Pandan Wangi memacu cepat kudanya mendaki Bukit Tanggul yang berbatu dan berkerikil tajam, siap menggelincirkan siapa saja yang mencoba melewati nya. Sedangkan agak jauh di belakangnya, tampak Cempaka dan Padmi yang kini masing-masing sudah menunggang kuda. Tapi Cempaka belum berani melepas Padmi berkuda sendiri, meskipun kelihatannya gadis itu sudah bisa mengendalikan kuda. Padmi memang cerdas, dan bisa cepat menangkap apa saja. Hanya setengah hari saja Cempaka mengajarinya menunggang kuda, gadis itu sudah bisa seperti penunggang kuda kawakan saja.
“Hup...!”
Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda yang dihentikan dengan mendadak sekali. Sebentar dipandanginya puncak bukit ini, kemudian pandangannya beralih pada Cempaka yang menuntun Padmi di atas punggung kudanya. Cempaka juga bergegas melompat turun dari punggung kudanya begitu sampai di depan Pandan Wangi, lalu membantu Padmi turun dari kudanya. Pandan Wangi jadi agak terharu juga terhadap Cempaka yang mau bersusah payah mengurusi Padmi yang baru beberapa hari dikenalnya.
“Terpaksa kita tinggalkan kuda di sini,” kata Pandan Wangi.
“Jalan kaki...?!” Cempaka mengerutkan keningnya.
Gadis itu memandangi puncak bukit yang masih kelihatan tinggi, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang saat itu juga tengah memandangi Puncak Bukit Tanggul ini.
“Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Cempaka. Aku akan melihat ke atas sana. Mudah-mudahan saja Ki Sarumpat salah,” ujar Pandan Wangi.
“Berapa lama kau akan ke sana?” tanya Cempaka.
“Entahlah,” sahut Pandan Wangi mendesah.
Cempaka diam saja, lalu sedikit melirik Padmi. Memang tidak mungkin membawa gadis yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan mendaki bukit yang gersang ini. Dan kelihatannya bukit ini berbahaya sekali.
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Kak,” kata Cempaka mengalah.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak Cempaka, kemudian menepuk pundak Padmi. Tanpa mengucapkan sesuatu, si Kipas Maut itu langsung melesat cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Gerakannya sangat cepat dan ringan sekali. Maka dalam waktu sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan Cempaka dan Padmi. Sementara itu Padmi terus memandangi Pandan Wangi yang semakin jauh menuju Puncak Bukit Tanggul ini. Dia kagum dengan kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi.
“Enak sekali ya, kalau bisa seperti itu,” gumam Padmi tanpa sadar.
“Kau juga bisa, Padmi,” sahut Cempaka dengan bibir menyunggingkan senyum.
Padmi tersipu malu. Ternyata gumamannya yang tidak disadari tadi didengar Cempaka.
“Kalau kau mau berlatih, pasti bisa,” kata Cempaka lagi.
“Berlatih...?” Padmi memandangi Cempaka dalam-dalam.
“lya! Untuk bisa menguasai ilmu olah kanuragan, harus berlatih lebih dahulu. Dan harus ada seseorang yang bisa memberikan latihan. Kau harus mencari seorang guru, Padmi,” jelas Cempaka.
“Bagaimana kalau Kak Cempaka sendiri yang melatihku,” kata Padmi meminta dengan polos.
Cempaka jadi tertawa geli mendengarnya. Tapi dihargainya juga keinginan Padmi yang begitu menggebu ingin bisa ilmu olah kanuragan. Mungkin karena beberapa peristiwa yang dialaminya, sehingga dia begitu berminat terhadap ilmu olah kanuragan. Terlebih lagi setelah melihat pertarungan yang dilakukan Cempaka dan Pandan Wangi. Dan sekarang, ketika melihat Pandan Wangi bisa bergerak begitu cepatnya mendaki bukit batu yang gersang ini, Padmi semakin tertarik untuk bisa seperti itu. Disesali kalau dirinya begitu lemah.
“Bukannya aku tidak mau, Padmi. Aku sendiri masih harus banyak belajar. Apa yang kumiliki sekarang ini, masih banyak kekurangannya,” kata Cempaka merendah.
“Aku bersedia mengabdikan diri sepenuhnya, Kak. Aku akan melakukan apa saja yang Kak Cempaka perintahkan,” tegas Padmi mantap.
“Jangan, Padmi. Sebaiknya carilah seorang guru yang pantas dan berilmu tinggi. Aku belum pantas menjadi guru,” Cempaka masih merendah.
Padmi seperti kecewa dengan penolakan Cempaka yang halus itu. Dan ini membuat adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu semakin iba saja. Keinginan Padmi yang mau mempelajari ilmu olah kanuragan padanya kini dipertimbangkannya.
“Nanti akan kutanyakan dulu pada Kakang Rangga, Padmi. Kalau Kakang Rangga mengizinkan, aku akan memberimu jurus-jurus yang kumiliki,” kata Cempaka berjanji.
“Siapa itu Kakang Rangga?” tanya Padmi ingin tahu.
“Dia kakakku, tunangannya Kak Pandan,” jelas Cempaka.
“Apakah Kakang Rangga juga berilmu tinggi?” tanya Padmi lagi.
“Wah...! Sukar dikatakan, Padmi. Aku sendiri belum ada seujung kukunya bila dibandingkan Kakang Rangga,” Cempaka membanggakan kakak tirinya itu.
“Tapi sungguh ya, Kak...?” Padmi ingin penegasan. Cempaka mengangguk dan tersenyum.
“Terima kasih, Kak,” ucap Padmi gembira.
Lagi-lagi Cempaka hanya tersenyum saja. Dia memang juga merasa senang jika bisa membantu kaumnya sendiri. Bahkan sebenarnya dia ingin agar wanita-wanita di mayapada ini tidak lemah dan mampu bertindak pada laki-laki. Terutama pada laki-laki yang biasanya suka menganggap kaum wanita yang hanya penghias saja yang harus dinikmati sepuas-puasnya. Setelah itu, dicampakkan bagai sampah busuk.
Padmi kembali diam. Namun dari sorot matanya, dia ingin sekali bertemu orang yang bernama Rangga itu. Bahkan banyak penduduk Desa Weru yang mengenal Rangga dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya sekadar mengenal, tapi juga mengagumi dan menghormatinya. Padmi sendiri pun baru tahu kalau Pandan Wangi juga memiliki julukan, yaitu si Kipas Maut. Dia tidak mengerti dengan nama-nama yang terdengar aneh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal Tua
ActionSerial ke 46. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.