BAGIAN 2

806 27 0
                                    

“Hup...!”
Cempaka langsung melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas gadis itu berlari menerobos pondok kecil yang sudah reyot dan hampir roboh. Namun begitu berada di dalam, kedua bola matanya membeliak lebar.
“Biadab...!” desis Cempaka.
Seluruh darah yang mengalir di tubuh gadis itu seketika mendidih. Di hadapan matanya tampak seorang laki-laki bertubuh besar dan kasar sedang memaksa Padmi untuk melayani nafsu setannya. Padmi mencoba memberontak, namun tubuhnya yang kecil seakan-akan tenggelam dalam pelukan laki-laki itu.
“Hiyaaat..!”
Seketika itu juga Cempaka melesat cepat bagai kilat. Langsung dilontarkannya satu pukulan keras ke tubuh laki-laki itu. Teriakan Cempaka membuat laki-laki tinggi tegap tanpa baju itu terkejut. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, pukulan Cempaka sudah mendarat telak di tubuhnya.
Des!
“Akh...!” laki-laki tinggi besar itu terpekik keras. Tubuh yang besar dan kasar itu terpental, lalu menabrak dinding pondok yang rapuh hingga jebol berantakan. Akibatnya laki-laki itu langsung tersuruk dan bergelimpangan di luar. Cempaka tidak membiarkan begitu saja. Secepat kilat tubuhnya melesat ke luar menerobos dinding yang hancur berantakan.
Kembali gadis itu melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun orang yang wajahnya penuh brewok itu, bergelimpangan ke samping beberapa kali. Maka pukulan Cempaka hanya menghantam tanah kosong berumput.
Begitu kerasnya pukulan Cempaka, sehingga tanah itu terbongkar, dan berpentalan ke udara. Namun Cempaka tidak juga membiarkan laki-laki yang hendak memperkosa Padmi tadi. Kembali tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menerjang orang yang baru saja bisa bangkit berdiri.
“Hiyaaat..!”
Deghk!
“Uhk...!” orang itu mengeluh pendek begitu perutnya tersodok tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Laki-laki bertubuh kasar yang hanya mengenakan celana sebatas lutut berwarna hitam itu terbungkuk. Pada saat itu Cempaka kembali melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah. Pukulan cepat menggeledek itu tak mampu dihindari lagi, telak menghantam muka laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Deghk!
“Aaakh...!” laki-laki itu memekik keras.
Hantaman Cempaka membuat tulang hidung laki-laki itu hancur. Bunyinya begitu keras terdengar. Seketika itu juga darah mengucur deras dari hidung yang hancur tulang-tulangnya. Laki-laki tinggi besar itu meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tapi hanya beberapa saat saja dia meraung kesakitan. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggeram dahsyat. Sepasang bola matanya memerah menyorot tajam, langsung menusuk mata indah milik Cempaka.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu berteriak keras sambil melompat menerjang. Tangannya yang besar dan bagai palu godam itu melontarkan pukulan keras beberapa kali secara beruntun.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun Cempaka lebih gesit lagi menghindari serangan itu. Tubuhnya berjumpalitan sambil mengegos ke kiri dan ke kanan menghindari serangan gencar dan beruntun. Tepat pada suatu saat, orang itu mengarahkan pukulan ke dada, dengan cepat sekali. Cempaka melenting ke belakang. Pada saat kaki gadis itu kembali mendarat di tanah, lalu cepat sekali melesat kembali ke udara sambil mencabut pedangnya.
Sret!
Cempaka langsung membabatkan pedangnya kearah tubuh orang itu yang tidak sempat lagi menghindar. Maka tebasan pedang Cempaka langsung menyabet dada lelaki tinggi besar itu.
Cras!
“Aaa...!” laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar itu memekik keras melengking tinggi.
Darah langsung muncrat begitu pedang Cempaka membelah dadanya. Lebar dan dalam sekali! Dan begitu Cempaka melayangkan satu tendangan keras, tubuh tinggi besar itu langsung terpental ambruk ke tanah. Tak ada lagi gerakan, karena orang itu tewas seketika begitu menghantam tanah dengan keras sekali.
Cempaka langsung memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang. Sebentar dipandanginya orang yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi itu. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat masuk ke dalam pondok. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap di dalam pondok itu. Tanpa diketahui Cempaka, ada sepasang mata yang menyaksikan pertarungan tak seimbang tadi. Orang itu segera melesat meninggalkan tempat itu.
“Padmi....”
Bergegas Cempaka menghampiri Padmi yang masih menangis sesenggukan. Bajunya sudah koyak, sehingga beberapa bagian tubuhnya terlihat menyembul ke luar. Mendengar suara Cempaka, Padmi langsung menghambur dan memeluknya. Tangisnya langsung pecah seketika, di dalam pelukan Cempaka. Air matanya berlinangan membasahi seluruh baju di dada gadis itu
Agak lama juga Cempaka membiarkan Padmi menangis di dadanya. Setelah tangisan Padmi mereda, Cempaka baru melepaskan pelukan gadis itu. Diraihnya selembar kain yang teronggok di atas balai-balai bambu, kemudian ditutupinya tubuh Padmi yang terbuka. Sesekali gadis kecil itu masih terisak sesenggukan. Beberapa kali air matanya diseka, karena masih juga mengalir.
“Sudahlah, Padmi. Tak ada lagi yang mengganggumu...,” bujuk Cempaka menghibur.
Padmi masih sukar membuka suara. Peristiwa yang terjadi barusan, membuatnya begitu terpukul. Hampir saja kehormatannya dirampas oleh seorang laki-laki kasar. Untung saja Cempaka segera datang menolong.
“Sudah. Sekarang, bereskan pakaianmu, kita pergi,” kata Cempaka tidak tahan mendengar tangisan terus-menerus.
Padmi masih diam saja. Terpaksa Cempaka yang membereskan pakaian gadis itu, lalu membungkusnya dengan selembar kain lusuh yang sudah pudar warnanya. Sementara Padmi masih saja duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Padmi seperti orang linglung saja. Dihampirinya gadis itu, lalu duduk di sampingnya.
“Yuk..,” ajak Cempaka lembut.
Sebentar Padmi memandangi Cempaka, kemudian merapikan dirinya. Pakaiannya yang koyak segera digantinya. Sementara Cempaka sudah melangkah ke luar pondok itu. Masih sempat terlihat olehnya mayat laki-laki kasar yang tergolek berlumuran darah. Tak berapa lama kemudian, Padmi keluar. Gadis itu agak bergidik melihat mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.
“Ayo...!” ajak Cempaka seraya menggamit tangan gads itu.
Mereka kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan pondok itu. Cempaka menuntun kudanya, karena tidak mungkin menunggang kuda sama-sama. Padmi menolehkan kepalanya memandang mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.
“Kau yang membunuhnya, Kak Cempaka?” tanya Padmi dengan suara yang agak tertahan. Cempaka menganggukkan kepalanya.
“Tapi...,” suara Padmi terputus.
“Sudahlah, jangan kau pikirkan,” potong Cempaka.
“Dia banyak temannya, Kak Aku takut...” keluh Padmi.
Cempaka menatap Padmi dalam-dalam. Memang sudah diduga kalau orang itu pasti ada temannya. Dan ini memang yang diinginkan. itu berarti dalam pengembaraannya akan didapatkan tantangan yang memang sedang diharapkannya.
“Kau naik kuda ini, Padmi,” ujar Cempaka.
“Aku..?!” Padmi terkejut.
Seumur hidup dia belum pernah naik kuda. Dipandanginya Cempaka dan kuda coklat itu bergantian. Sedangkan Cempaka tidak ingin berlarut-larut. Langsung direngkuhnya pinggang gadis itu, lalu dinaikkan ke atas punggung kudanya. Padmi terpekik tertahan, namun tahu-tahu sudah berada di punggung kuda coklat itu. Sebelum Padmi menyadari apa yang terjadi, Cempaka sudah berlari kencang sambil memegangi tali kekang kudanya. Kuda coklat itu langsung saja melesat kencang mengikuti lari Cempaka yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
“Ah...!” Padmi terpekik keras.
Dia terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya direbahkan ke punggung kuda itu, dan dipeluknya leher kuda kuat-kuat Sungguh dia tidak ingin mati terlempar dari punggung kuda yang berlari kencang. Padmi tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia tidak tahu kalau Cempaka berlari cepat sekali di depan kudanya. Padmi hanya bisa merasakan tubuhnya berguncang-guncang terombang-ambing di atas punggung kuda yang berlari kencang bagai dikejar setan.
“Kak...! Kak Pandan..!” Cempaka mengguncang-guncang tubuh Pandan Wangi yang tertidur di bawah pohon.
Pandan Wangi hanya mengeluh sedikit, dan membuka matanya perlahan. Tubuhnya digeliatkan sebentar, lalu beranjak bangkit duduk bersandar di pohon. Pandangannya langsung mengarah pada Padmi yang berada di punggung kuda Cempaka.
“Ayo, Kak. Cepat tinggalkan tempat ini,” ajak Cempaka.
“Sudah hampir malam. Sebaiknya, bermalam saja di sini,” kata Pandan Wangi malas.
“Jangan, Kak. Kita berkuda cepat saja, pasti sampai di Desa Weru sebelum gelap,” sergah Cempaka.
“Untuk apa cepat-cepat..?”
“Kak...!” sentak Cempaka sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Mau tidak mau Pandan Wangi berdiri juga. Tapi keningnya berkerenyut melihat raut wajah Cempaka yang agak menegang. Tidak biasanya adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu begitu tegang. Macam-macam pikiran langsung berkecamuk dalam benak si Kipas Maut itu.
“Ayo, Kak. Cepat..!” desak Cempaka memaksa.
“Ada apa, sih...? Kok tidak biasanya....”
“Sudahlah, Kak. Nanti akan kujelaskan,” potong Cempaka cepat
Pandan Wangi memandangi Cempaka dalam-dalam, kemudian beralih memandang Padmi yang masih saja duduk di punggung kuda coklat. Sementara itu Cempaka sudah melompat naik ke punggung kudanya di depan Padmi. Dan disuruh Padmi memegang pinggangnya kuat-kuat Sedangkan Pandan Wangi masih memandangi saja. Dia yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi, sehingga membuat Cempaka begitu tegang.
“Cepat sedikit, Kak..!” sentak Cempaka tidak sabar.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit, kemudian melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Pada saat itu, Cempaka sudah cepat menggebah kudanya. Maka Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, menyusul Cempaka yang sudah jauh bersama Padmi. Pandan Wangi mensejajarkan lari kudanya di samping kuda Cempaka.
“Ada apa, Cempaka? Kenapa begitu tergesa-gesa?” tanya Pandan Wangi masih penasaran dengan sikap Cempaka yang tidak biasanya begini.
“Aku habis membunuh orang,” sahut Cempaka.
“Apa...?!” Pandan Wangi tersentak kaget.
Hampir tidak dipercaya, apa yang baru saja didengamya. Dia juga merasa heran, dan jadi geli mendengamya. Hanya karena baru saja membunuh orang, Cempaka jadi tegang begini! Padahal bukan sekali ini Cempaka melakukannya. Entah sudah berapa nyawa melayang di tangan gadis itu. Dan..., sungguh Pandan Wangi tidak bisa memahami sikap Cempaka yang seperti baru saja melakukan perjalanan dan menewaskan orang.
“Dia hampir saja memperkosa Padmi. Aku tidak bisa mengendalikan diri, Kak. Orang itu tewas oleh pedangku,” kata Cempaka mencoba menjelaskan persoalannya.
“Ada berapa orang?” tanya Pandan Wangi sambil menahan rasa geli yang menggelitik hatinya.
“Satu,” sahut Cempaka.
“Hanya satu...?!” kembali Pandan Wangi tercengang.
Ini merupakan hal yang sungguh luar biasa pada diri Cempaka. Hanya satu orang saja yang tewas, dia sudah begitu tegang. Si Kipas Maut itu tidak percaya kalau Cempaka yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi belum pernah bertarung dan menewaskan lawannya. Sudah pernah didengarnya semua tentang diri Cempaka. Baik gadis itu sendiri yang menceritakannya, maupun Rangga.
Dan Pandan Wangi bisa menilai kalau Cempaka termasuk gadis yang agak liar juga. Persis dengan dirinya dulu, yang tidak pernah bisa mengendalikan diri jika sudah bertarung.
“Cempaka, kenapa kau jadi ketakutan begitu...?” tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan keheranannya.
“Siapa bilang aku takut..?!” sentak Cempaka.
“Itu....”
“Aku hanya ingin menghindar dari teman-temannya. Mereka pasti berjumlah banyak, dan tentunya aku tidak ingin mati di sini sebelum bertemu Kakang Rangga,” Cempaka beralasan.
“Berapa orang temannya?” tanya Pandan Wangi tersenyum.
Pandan Wangi tahu kalau Cempaka hanya beralasan saja untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tapi dia juga tidak percaya kalau Cempaka merasa takut hanya karena baru menewaskan satu orang, lalu teman-teman orang itu akan membalas kematiannya.
“Tidak tahu,” sahut Cempaka pendek
“Ah! Sudahlah, Cempaka. Perlambat sedikit lari kudamu. Tuh, Desa Weru sudah kelihatan,” kata Pandan Wangi masih menganggap persoalan yang dihadapi Cempaka bukan persoalan gawat.
Tapi rupanya Cempaka memperlambat juga lari kudanya. Dan memang, Desa Weru sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Sedangkan saat ini, matahari sudah begitu condong ke Barat. Cempaka memperkirakan sebelum matahari tenggelam pasti sudah sampai di desa itu. Dan tinggal mencari penginapan untuk melepaskan urat syaraf yang menegang.
Namun begitu mereka memperlambat laju kuda, mendadak saja dari arah belakang terdengar teriakan-teriakan keras, disertai derap kaki kuda yang dipacu cepat. Cempaka dan Pandan Wangi langsung berpaling ke belakang. Dan mereka terkejut bukan main begitu di belakang mereka terlihat sekitar dua puluh orang berbaju hitam berpacu cepat menuju ke arah mereka. Tampaknya semua mengacungkan golok ke atas kepala sambil berteriak-teriak keras menggetarkan hati siapa saja yang mendengamya.
“Mereka datang...,” desis Padmi bergetar dengan wajah langsung pucat pasi.
“Siapa mereka?” tanya Pandan Wangi.
“Orang yang hendak membalas kematian temannya padaku,” sahut Cempaka, agak dingin nada suaranya.
Pandan Wangi memandangi Cempaka beberapa saat, kemudian cepat melompat turun dari kudanya. Cempaka bergegas mengikuti. Sedangkan Padmi masih tetap berada di punggung kuda coklat milik Cempaka. Sementara orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat saja. Bumi yang dipijak, seakan-akan bergetar oleh hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, menciptakan debu yang mengepul tinggi ke angkasa.
“Kita hadapi mereka, Cempaka,” kata Pandan Wangi.
“Yaaah...,” Cempaka hanya mendesah panjang saja.
Sebenarnya ini yang diharapkan. Tapi begitu melihat jumlah mereka yang begitu banyak, hatinya agak ciut juga. Sungguh tidak disangka kalau akan menghadapi orang begini banyak. Meskipun sudah pernah menghadapi keroyokan dan berbagai macam pertarungan, tapi selama itu dia bersama Rangga. Sedangkan sekarang ini sama sekali tidak ada Pendekar Rajawali Sakti. Dan Cempaka memang agak gentar juga jika bertarung tanpa ada Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya, meskipun sekarang ini ada si Kipas Maut yang berkepandaian tinggi.
Namun Cempaka tidak akan merasa tenang, karena memang sudah demikian bergantung pada Pendekar Rajawali Sakti. Satu sikap yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tapi Cempaka tidak bisa menghilangkannya. Hatinya sudah begitu terpatri, sehingga tidak ada yang bisa dikagumi. Tidak ada yang bisa dijadikan panutan dan kepercayaan diri selain Pendekar Rajawali Sakti. Kini semua ketergantungan itu sangat dirasakan sekali di saat harus berhadapan dengan orang-orang yang akan membalas kematian temannya.

***

“Itu dia orangnya...!” terdengar teriakan keras dari orang-orang berbaju hitam itu.
Tampak salah seorang yang berkuda paling depan, menunjuk ke arah Cempaka dan Pandan Wangi yang sudah siap menghadapi mereka. Orang itulah yang menyaksikan pertarungan Cempaka tadi melawan orang yang hendak memperkosa Padmi. Gerombolan orang berbaju hitam itu langsung berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, langsung mengepung Cempaka dan Pandan Wangi. Mereka seakan-akan tidak mempedulikan keberadaan Padmi yang berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.
Salah seorang dari dua puluh laki-laki yang semuanya menghunus golok, melangkah ke depan beberapa tindak. Pandan Wangi mengamati laki-laki bertubuh tinggi tegap yang wajahnya penuh cambang dan kumis melintang, sehingga menutupi bibirnya yang tebal. Dadanya seperti sengaja dibuka, seakan-akan hendak memamerkan dada yang berbulu tebal itu.
“Siapa di antara kalian yang membunuh anak buahku?” besar dan berat sekali suara orang itu.
“Aku,” sahut Pandan Wangi mendahului.
Cempaka agak terkejut, dan sempat menatap Pandan Wangi dalam-dalam. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena laki-laki tinggi besar itu sudah mempercayai jawaban Pandan Wangi.
“Kau berhutang nyawa padaku, Nisanak,” desis orang itu dingin.
“Anak buahmu terlalu kurang ajar, dan terpaksa kuberi pelajaran!” sahut Pandan Wangi ketus.
“Bagus...! Dan sekarang kau yang akan kuberi pelajaran, Bocah Sombong!”
Setelah berkata demikian, ujung jarinya dijentikkan. Dan seketika itu juga, orang-orang yang sudah berkeliling mengepung itu langsung berlompatan. Sambil berteriak keras, mereka mengibaskan goloknya yang berkilatan tertimpa cahaya matahari senja. Pandan Wangi bergegas melompat sambil meliukkan tubuhnya menghindari sambaran golok yang begitu cepat mengarah ke pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, Cempaka langsung mencabut pedangnya.
Trang!
Pedang Cempaka langsung beradu dengan sebilah golok yang hampir membelah dadanya. Namun gadis itu cepat memutar pedangnya. Seketika dibabatnya leher salah seorang berbaju hitam yang berada di samping kanannya.
Cras!
“Aaa...!” satu jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang dengan leher sobek terbabat pedang Cempaka.
Tak ada yang sempat memperhatikan, karena Cempaka sudah kembali bergerak cepat sekali. Pedangnya dikibaskan, membabat orang-orang yang mengeroyok dengan senjata golok. Teriakan-teriakan keras pertempuran, bercampur denting senjata yang terdengar membahana. Dan itu pun masih ditingkahi pekikan melengking tinggi dari orang-orang yang terkena sambaran pedang Cempaka. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tiga orang yang tergeletak tak bernyawa.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengeluarkan senjata mautnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya berbentuk runcing. Senjata itu siap mengancam nyawa siapa saja yang berada dekat dengannya. Pandan Wangi sendiri sudah merobohkan lima orang yang mengeroyoknya. Kipas baja putih yang menjadi senjata andalannya berkelebat cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
Memang, kedua gadis itu bukanlah tandingan gerombolan kecil yang hanya memiliki kepandaian rendah seperti ini. Sehingga tidak heran jika dalam waktu sebentar saja, sudah separuhnya yang tergeletak tak bernyawa lagi. Udara senja yang temaram ini jadi sesak oleh bau anyir darah yang menggenang dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
“Lariii..!” tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam yang kini jumlahnya tinggal sekitar tujuh orang lagi berlompatan kabur. Mereka bergegas melompat ke punggung kuda masing-masing dan cepat menggebahnya. Pandan Wangi dan Cempaka berdiri tegak memandangi mereka yang kabur dengan cepat
“Hhh... Benar-benar suatu pengalaman baru...!” desis Cempaka.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya. Langsung saja dia melompat naik ke punggung kudanya. Cempaka sendiri malah mengambil kuda yang ditinggalkan orang-orang itu. Tak berapa lama kemudian, tiga kuda sudah bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Cempaka menuntun tali kekang kudanya yang ditunggangi Padmi, karena gadis itu tidak bisa menunggang kuda.

***

46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang