BAGIAN 1

1.2K 30 0
                                    

Dua ekor kuda bergerak perlahan-lahan menyusuri padang rumput yang tidak begitu luas. Terlihat sebuah jurang yang cukup panjang, membelah sepanjang kiri padang rumput itu. Penunggang dua ekor kuda itu dua orang gadis. Yang seorang mengenakan baju biru muda. Pedangnya bergagang kepala seekor ular naga hitam, dengan ikat pinggang berwarna kuning keemasan. Di balik sabuknya, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Sedangkan gadis di sebelahnya mengenakan baju warna merah muda dengan sebilah pedang tersampir di pinggang. Sesekali mereka menoleh ke arah jurang, atau ke arah bukit panjang yang berada di sebelah kanan. Dan kini hutan di depan sana sudah terlihat.
“Berapa lama lagi kita sampai di Desa Weru, Kak Pandan?” tanya gadis berbaju merah muda memecah kebisuan yang sejak tadi melingkupi mereka.
“Sebelum senja nanti,” sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi. Dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.
Sedangkan gadis di sebelahnya lagi mengenakan baju warna merah muda, tidak lain adalah Cempaka. Dia adik tiri Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sudah seharian berjalan menunggang kuda, namun belum juga menemukan sebuah desa pun. Sedangkan kini mereka tengah menuju Desa Weru yang tidak berapa jauh lagi dari padang rumput ini.
“Kita istirahat dulu di sini, Kak,” ajak Cempaka yang sudah pegal seluruh tubuhnya.
Sejak pagi tadi, mereka berada di atas punggung kuda. Tanpa istirahat sedikit pun. Sedangkan saat ini, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tak begitu terasa, karena diusir oleh hembusan angin yang agak kencang, mempermainkan rambut kedua gadis itu.
“Nanti, di tepi hutan sana,” sahut Pandan Wangi seraya menunjuk hutan yang terlihat di depan sana.
“Sudah pegal rasanya pinggangku, Kak,” keluh Cempaka.
“Masih lumayan ini naik kuda, Cempaka. Biasanya aku jalan kaki,” jelas Pandan Wangi tersenyum dikulum.
Cempaka memang belum pernah mengembara, menjelajahi rimba persilatan. Maka baru kali inilah ikut mengembara bersama Pandan Wangi. Katanya ingin mencari pengalaman, di samping menguji ilmu-ilmu olah kanuragan yang dimiliki. Dan sebenarnya, Pandan Wangi tidak ingin Cempaka ikut dalam pengembaraannya mencari Pendekar Rajawali Sakti yang kini entah di mana. Tapi adik tiri Rangga itu memaksa untuk ikut. Padahal, Pandan Wangi telah menjelaskan kalau rintangannya tidak kecil.
"Pokoknya aku harus ikut...!” sentak Cempaka ketika Itu.
Waktu itu Pandan Wangi tengah mengutarakan keinginannya pada Danupaksi untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dan rupanya Cempaka mendengar semua percakapan itu dari balik pintu. Maka langsung dia menerobos masuk begitu namanya disebut. Padahal, Danupaksi telah melarang Pandan Wangi untuk berpamitan pada Cempaka. Karena mereka tahu, Cempaka pasti akan ikut pula. Dan ini sebenarnya memang sudah menjadi keinginan yang mendalam di hati Cempaka untuk mengembara.
Kemunculan Cempaka yang tiba-tiba saat itu, membuat Danupaksi dan Pandan Wangi terkejut. Terlebih lagi, gadis itu tegas-tegas mengatakan kalau akan ikut mengembara. Mereka benar-benar merasa kecolongan, karena berbicara di dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Dan sudah pasti, pembicaraan itu terdengar jelas dari luar ruangan yang cukup besar ini.
“Kalau aku tidak boleh ikut, aku akan mengembara sendiri,” rengek Cempaka.
Danupaksi sulit menahannya lagi. Dipandangnya Pandan Wangi sambil mengangkat kedua bahunya sedikit. Sedangkan Pandan Wangi sendiri juga tidak mencegah, meskipun hatinya terasa berat untuk membolehkan Cempaka ikut dalam pengembaraannya. Karena dia tahu, betapa besar rintangan dalam mengarungi luasnya rimba persilatan yang kejam dan penuh daya tipu licik. Terlebih lagi bagi gadis-gadis yang baru mencobanya.
Dan memang selama seharian perjalanan ini, belum ada kejadian yang berarti bagi gadis itu. Tapi Cempaka beberapa kali sudah mengeluh. Sedangkan Pandan Wangi selalu menanggapinya dengan senyuman saja. Bisa dimaklumi, karena baru kali inilah Cempaka melakukan perjalanan yang sesungguhnya. Selama ini dia ikut bersama Rangga hanya perjalanan kecil yang tidak mengandung bahaya terlalu besar. Lagi pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah menyerahkan seluruh persoalan pada Cempaka.
“Kita istirahat di sini dulu, Kak,” ajak Cempaka.
“Oh...! lya,” Pandan Wangi terbangun dari lamunannya.
Mereka memang sudah sampai di tepi hutan. Dan Pandan Wangi tahu kalau tempat ini bernama Hutan Tengkorak, tapi lebih dikenal dengan nama Rimba Tengkorak. Buat Pandan Wangi, hutan ini memiliki kenangan tersendiri. Di sinilah pertama kali Rangga mengungkapkan rasa cinta padanya. Satu kenangan yang manis dan tak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Kedua gadis itu beristirahat di tepi sungai kecil yang membatasi padang rumput dengan Rimba Tengkorak. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi menepuk pinggul kuda putihnya yang tinggi dan tegap. Binatang ini hadiah Pendekar Rajawali Sakti. Kuda putih itu melenggang ringan mendekati sungai. Diteguknya air sungai yang sejuk banyak-banyak.
Sedangkan kuda coklat yang ditunggangi Cempaka, langsung merumput. Kedua gadis itu duduk di tepi sungai menikmati sejuknya udara siang ini. Angin yang berhembus lembut, membuat kelopak mata Cempaka terpejam. Kepenatan selama seharian menunggang kuda, seakan-akan hendak dilebur di tepi hutan ini.
Namun belum juga benar-benar menikmati istirahatnya, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara seperti orang bertarung yang tidak seberapa jauh dari tepi hutan ini. Suara-suara itu datang dari seberang sungai, dan jelas sekali terdengar. Pandan Wangi langsung melompat bangkit berdiri.
“Kau tunggu di sini, Cempaka,” kata Pandan Wangi
“Heh...! Aku ikut..!” sentak Cempaka.
Tapi Pandan Wangi sudah lebih cepat melesat, melompati sungai yang tidak seberapa lebar itu. Cempaka bergegas berdiri, dan langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di seberang sungai, dan langsung melesat masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Cempaka juga langsung saja melesat ke dalam hutan begitu kakinya menjejak tanah di seberang sungai.
Pandan Wangi tertegun begitu sampai di satu tempat yang tidak begitu lebat di dalam hutan ini. Tampak sesosok tubuh telah tergeletak berlumuran darah. Di sampingnya, tampak seorang gadis berusia sekitar lima belasan tahun tengah menangis sesenggukan sambil menutupi wajahnya. Pandan Wangi perlahan mendekati. Ditepuknya pundak gadis itu dengan lembut. Namun gadis itu malah tersentak dan memekik kaget.
“Tidak apa-apa, Gadis Manis. Aku tidak akan menyakitimu,” bujuk Pandan Wangi.
Gadis berpakaian kumal dan lusuh itu memandangi Pandan Wangi dengan mata dipenuhi air bening. Bahunya masih terguncang menahan isaknya yang tertahan. Saat itu, Cempaka baru saja tiba. Dia terkejut melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah di depan Pandan Wangi. Sedangkan tidak jauh di seberang sosok tubuh berlumur darah itu terlihat seorang gadis belasan tahun tengah menangis sambil memandangi Pandan Wangi.
“Kak Pandan, ada apa...?” tanya Cempaka yang sudah berada di samping Pandan Wangi.
