Pandan Wangi memandangi laki-laki tua berbaju putih yang bernama Ki Ramal atau berjuluk si Peramal Maut. Peramal tua itu tengah asyik berbicara dengan seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berpakaian indah. Melihat dari pakaiannya, Pandan Wangi menduga kalau laki-laki gemuk itu seorang saudagar yang kebetulan singgah di desa ini.
“Kasihan saudagar itu....”
Pandan Wangi berpaling ketika mendengar suara yang begitu dekat di sampingnya. Entah dari mana, tahu-tahu Ki Jantar sudah berada di sampingnya. Laki-laki tua pemilik kedai ini seperti tidak tahu kalau Pandan Wangi tengah memandanginya.
“Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Pasti bakal ada yang mati lagi,” sahut Ki Jantar setengah bergumam.
“Maksudmu...?” Pandan Wangi tidak mengerti.
“Si Peramal Maut itu pasti sedang meramal kematian Saudagar Kanta. Hhh..., bakalan kehilangan satu pelanggan lagi,” keluh Ki Jantar.
“Jangan percaya dengan ramalannya, Ki,” kata Pandan Wangi. Karena dirinya sendiri juga diramal bakal mati oleh Peramal Maut, tapi sampai sekarang masih bisa bernapas.
Ki Jantar berpaling menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya. Pandan Wangi menggeser duduknya memberi tempat pada pemilik kedai dan rumah penginapan ini. Ki Jantar menempatkan diri di samping si Kipas Maut itu.
“Apa dia juga meramalmu, Den Ayu?” tanya Ki Jantar.
“Iya, malam itu,” sahut Pandan Wangi.
“Oh...!” Ki Jantar terkejut
Malam itu Ki Jantar memang melihat peramal tua itu bicara dengan Pandan Wangi. Dan pada saat ditanyakan, tampaknya Pandan Wangi tidak ingin membicarakannya. Tapi setelah beberapa hari tidak juga ada kebenaran dari ramalan peramal tua itu, tampaknya Pandan Wangi tidak lagi mempercayainya. Bahkan seperti melupakan semua yang dikatakan laki-laki tua peramal kematian itu.
“Kalau begitu, Den Ayu harus hati-hati,” tegas Ki Jantar memperingatkan.
“Kenapa aku harus hati-hati, Ki?” tanya Pandan Wangi memancing keingintahuannya.
“Ramalan peramal tua itu tidak pernah meleset. Kalau dikatakan dua hari lagi mati, pasti orang yang diramalkannya akan menemui ajal pada hari yang ditentukan,” jelas Ki Jantar.
“Sudah banyak korbannya, Ki?”
“Bukan banyak lagi, Den Ayu.”
“Apakah mereka mati dibunuh?” Pandan Wangi jadi teringat peristiwa malam itu.
Peristiwa serangan gelap itu terjadi setelah si Peramal Maut itu meramalkan kematiannya. Tapi dia tidak yakin kalau serangan gelap itu ada hubungannya dengan ramalan. Dugaannya, orang yang menyerangnya pasti punya dendam padanya. Dan tentu saja dendam itu ingin dilampiaskannya malam itu. Hanya saja Pandan Wangi menduga kalau bukan hanya satu orang. Terbukti, penyerang itu tewas bukan karenanya, tapi ada orang Iain yang sengaja membunuhnya secara licik. Entah apa maksudnya, Pandan Wangi sendiri tidak tahu.
“Tidak semuanya, Den Ayu,” sahut Ki Jantar.
“Maksudmu, Ki?”
“Macam-macam saja kematiannya, Den Ayu. Bahkan ada juga yang mati mendadak tanpa diketahui penyebabnya. Atau kecelakaan, dan ada juga dibunuh perampok. Pokoknya mereka yang pernah diramal, pasti mati pada saat hari yang telah ditentukan. Entah mati karena apa,” jelas Ki Jantar.
“Tapi dia tidak menentukan kapan waktunya aku mati, Ki,” kata Pandan Wangi.
“Apa yang dikatakannya padamu, Den Ayu? tanya Ki Jantar.
“Katanya aku akan mati dalam waktu beberapa hari ini saja,” sahut Pandan Wangi.
“Dua hari lagi....”
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara orang menyeletuk. Gadis itu langsung berpaling. Begitu juga Ki Jantar. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri laki-laki tua yang telah memperkenalkan diri dengan nama Ki Ramal. Sedangkan semua orang di desa ini menjulukinya si Peramal Maut. Karena peramal tua ini selalu meramal kematian orang dalam waktu yang tepat seperti apa yang telah dikatakannya.
“Aku melihat adanya bayangan gelap dan hawa kematian pada dirimu, Nisanak. Dua hari lagi ajalmu akan datang. Kuharap kau berhati-hati, dan sebaiknya pergi jauh dari sini melewati tiga gunung dan tiga sungai agar bisa terlepas dari kematianmu,” ujar si Peramal Maut itu.
Namun sebelum Pandan Wangi bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah berjalan meninggalkannya. Jalannya ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Pada saat itu, terlihat sebuah kereta kuda yang cukup indah tengah bergerak cepat meninggalkan halaman depan kedai ini. Di dalamnya terlihat Saudagar Kanta dengan wajah murung terselimut mendung. Mungkin dugaan Ki Jantar tadi memang benar kalau saudagar kaya itu mendapat ramalan kematiannya dari si Peramal Maut.
“Peramal edan...! Seenaknya saja menentukan kematian orang!” dengus Pandan Wangi geram.
“Sebaiknya Den Ayu cepat pergi dari sini, seperti yang dikatakannya,” kata Ki Jantar.
“Tidak! Aku ingin tahu, apa memang dia bisa mengetahui kematianku,” sahut Pandan Wangi mantap.
Ki Jantar tidak bisa lagi memaksa. Dia tahu kalau Pandan Wangi sudah berkata demikian, tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya. Terlebih lagi, gadis ini memang sudah sering menghadapi tantangan. Jadi, tidak mungkin merasa takut meskipun kematiannya sudah diramal akan datang dua hari lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal Tua
ActionSerial ke 46. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.