkat Nayla, tapi mereka beda jurusan, beda jam kuliah juga, dan setelah setahun mereka pun berada di belahan dunia yang berbeda. Riri masih harus melanjutkan kuliahnya di benua Amerika, sedangkan Nayla pulang ke Indonesia.
Selama ini, mereka berhubungan lewat email atau telepon ketika Riri pulang ke Indonesia. Dan hanya begitu, tanpa bertemu, karena Riri lebih suka mengurung diri di kamar. Selain jarang keluar, dia juga malas aktif di media jejaring sosial seperti yang sedang trend sekarang.
Dia memang punya akun, tapi hanya sebatas itu. Riri malas menggunakannya.
Riri masuk ke restoran dan mengambil tempat duduk di tengah, tatapannya terarah ke arah pintu dapur yang tertutup rapat, ketika seorang pelayan mendatanginya. Pria itu tersenyum ramah padanya, Riri membalas senyum itu dengan senyuman manis.
"Mau pesan apa, Mbak?" tanya pria itu sopan. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi keramahannya membuat Riri terkesan.
Sayangnya, perempuan itu tidak berminat pacaran, apalagi pacarnya seorang pelayan. Dia tidak akan mau berpacaran dengan pria sejenis itu, karena masa depannya pasti akan suram. Selain tidak akan bisa bertahan lama, pria sekelas pelayan tidak akan bisa diajak membangun masa depan dengan gajinya yang pas-pasan.
Riri tersenyum sopan. "Saya pesannya nanti dulu, deh, Mas, boleh?"
Pria itu mengangguk, masih dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Mungkin, dia berpikir bisa memikat Riri dengan senyuman itu? Ceh, jangan berharap lebih!
"Oh, ya, Kak Nayla-nya ada di sini, nggak?"
Dengan dahi mengerut, pria itu menjawab, "Ada, Mbak."
"Tolong dipanggilin, bisa?" pintanya dengan sopan, tak lupa senyum manis yang dibalas anggukan.
Riri melihat-lihat sekitar restoran itu yang masih sepi pengunjung. Memang belum waktunya jam makan siang, jadi ia memakluminya. Interior restoran ini yang pertama kali menarik minatnya, kemudian dia tersadar jika telah menunggu cukup lama.
Dia melirik bagian pelayan. Ada beberapa pelayan yang kini saling berbincang, tak terkecuali pelayan yang tadi menanyainya. Dia mengernyitkan dahi, melihat jam dinding, kemudian kembali menatap pelayan itu lagi.
Gue diabaiin, nih, ceritanya?
Ia menatap pelayan itu sekali lagi, tapi tatapannya terhenti pada seorang pelayan wanita yang kini menatapnya dengan berani. Dari tatapannya, ada sekelumit rasa kesal dan benci yang menguar hingga membuat Riri bergidik.
Siapa sih itu orang? batinnya bertanya, tapi ia tak menemukan jawabannya.
Penyakit pikun dadakannya membuat ia melupakan banyak hal, bahkan di saat yang sangat dibutuhkan seperti sekarang, dia tidak bisa menemukan nama yang tepat untuk pelayan wanita yang kini kembali berbincang dengan rekan-rekannya.
Namun, tidak seperti saat menatapnya. Wanita itu kini terlihat manis, layaknya perempuan lemah dan pemalu pada umumnya, dan hal itu, jujur saja membuat dahi Riri mengernyit.
Selama ini, Riri tidak punya musuh. Dia selalu menghindari keramaian, dia bahkan jarang berteman. Dengan sifat nyentriknya itu, dia bahkan ragu ada yang mau berteman dengannya. Walaupun pada kenyataannya, dia memiliki beberapa orang teman dan salah satunya pemilik restoran ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mantan Playboy (TAMAT)
Romance[Follow me first] Nggak ada angin, nggak ada hujan, apalagi guntur menyambar. Tiba-tiba seorang laki-laki datang melamar. Sebagai wanita fresh graduated yang ingin menyandang predikat perawan tua, Riri harus menelan semua niatnya bulat-bulat, karena...