SMP || 10

154K 8.3K 164
                                    

RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.

Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.

Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul.

"Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?"

"Eng—"

"Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."

Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan lagi, kan?"

Raffa menggeleng dengan senyuman manis. "Enggak, Tan, lebih cepat lebih baik, daripada Riri berubah pikiran dan cari laki-laki lain?"

"Ah, kalau itu nggak mungkin! Riri anaknya nggak suka deket-deket sama laki-laki, kok. Saingan berat kamu paling-paling cuma laptop sama ponselnya aja."

"Ma!" Riri memegangi ujung pakaian ibunya, tapi Arlin menepisnya seraya memberikan pelototan tajam. Padahal, Riri mau bilang, dia nggak mau menikahi pria pengidap AIDS itu!!!!

"Benda mati nggak bisa abadi kayak teman hidup yang bisa bersama selamanya sampai mati, Tan."

August berdeham, Rosa bahkan menganga mendengar kalimat yang keluar dari mulut putranya. Arlin dan Arya bisa tersenyum lega, tapi Riri ... wanita itu mendelik dan menatap tajam Raffa yang masih setia dengan senyuman manis bak seringai setan.

Bajingan ini ... mulutnya manis banget, aslinya iblis! Awas aja lo, ya! Gue bersumpah, bikin lo mundur jadi calon suami gue!

***

"Besok gue ke sini lagi," ujar Raffa sebelum dia pergi dari rumah Riri.

"Mau ngapain?" Riri bersedekap dada di hadapan Raffa yang kini telah menundukkan wajahnya.

"Nyamperin calon istri."

"Ngarep!"

Raffa terkekeh kecil. "Kan, tadi Mama sama Papa lo udah bilang, kita akan menikah dua bulan lagi."

Riri mendengkus. "Emang siapa yang mau nikah sama lo?"

"Lo, kan?" Raffa terkekeh sekali lagi. "Gue besok ke sini lagi, kita makan siang bareng. Atau, kalau lo mau jalan ke manapun, lo bisa ngehubungin gue."

"Mau nemenin?"

Raffa mengangguk.

"Emang nggak sibuk?"

Raffa menggeleng. "Kita lagi pendekatan, waktu berduaan itu penting buat sebuah hubungan."

Riri mendengkus, tapi dia tersenyum juga. Jadi, dia bisa menghemat ongkos taksi kalau mau pergi ke mana-mana. Dengan kata lain, Raffa bisa dia jadikan sopir. Oke, ini pilihan paling bagus yang ia dapat lantaran punya calon suami.

Senyuman di bibir Riri entah mengapa membuat Raffa salah fokus. Dia segera memalingkan muka, sebelum ia khilaf dan berakhir disantap Arya yang sejak tadi mengawasi mereka dari jauh.

"Gue pulang, ya? Jangan kangen."

"Dih!"

Raffa menatap perempuan itu sekali lagi. Entah mengapa ia merasa tidak rela untuk pergi. Dia ingin ada di sekitar wanita itu setiap hari, setiap saat, bersamanya, berdua. Ia ingin Riri berada di sekitarnya selamanya.

Raffa menggeleng tegas. Rasa aneh yang  muncul disusul pikiran dari otaknya membuatnya merasa ada yang salah. Dia menatap perempuan itu sekali lagi, sebelum benar-benar pergi. Entah apa yang akan terjadi jika Raffa terus di sana bersama Riri.

Sedangkan Riri langsung menuju kamar dan mengambil ponsel. Dia mencari artikel tentang AIDS dan akhirnya ia bisa menghela napas lega ketika membaca, bahwa AIDS tidak menular melalui ciuman atau air liur, kecuali salah satu pasangan sedang sariawan atau berciuman sampai berdarah-darah.

"Untung, deh, kalau dia beneran punya AIDS, gue bisa antisipasi sama dia, gue juga nyari cara buat batalin perjodohan ini karena alasan itu," gumamnya, senyum mengembang di bibirnya.

Raffa memang sempurna, harusnya Riri terima saja dijodohkan dengannya. Namun, entah mengapa Riri tidak bisa melupakan niat awalnya untuk jadi perawan tua, dan juga ... ada pria lain yang masih menghuni hatinya sampai sekarang.

Perempuan itu mendesah kasar. Pria lain? Pria itu bahkan tidak menyukainya, bahkan mengingat Riri saja, dia tidak tahu. Mungkin saja, pria itu telah melupakannya. Pasti, memang apa yang perlu diingat dari perempuan membosankan seperti dirinya ini?

"Kak Verga gimana kabarnya sekarang, ya?"

____

Maaf, ya, semoga masih nyambung. Wkwkwkw

/Ketika mau nulis Orion, tapi idenya mampet di tengah jalan buntu, nulis ini ajalah dulu/

Suamiku Mantan Playboy (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang