Ctar!
“Akh...!”
Geletar lidah cambuk ditingkahi pekik kesakitan menyayat, memecah kesunyian dipagi buta ini. Di pinggiran sebuah desa, tampak seorang laki-laki tua tengah terikat dibawah sebatang pohon. Punggungnya tampak pecah-pecah memerah mengucurkan darah. Tidak Jauh dari situ, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot tengah mengayunkan cambuknya. Disekitarnya beberapa orang laki-laki malah tersenyum-senyum diiringi tawa terkekeh.
“Hehehe..."
"Akh...! Aaakh...!"
“Cukup..."tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar. Suara bentakan itu datang dari seorangg laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, yang mengenakan baju sutra halus, bersulamkan benang emas. Sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Namun wajahnya masih menampakkan kegagahan.
Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang cambuk. Laki-Iaki tegap bertelanjang dada itu melangkah mundur beberapa tindak.
"Kau masih juga suka tutup mulut, Ki Rabul?" dingin sekali suara laki-laki setengah baya itu. Dijambaknya rambut laki-laki tua yang terikat dipohon dalam keadaan sangat payah itu, sehingga kepalanya terdongak. Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah yang menetes membasahi tubuhnya. Meskipun dalam keadaan tidak berdaya, namun sinar matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki yang menjambak rambutnya.
"Dengar, Orang Tua. Aku bisa membuatmu lebih parah lagi. Bahkan mudah sekali mengirimmu ke neraka!" desis laki-laki setengah baya itu datar. Begitu dingin nada suaranya terdengar.
Tapi laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak mengenakan baju itu hanya diam membisu saja. Hanya tatapan matanya saja yang tajam menusuk.
"Katakan, dimana anakmu sekarang berada?" tanya laki-laki setengah baya itu mendesis dingin.
"Kau berurusan dengan anakku, Barada. Lalu mengapa kau siksa aku? Pengecut...!" dengus laki-laki tua yang dipanggil Ki Rabul.
"Kesempatanmu untuk hidup hanya sekali saja, Ki Rabul. Kau dengar, aku tidak bisa bermain-main lagi" ancam Barada bersungguh-sungguh sekali.
"Phuih!" Ki Rabul menyemburkan darah yang menggumpal dimulutnya. Cairan merah itu langsung muncrat, dan menimpa wajah Barada. Hal ini membuat laki-laki setengah baya itu semakin bertambah berang. Mulutnya menggeram sambil menyeka darah yang memenuhi wajah. Maka tiba-tiba saja, tangannya melayang menampar wajah tua kurus itu.
Plak!
"Akh!" Ki Rabul terpekik keras.
Kepalanya sampai bergetar akibat tamparan keras. Barada menghentakkan kakinya, dan berbalik. Dipandanginya lima orang yang hanya diam saja, dan bersikap seperti seorang jago tak tertandingi.
"Bunuh orang tua keparat ini!" perintah Barada keras.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang otot-ototnya bersembulan, melangkah maju. Dihentak-hentakkan cambuknya. Suara geraman terdengar dari bibir yang menyeringai buas, bagai seekor srigala lapar melihat setumpuk daging segar. Sepasang bola matanya merah menyala, menyorot tajam pada tubuh kurus yang sudah babak belur tersengat cambukannya.
Ctar!
Kembali orang itu mengayunkan cambuknya.
"Akh....!" Ki Rabul kembali memekik keras tertahan. Geletar cambuk menjilat tubuh kurus itu berkali-kali, disertai pekikan tertahan yang sangat memilukan.
Sementara yang lainnya hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Barada menyeka darah yang melekat diwajahnya dengan selembar kain putih dari sutra halus.
"Aaa...!" tiba-tiba Ki Rabul menjerit. Sebentar kepalanya terdongak keatas, lalu terkulai disertai mata terpejam.
Ujung cambuk masih menjilat tubuhnya, tapi laki-laki tua kurus itu tidak lagi bersuara. Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu menghentikan cambukannya, Ialu berbalik menghadap Barada.
"Dia sudah mati, Suro?" tanya Barada, datar nada suaranya.
"Mungkin pingsan, Gusti," sahut orang bertubuh tinggi tegap dan berotot kekar itu.
"Biarkan dia disitu ,supaya jadi santapan binatang hutan. Bakar rumahnya!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu berbalik dan berjalan menghampiri kudanya yang tertambat didepan sebuah pondok kecil dari bilik bambu. Sedangkan empat orang lainnya segera menyalakan obor. Mereka melemparkan obor itu ke atas atap pondok. Maka seketika api langsung membesar membakar pondok itu. Mereka mengambil kuda masing-masing, lalu melompat naik. Sedangkan Suro masih berdiri tegak didekat tubuh Ki Rabul yang terkulai tak sadarkan diri.
"Suro...! Ayo pergi dari sini!" bentak Barada memerintah.
Suro membungkuk sedikit memberi hormat, kemudian langsung melompat naik kepunggung kudanya yang berwarna hitam, tinggi, dan tegap. Gerakannya sungguh ringan, pertanda tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Sebentar kemudian, enam ekor kuda berpacu cepat meninggalkan tempat itu. Meninggalkan seorang laki-laki tua yang pingsan akibat dicambuk tanpa henti.
Sementara api semakin membesar merobohkan bangunan pondok kecil yang seluruhnya dari kayu dan bambu itu. Percikan bunga api menyebar kesegala arah, disertai letupan kecil. Api terus membesar, tak bisa dicegah lagi. Sedangkan dibawah pohon, Ki Rabul masih terikat dengan kepala terkulai tanpa daya.
Tak ada seorangpun yang menyaksikan kejadian itu, kecuali seorang bocah kecil yang bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dia sejak tadi memang menyaksikan semua kekejaman itu. Bocah kecil itu baru keluar setelah derap langkah kaki kuda tidak terdengar lagi. Bergegas dihampirinya Ki Rabul yang masih belum juga sadarkan diri.
"Ki....Ki...," panggil bocah kecil itu. Suaranya terdengar pelan dan agak tersendat. Dipandanginya tubuh Ki Rabul yang hancur terhantam cambuk Kemudian dia memandangi wajah laki-laki tua itu. Dari mulut Ki Rabul masih menetes darah segar.
"Ki...," suara bocah laki-laki itu mulai tersendat. Anak itu tidak tahan juga melihat keadaan tubuh Ki Rabul. Dia kemudian menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil laki-laki tua itu supaya bangun. Namun laki-laki tua Itu tetap saja diam dengan kepala terkulai lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
45. Pendekar Rajawali Sakti : Satria Baja Hitam
ActionSerial ke 45. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.