"HEI!"
Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin.
"Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini."
"Siapa yang bilang?"
"Gue."
Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?"
"Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."
Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."
Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik."
"Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.
Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan pria tampan dan menyenangkan sepertinya? Atau dia memang tidak layak untuk diingat-ingat oleh wanita itu?
Raffa mengepalkan tangan kuat-kuat. Emosi meluap-luap di dadanya. Menyadari kenyataan jika Riri tidak mengingatnya, padahal dia telah meninggalkan kesan mendalam pada wanita itu, sukses membuat Raffa marah.
Ayolah, mereka sudah berciuman, telanjang berdua, bahkan mereka hampir melakukannya. Namun, kenapa Riri tidak sadar jika Raffa adalah pria itu? Padahal, Raffa yang suka pelupa saja bisa mengingatnya dengan cepat.
“Gue juga bukan cewek baik-baik.” Riri memejamkan mata, mengingat dosanya tempo hari. Dia bukan wanita yang baik dan dia tidak akan sok suci, jika dengan begitu, Raffa mau pergi.
"Hm?” Raffa tersenyum tipis. "Yakin? Kata Nayla, lo cewek baik-baik. Nggak mungkin, dia nipu gue, kan?"
Riri sontak membuka matanya. Mendengar nama Nayla dibawa-bawa membuat Riri teringat, jika Raffa ini bersaudara dengan Ethan, tapi ... yang benar saja. Kelihatannya, sifat mereka berdua berbeda seratus delapan puluh derajat begini. Mana mungkin, deh?
"Kak Nayla mana tahu pergaulanku yang baru," sahut Riri cuek, dia tengah berakting sekarang jadi dia harus bisa bersandiwara sebagusnya dan membuat Raffa yakin, agar pria itu mau mundur dan tak jadi melamarnya.
Riri tidak mau nikah. Tidak akan pernah. Dia tidak mau nikah, walau pasangannya setampan Raffa, dia tetap tidak mau. Pernikahan terasa sangat mengerikan, bahkan malam pertama ... Riri bergidik ngeri membayangkannya.
"Oh, jadi gitu," ujar Raffa yang kini berdiri di hadapan Riri.
Ternyata, wanita ini pendek juga, batinnya sembari tersenyum tipis. Raffa bahkan perlu menunduk agar bisa menatap matanya. Mengunci pergerakan wanita itu sebelum ia mendekatkan wajah.
Riri menahan napas saat Raffa mendekatkan wajahnya. Matanya sampai melotot saat berkata, "Mau ngapain?"
"Hm?" Raffa memasang wajah polos. "Bukannya udah pernah?"
Udah pernah apa? Riri menatap Raffa horor, terlebih saat tangan pria itu tiba-tiba berada di lehernya, menyentuh sekaligus menarik wajahnya untuk maju mendekat.
"Lo kelihatan polos banget, Ri." Raffa tersenyum miring. "Katanya, bukan cewek baik-baik lagi?"
Riri memasang ekspresi pias. Otaknya memutar cepat, mencari alasan yang tepat agar Raffa mundur teratur sekarang juga. Dia tidak mau berciuman, oke, posisi ini sangat mendukung mereka untuk melakukannya, dan Riri tidak mau membiarkan hal itu terjadi.
"G-gue—"
"Apa?" Raffa semakin mendekatkan wajahnya. Dua senti lagi bibir mereka bertemu, saat Riri berkata.
"G-gue kena AIDS, lo masih mau nyium gue?"
Raffa mematung. Dia menatap wanita di depannya ini horor. Ekspresi sedih dan lesunya bukan main-main, tapi dia terlihat sehat, tidak seperti seseorang yang penyakitan. Dan lagi, jika Riri punya AIDS berarti dia bukan wanita baik-baik seperti yang diperkirakan Nayla, dong?
Eh tunggu ... bukannya, mereka sudah pernah berciuman dulu?
"Kapan?"
"Eh?"
"Kapan lo kena AIDS?"
"Hm," Riri berpikir, mencari waktu yang logis agar Raffa percaya penyakit abal-abal yang ia derita, "kira-kira, enam bulan yang lalu."
Raffa terkekeh kecil. Enam bulan? Yang benar saja.
Raffa mencoba menahan tawa, tapi daripada tertawa keras, dia malah mengunci pergerakan Riri dengan kedua lengannya. Wajahnya maju, bibirnya mengecup bibir wanita itu.
Rasanya seperti air. Dahaga yang ia derita berhari-hari sembuh hanya dengan satu kecupan manis. Riri mencoba melawan, memberontak dalam ciumannya, tapi Raffa tidak membiarkan. Dia mencium wanita itu semakin dalam hingga dia puas.
"Lo gila!" maki Riri ketika ciuman mereka terlepas. "Gue punya AIDS dan lo nyium gue seenaknya?"
Raffa tertawa kecil. "Nggak apa-apa. Gue juga punya, jadi kita impas."
"A—" Riri tak bisa berkata-kata lagi mendengarnya.
Raffa punya AIDS? Jadi, sekarang dia benar-benar tertular AIDS?
Oh noooo!!!
_____
Note terbaru 01/04/23
Silakan dijawab mau THR apa? 🙏❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Mantan Playboy (TAMAT)
Romance[Follow me first] Nggak ada angin, nggak ada hujan, apalagi guntur menyambar. Tiba-tiba seorang laki-laki datang melamar. Sebagai wanita fresh graduated yang ingin menyandang predikat perawan tua, Riri harus menelan semua niatnya bulat-bulat, karena...