“Aku tidak tahu. Kudapati orang tua ini sudah tewas, dan anak ini menangis di sampingnya,” sahut Pandan Wangi.
Sebentar Cempaka memandangi laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Dada dan lehernya tersayat lebar, seperti terkena sabetan senjata tajam. Darah masih mengucur deras dari lukanya. Kemudian Cempaka memandang gadis belasan tahun yang masih menangis terisak agak tertahan. Cempaka menghampiri gadis itu, dan lembut sekali menyentuh pundaknya. Mungkin karena kelembutan Cempaka, gadis itu jadi percaya kepadanya. Bahkan malah menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Maka seketika air matanya ditumpahkan di dada Cempaka. Dibiarkan saja gadis itu membasahi bajunya, dan malah dibelainya rambut yang hitam panjang dan bergelombang itu dengan lembut sekali. Seakan-akan dia ikut merasakan apa yang tengah dirasakan gadis ini.
“Hsss..., sudah..., sudah,” bujuk Cempaka mencoba meredakan tangis gadis itu.
Sementara Pandan Wangi memeriksa tubuh laki-laki tua yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dia sedikit tertegun melihat luka yang menganga lebar di dada dan leher. Luka yang begitu rapi, seperti tebasan senjata tajam yang dilakukan seorang berilmu tinggi.
Pandan Wangi meletakkan tangan laki-laki tua itu ke dada, kemudian mengusap wajah yang sudah pucat itu. Maka mata yang mendelik jadi tertutup. Dan mulut yang terbuka, juga mengatup kembali. Si Kipas Maut itu kemudian menghampiri Cempaka yang sudah duduk berdampingan dengan gadis belasan tahun itu. Dan tampaknya tangis gadis itu berhasil diredakannya, meskipun sesekali masih terisak sesenggukan.
“Apa yang terjadi, Dik?” tanya Pandan Wangi dengan suara lembut.
“Namanya Padmi,” celetuk Cempaka memberi tahu nama gadis itu.
Pandan Wangi menatap Cempaka sebentar. Ternyata Cempaka sudah bisa bicara dengan gadis ini. Bahkan sudah bisa mengetahui namanya segala. Kagum juga Pandan Wangi dengan cara pendekatan Cempaka yang begitu cepat membawa hasil.
“Ceritakan, Padmi. Apa sebenarnya yang terjadi...? Barangkali kami berdua bisa membantumu,” bujuk Cempaka dengan suara lembut.
“Ayah tidak punya musuh. Kami orang baik-baik.... Tapi kenapa ada orang yang membunuhnya...?” agak tersendat suara Padmi menceritakan apa yang terjadi.
Tapi apa yang dikatakan Padmi belum begitu jelas bagi Pandan Wangi maupun Cempaka. Karena Padmi tidak mengatakan, siapa pembunuh ayahnya, dan kenapa begitu tega membunuh pencari kayu bakar itu. Namun mereka memang harus bersabar. Tidak mungkin Padmi bisa begitu cepat menenangkan diri. Sedangkan baru beberapa saat saja dia mendapat musibah yang mengenaskan sekali.
“Siapa yang membunuhnya, Padmi?” tanya Pandan Wangi.
Padmi tidak langsung menjawab, dan hanya menggelengkan kepalanya saja sambil menatap Pandan Wangi yang berdiri di depannya. Gelengan kepala gadis itu sudah jelas bisa diartikan. Padmi tidak mengetahui orang yang membunuh ayahnya tadi.
“Mukanya tidak jelas. Seluruh kepalanya ditutupi kain hitam,” jelas Padmi.
Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan. Bagi Pandan Wangi yang sudah kenyang makan asam garam dalam rimba persilatan, sudah tidak asing lagi dengan pembunuh seperti ini. Pembunuh itu sengaja menyembunyikan wajahnya agar tidak diketahui orang lain. Dan sudah bisa ditebak kalau pembunuh itu mengenal korbannya. Dan yang pasti, si korban pun mengenal pembunuh itu, sehingga mukanya perlu diselubungi agar tidak dikenali
“Di mana rumahmu, Adik Manis?” tanya Pandan Wangi lembut.
Pandan Wangi merasa tidak ada gunanya mendesak Padmi agar menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Dan dia ingin mengantarkan pulang gadis ini ke rumahnya, lalu melupakan semua yang ada di hutan ini. Memang hanya itu yang bisa dilakukan Pandan Wangi saat ini. Dan setelah itu Pandan Wangi ingin secepatnya bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti, yang katanya sekarang ada di Desa Weru. Entah apa yang dilakukan Rangga di desa kecil yang terpencil itu.

***

“Aku kasihan melihat keadaannya, Kak,” kata Cempaka sambil mengendalikan jalan kudanya agar tetap berada di samping kuda yang ditunggangi Pandan Wangi
“Padmi maksudmu?” tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.
“lya. Dia sekarang hidup sendiri di tempat sunyi yang terpencil begitu,” kata Cempaka.
“Bukan hanya Padmi yang hidup seperti itu, Cempaka. Nanti kau juga akan melihat kehidupan yang jauh lebih mengenaskan daripada dia,” sahut Pandan Wangi dengan bibir mengulas senyum tipis.
Cempaka diam saja. Diresapinya kata-kata yang terucap dari bibir si Kipas Maut tadi. Gadis itu memang belum berpengalaman dalam menjelajah mayapada yang luas dan selalu menyimpan banyak misteri ini. Tapi hatinya seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Pandan Wangi. Apakah di alam ini banyak orang yang hidupnya begitu kekurangan seperti Padmi...? Pertanyaan ini selalu mengganggu benak Cempaka. Dan gadis itu merasakan adanya ketidakadilan dalam hidup ini. Sementara dirinya selama ini selalu hidup lebih.
“Kak...,” pelan sekali suara Cempaka.
“Ada apa lagi...?”
“Bagaimana nanti Padmi bisa hidup ya...?” Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Kau ini, Cempaka.... Kenapa masih memikirkan Padmi, sih...?”
“Aku kasihan, Kak. Kenapa tadi tidak dibawa saja sekalian? Aku bisa mengangkatnya jadi adik,” Cempaka mengemukakan isi hatinya.
“Cempaka.... Kalau ada sepuluh orang seperti Padmi, atau mungkin ratusan, bahkan ribuan orang, apa kau juga akan mengangkat mereka jadi adik...?”
Cempaka tidak langsung menjawab.
“Apa ada banyak orang sepertinya, Kak?” Cempaka malah bertanya setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Bukan hanya ada, tapi banyak. Ah..., sudahlah. Aku yakin, nanti rasa ibamu juga akan hilang sendiri,” Pandan Wangi tidak ingin membicarakan masalah Padmi lagi.
“Tapi, Kak.... Tidak ada salahnya kan, kalau aku mengangkatnya sebagai adik?”
“Tidak. Dan jika kau mau, jemput saja,” sahut Pandan Wangi.
“Sungguh...?” sinar mata Cempaka langsung berbinar.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis.
“Aku akan kembali, Kak. Tunggu di sini dulu...!” seru Cempaka.
“Heh...?!” Pandan Wangi terkejut.
Tapi Cempaka sudah cepat memutar kudanya dan langsung menggebahnya. Maka kuda coklat itu melesat cepat meninggalkan Pandan Wangi yang hanya bisa terbengong. Si Kipas Maut itu bukan saja terkejut, tapi juga keheranan akan sikap Cempaka. Padahal tadi keinginan Cempaka ditanggapi dengan asal bicara saja. Sama sekali tidak bersungguh-sungguh menganjurkan begitu. Namun rupanya Cempaka benar-benar menanggapinya.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit sambil mendesah, kemudian melompat turun dari punggung kudanya. Gadis itu membiarkan saja kuda putih itu melenggang menjauh mencari rumput segar untuk mengisi perutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri dihenyakkan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Pandan Wangi duduk di atas akar yang menyembul dari dalam tanah. Sementara Cempaka sudah tidak lagi terlihat
“Hhh..., ada-ada saja...,” desah Pandan Wangi perlahan diiringi hembusan napas panjang.

***

46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang