Footpath

219 43 6
                                    

MENJELANG akhir musim gugur. Vanthir mengenakan syal merah yang menutupi bagian atas jubahnya itu, walaupun salju menimpanya tapi ia tetap terlihat tampan. Entahlah, sekarang ia terpisah dari rombongannya dan pergi sendirian menyusuri jalan setapak sempit menuju arah pondok tua.

Ingin merasakan udara segar yang ada di negara Eropa Utara ini, sembari bertemu dengan gadis yang merawatnya, Jane. Vanthir mulai tersenyum sendiri, mengingat ia sudah banyak berbincang dengannya dan bertukar pendapat tentang beberapa flora dan fauna yang makin menipis tiap tahunnya. Tak lupa juga Jane mengeluarkan unek-uneknya tentang kejadian kemarin saat ia berjalan di sekitar sungai dengan membawa seikat bunga tulip yang ia beli di toko bunga sekitar.

Lalu Jane mendengar suara penebangan pohon dari seberang sungai lalu menyebrangi sungai ke arah hutan Pinus di atas bukit itu, akhirnya ia bertemu dengan salah pekerja berseragam biru yang bertugas menebang. Dan oh gosh, apakah kau tahu Vanthir tubuh mereka sangat besar dan jangkung, kira tinggi mereka mungkin mencapai dua meter dan beratnya pasti lebih dari seratus kilo. Mendengar Jane bercerita seheboh itu Vanthir hanya mengiyakan saja, toh juga tinggi badan dirinya saja 195cm jadi biasa saja karena rata-rata tinggi pria timur tengah lebih dari seratus delapan puluh lima-an.

Lalu akhirnya Jane bertanya untuk apa pohon-pohon yang ditebang itu, mereka bilang tempat itu akan dibuat taman kincir angin. Menurut dirinya tentu saja ini memberi dampak plus serta minusnya, begitulah biasanya perhitungannya. Jane jelas merasa kurang puas, baginya sangat disayangkan mengingat hutan inilah yang menjadi tempat tinggal hewan-hewan seperti tupai dan rusa juga pemasok oksigen bagi desa yang berbeda di sekitar situ.

Mumpung ingin menjelang hari Natal, Jane lalu memberikan seikat tulip merah pada ketua pekerja disitu dan mereka berterima kasih. Lalu diakhir percakapan itulah yang membuat Jane heran

"Seandainya saya punya satu ton bensin dan sebuah gergaji bermotor, saya akan bisa menyelesaikan seluruh pekerjaan ini dalam beberapa hari saja"

Sontak Vanthir merasakan hal yang sama dengan Jane, bagaimana bisa pemikiran pendek itu menaungi pekerja beban. Yang seharusnya material alam yang langka di akhir abad 21 ini harus dijaga, bukan untuk kepentingan manusia dan bisnis untuk saat ini.

Vanthir telah melewati tanjakan tajam dan sampai di dataran puncak, disitulah Jane berjanji akan berjalan-jalan bersama. Di situ telah ditumbuhi pohon-pohon birch padat sekali. Vanthir menerka-nerka bahwa tempat yang sedang ia jelajahi ini dahulunya adalah sebuah bukit yang tinggi bersalju yang sekarang telah tertutupi perpohonan Birch Dan Willow.

Dari arah rimbun tumbuhan, ia bisa melihat perempuan bermantel merah tebal dengan sepatu boots hitam mendekati dirinya. Vanthir lalu tersenyum mengetahui siapa yang datang ke arahnya, gadis dengan mata coklat madu dan pipi tembam yang merah itu tersenyum. Ia merentangkan tangannya guna menyambut pelukan Jane.

"Hei, kau sudah lama menunggu Vanthir?" Tanya Jane yang tadi melepas pelukannya.

"Tidak juga, aku baru sampai sini sebelum kau datang." Ujarnya. Jane hanya mengangguk seklias lalu melihat ke arah jalan yang sebelumnya Vanthir lalui, Jane lalu menatap wajah tentang Vanthir dengan raut khawatir, Vanthir yang melihatnya itu lalu tersenyum mengerti

"Tenanglah, aku tidak ketinggalan rombonganku. Aku ke sini ditemani oleh bibiku yang hanya sekedar mengantar dengan mengendarai untaku". Jane lalu mengangguk lega dan menghempaskan pandangannya pada hutan birch.

"Ayo kita berjalan disekitar sini, kalau lagi banyak pikiran tempat ini adalah yang terbaik walau sangat dingin" ujar Jane dengan tenang, walau sedari tadi jantungnya berpacu cepat ketika berada disamping pria Arab yang berminggu-minggu lalu ia rawat.

Tidak hanya Jane. Vanthir yang sedari tadi tidak mengerti kondisi jantungnya yang tak terkontrol bila bersama Jane.

Mereka dengan senang sekaligus gugup karena pertama kalinya berjalan hanya berduaan dengan lawan jenis tengah menyusuri jalan-jalan setapak di antara permohonan Willow putih. Pohon-pohon dan bunga Heather tampak menyala dalam warna kuning dan merah cerah, dan ternyata tahun ini dasar hutan tertutupi oleh semak-semak blueberry dan cranberry.

Jane melangkah dengan hati-hati, seakan-akan dia melayang berapa milimeter di atas tanah. Melihat Jane yang tampak waspada, dengan sigap, Vanthir memegang tangan Jane yang terasa dingin walau sarung tangan wol menyelimutinya. Jane yang merasakan tangan besar dan hangat mengengam tangannya itu kaget, lalu melihat ke arah Vanthir yang menuntun jalan bersamanya. Sialan, jantungnya yang sedari tadi tak normal kini diwarnai dengan pipi merona merah sangking gugupnya. Jelas, digenggam tangannya oleh pria Arab yang tampan membuat dirinya merasa bukan ia yang seperti biasanya.

Vanthir yang melihat wajah Jane yang menunduk dan pipi yang merona merah membuat ia tak bisa menahan kekehanya

"Apakah kau gugup? Tenang saja kau tak akan jatuh, bukankah kau bilang terbiasa ke tempat ini?" Tanya Vanthir yang masih terkekeh. Mendengar itu Jane hanya memberikan muka masamnya

"Aku mengunjungi tempat ini pada saat musim gugur atau semi, aku jarang mengunjunginya saat musim dingin, apalagi bersalju seperti ini. Jadi wajar bila aku was-was". Mendengar pembelaan yang keluar dari gadis mungil itu, Vanthir lagi-lagi hanya mengiyakan saja.

Jalan setapak yang ditelusurinya bersimpangan dengan jalan setapak lain. Tampa berpikir panjang, mereka berbelok dari jalan setapak yang satu ke yang lain, mengunjungi pondok bisa dilakukan lain kali.

Sejauh ini Jane dan Vanthir tampak sangat menikmati jalan-jalan setapak yang berliku ini, dihitung juga sebagai acara berduaan pertama mereka.

"Sebagian flora dan fauna di gunung ini telah sirna. Daerah ini telah kehilangan alam pegunungan tradisionalnya tempat sapi-sapi, domba, dan kambing sedang merumput di musim panas seperti kebiasaan zaman dulu. Dan aku pun tahu bahwa harga yang harus dibayar untuk sebuah labirin jalan setapak dalam hutan birch itu ialah kekeringan yang membakar, bencana kelaparan, dan krisis cuaca di belahan lain dunia". Mata sayu dan rasa kehilangan dari tatapan Jane itulah yang Vanthir rasakan dan ia lihat. Pandangannya menyapu seluruh hutan yang katanya tak seperti dulu, hanya gedung-gedung pencakar langit yang tampak sangat modern dan lampu Neon LED yang menghiasi kota.

"Mungkin bila ingin, aku pun bertekad mengembalikan semua walau terlihat mustahil" Ujar Vanthir penuh keyakinan. Jane yang sedari tadi melihat pemandangan dengan mata sayu, kini melihat Vanthir dengan alis yang ditautkan

Tak lama, Jane tersenyum lalu menggenggam tangan Vanthir berniat melanjutkan perjalanannya. Saat mereka menemukan sebuah pos penjagaan bercat merah di hutan yang dijaga oleh tentara berseragam berdiri tegap di depan sebuah portal, Jane merasa terkejut lalu melihat Vanthir yang tengah menatapnya juga. Ia lalu memandangi pos itu lagi dengan santai, toh hutan ini milik keluarganya. Dan ia mengenal baik aturan main hutan ini

Sang tentara mau memeriksa terminal miliknya serta ponsel dari keduanya. Okelah, Vanthir dan Jane menyodorkan benda elektronik yang mereka bawa tersebut kepada tentara itu. Sang tentara mengaktifkan layar dan menggeser layar sentuh bolak-balik dengan cepat. Seakan ia bisa menjelajahi ratusan laman internet hanya dalam waktu beberapa detik. Lalu, tentara itu mengembalikan ponsel dan terminal kepada kedua sejoli itu, membuka portal, dan membiarkan Jane dan Vanthir lewat. []



















R E D
R U B Y.
Heyho I'm back, udah lama gak update nih, rencananya sih updatenya kapan-kapan aja, tapi ngeliat pada memberikan votenya membuat gw semangat. Sekali lagi terimakasih ya yang bener" baca.

Aku kira sih ini gak bakal ada yang minat, soalnya kelihatan membosankan kalo dilihat-lihat, semoga kalian bisa juga ngerasain pandangan Jane juga ya hehehe #FFberfaedah awokwokwok

See ya~~

The Red Ruby; Taennie [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang