BAGIAN 6

715 31 0
                                    

Pandan Wangi merintih lirih sambil menggerakkan kepalanya lemah sekali. Dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, namun sebuah tangan halus berjari lentik, telah menahannya. Pandan Wangi membuka matanya, dan langsung tertumbuk pada seraut wajah cantik yang sudah amat dikenalnya.
“Oh..., apakah aku sudah mati...?” lirih sekali suara Pandan Wangi.
“Belum. Kak Pandan selamat,” terdengar sahutan halus dan lembut
Pandan Wangi memandangi wajah cantik yang menyunggingkan senyuman manis padanya, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Memang..., dia belum mati. Dikenalinya betul wajah-wajah yang berada di sekitamya. Juga dikenali betul ruangan yang kini ditempatinya. Kembali Pandan Wangi menatap Cempaka yang duduk di sampingnya. Di sebelah Cempaka, duduk Padmi. Sedangkan di dekat jendela, berdiri Rangga bersama Ki Jantar serta Ki Sarumpat.
Mereka adalah orang-orang yang sangat dikenalnya. Pandan Wangi yakin kalau dia belum sempat dijemput ajal. Gadis itu mencoba mengingat-ingat, apa yang terjadi hingga sampai tidak sadarkan diri. Tapi terlalu sukar untuk bisa mengingatnya dengan jelas.
“Jelas sudah kalau peramal tua itu punya maksud tidak baik,” tebak Ki Sarumpat, agak bergumam nada suaranya.
“Apakah sudah banyak korbannya?” tanya Rangga yang masih belum mengerti tentang peramal tua itu.
“Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Mereka yang diramal kematiannya, selalu menjadi kenyataan. Terakhir, Saudagar Kanta yang mati karena kereta kuda yang ditumpanginya terjerumus masuk ke dalam jurang. Tak ada yang hidup, semua pengawal dan kusirnya mati,” sahut Ki Sarumpat menjelaskan. “Sudah lama aku selalu mencurigainya, tapi belum ada bukti yang jelas kalau dia yang melakukan semua pembunuhan itu.”
“Aku rasa dia hanya peramal saja yang kebetulan memang tepat ramalannya,” sanggah Ki Jantar.
“Tapi perbuatannya mencurigakan sekali, Ki. Aku sering bertemu peramal-peramal terkenal. Tapi tidak selamanya bisa tepat. Apalagi meramalkan kematian seseorang. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan kematian begitu tepat,” bantah Ki Sarumpat gigih.
Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Saat itu Pandan Wangi sudah bisa bangkit duduk. Dihabiskan minuman yang diberikan Padmi padanya. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi saat gadis itu memintanya mendekat. Cempaka menggeser duduknya memberi tempat pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga setelah duduk di tepi pembaringan itu.
“Aku rasa bukan dia pelakunya, Kakang. Mungkin memang dia melihat dan memperingatkan aku,” tegas Pandan Wangi.
“Siapa pun orangnya, aku akan menyelidiki. Aku merasa ada sekelompok orang yang sengaja menginginkan kematianmu. Dan orang itu tidak ingin diketahui,” tutur Rangga.
“Yaaah..., sayang sekali aku tidak bisa mengenalinya,” desah Pandan Wangi agak bergumam.
“Aku pasti akan menemukan orangnya, Pandan,” janji Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Dia percaya kalau Rangga pasti akan mengetahui rahasia di balik semua peristiwa ini. Ingin rasanya Pandan Wangi berdua saja dengan Pendekar Rajawali Sakti, pada saat sedang membutuhkan sekali perhatian dari seseorang yang sangat dicintainya. Tapi keinginannya harus bisa dikekang, karena tidak mungkin meminta yang lain untuk meninggalkan kamar ini.
“Istirahatlah dulu, Pandan. Pulihkan dulu kesehatanmu,” kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya punggung tangan si Kipas Maut itu dengan lembut, kemudian kakinya melangkah keluar diikuti Ki Jantar dan Ki Sarumpat. Ingin sekali Pandan Wangi mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu, Rangga sudah menghilang di balik pintu.
Pandan Wangi hanya bisa mendesah dalam hati. Memang sukar baginya punya kesempatan berdua dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak seperti dulu, di saat mereka masih sama-sama mengembara mengarungi ganasnya rimba persilatan. Sekarang ini, setiap kali ada kesempatan bertemu, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berdua saja walaupun hanya sejenak
“Ini makannya, Kak...,” Padmi menyodorkan makanan pada Pandan Wangi.
Si Kipas Maut itu tersenyum seraya menerima piring berisi makanan. Tapi saat ini selera makannya memang sedang tidak ada, meskipun makanan yang diberikan Padmi sungguh mengundang selera.
“Aku yang membuatnya sendiri, Kak. Mungkin tidak enak,” kata Padmi merendah.
“Bohong, Kak. Aku saja sampai nambah kok,” selak Cempaka.
Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja, dan mulai menikmati makanan itu sedikit. Memang rasanya enak juga. Mendadak saja Pandan Wangi jadi lapar, sehingga akhimya makanan itu dilahapnya. Bahkan sebentar saja piring makannya sudah licin tak bersisa. Bukan hanya Padmi yang bengong, tapi juga Cempaka terlongong melihat nafsu makan Pandan Wangi begitu besar.
“Masih ada lagi, Padmi?”
“Yaaah.... Sudah habis, Kak,” sahut Padmi menyesal.
“Ya, sudah.”
“Aku buatkan lagi ya, Kak?” Padmi jadi bergairah.
“Nanti sore saja.”
“Ini sudah sore kok, Kak,” selak Cempaka.
Pandan Wangi terlongong. Sungguh tidak disangka kalau saat ini sudah sore. Itu berarti dia tidak sadarkan diri selama hampir seharian. Pantas saja perutnya begitu lapar. Apalagi selama dua hari ini memang belum terisi makanan sama sekali. Dan, entah kenapa..., tahu-tahu gadis itu tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena geli menyadari kebodohannya yang begitu percaya pada ramalan edan itu, sampai-sampai menyiksa diri begini. Melihat Pandan Wangi tertawa, Cempaka dan Padmi jadi ikut tertawa juga. Padahal mereka tidak tahu, apa yang ditertawakannya.

46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang