Desa Weru memang bukan sebuah desa yang indah dan ramai. Letaknya pun sangat terpencil, dan terlalu dekat dengan Rimba Tengkorak. Jarang orang datang ke desa ini, kecuali mereka yang sedang menempuh perjalanan jauh. Untung saja Pandan Wangi dan Cempaka masih bisa memperoleh penginapan yang cukup lumayan. Biasanya, mereka yang datang sudah kemalaman, sukar sekali mendapatkannya.
Pandan Wangi yang sudah beberapa kali singgah di desa ini, cukup dikenali oleh pemilik rumah penginapan. Sehingga, tidak ada kesulitan baginya mendapatkan tempat bermalam yang layak. Ki Jantar, pemilik rumah penginapan ini memberi Pandan Wangi kamar yang biasa ditempatinya jika menginap di sini. Seperti biasanya, si Kipas Maut itu selalu melewatkan malam di kedai Ki Jantar yang letaknya di depan penginapan.
“Lama sekali Den Ayu tidak datang ke sini,” kata Ki Jantar seraya meletakkan minuman yang dipesan Pandan Wangi.
“Banyak kesibukan, Ki,” sahut Pandan Wangi seraya melirik Cempaka yang duduk di seberang meja ini.
“Tapi, kenapa tidak bersama-sama Den Rangga?” tanya Ki Jantar.
“Ki Jantar juga kenal Kakang Rangga...?” Cempaka agak heran juga, karena pemilik kedai dan penginapan ini juga mengenal Pendekar Rajawali Sakti.
“Siapa yang tidak kenal Den Rangga, Den Ayu. Semua orang di desa ini mengenalnya dengan baik,” sahut Ki Jantar. Nada suaranya terdengar agak bangga.
“Ki...!” terdengar suara panggilan yang keras.
“Oh, sebentar....”
Bergegas Ki Jantar meninggalkan meja yang ditempati Pandan Wangi dan Cempaka. Saat itu Pandan Wangi sempat melirik orang yang memanggil Ki Jantar dengan suara keras sekali. Seorang laki-laki tua yang mungkin sebaya Ki Jantar, atau mungkin juga lebih tua. Pada saat yang sama, laki-laki tua berbaju warna putih yang tongkatnya bersandar di sampingnya itu juga melirik ke arah Pandan Wangi.
Agak terkesiap juga si Kipas Maut itu saat pandangannya tertumbuk pada lirikan laki-laki tua itu. Buru-buru Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Kedai ini memang tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang ke sini. Dan rata-rata, mereka adalah pendatang yang kebetulan saja singgah di Desa Weru ini.
“Padmi sudah tidur, Cempaka?” tanya Pandan Wangi setelah melirik kembali pada laki-laki tua berbaju putih itu.
“Sudah. Katanya lelah sekali,” sahut Cempaka seraya menikmati minumannya.
Pandan Wangi kembali melirik laki-laki tua berbaju putih yang rambutnya sudah memutih semua itu. Agak heran juga dia, karena laki-laki tua itu sejak tadi tidak lepas memandanginya terus. Pandan Wangi mencoba mengingat-ingat, kalau-kalau pernah bertemu dengannya. Tapi dia begitu yakin kalau tidak pernah bertemu sebelumnya. Namun sepertinya ada sesuatu pada dirinya sehingga laki-laki tua itu terus memperhatikan.
“Kak...”
Pandan Wangi menatap Cempaka.
“Ada apa?”
“Sepertinya Kakang Rangga tidak ada di sini,” kata Cempaka dengan suara agak berbisik.
“Mungkin...,” sahut Pandan Wangi.
“Kata Ki Jantar, semua orang di sini mengenal dengan baik. Pasti mereka tahu kalau Kakang Rangga ada di sini,” kata Cempaka lagi. “Apa mungkin dia akan datang ke sini, Kak?”
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah tersenyum saja. Memang jarang sekali bagi seorang pendekar kelana menginjakkan kakinya pada satu tempat untuk kedua kalinya. Kalau toh itu dilakukan, pasti karena kebetulan saja. Apalagi Pandan Wangi tahu betul, kalau Rangga tidak pernah merencanakan suatu perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti akan berada di mana saja sekehendak hatinya.
“Kak Pandan tahu dari mana kalau Kakang Rangga akan ke sini?” tanya Cempaka lagi.
“Hanya perasaan saja,” sahut Pandan Wangi.
“Kalau tidak ada di sini?”
“Ya, cari terus,” sahut Pandan Wangi setengah bergurau.
“Hhh.... Bisa makan waktu, Kak...,” keluh Cempaka.
“Kenapa mengeluh? Bukankah kau sendiri yang ingin ikut, Cempaka...?” gurau Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak mengeluh. Hanya saja...,” Cempaka tidak meneruskan kalimatnya.
“Hanya apa?”
Tapi Cempaka tidak menjawab. Dicoleknya punggung tangan Pandan Wangi dan dikerdipkan sebelah matanya. Pandan Wangi berpaling sedikit, dan agak tersentak kaget begitu tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih. Tampak tongkat kayu berwarna coklat kemerahan tergenggam di tangannya.
Yang membuat Pandan Wangi terkejut adalah laki-laki tua inilah yang tadi sempat menjadi perhatiannya. Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Pandan Wangi dan Cempaka membalas dengan anggukan kepala sedikit juga. Kedua gadis itu agak keheranan atas kedatangan orang tua yang tidak dikenal sama sekali.
“Apakah Nisanak yang bernama Pandan Wangi?” tanya orang tua itu dengan suara yang dibuat lembut dan sopan.
“Benar...,” sahut Pandan Wangi keheranan.
“Boleh aku duduk di sini sebentar?” pinta orang tua itu.
Pandan Wangi memandang Cempaka sebentar sebelum mempersilakan laki-laki tua ini duduk di bangku kosong yang ada di sampingnya. Dengan sikap sopan, orang tua itu duduk di kursi kosong itu. Tongkatnya disandarkan di tepi meja. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan saja. Mereka tidak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hati atas kemunculan orang tua ini.
“Maaf, siapa sebenarnya Kisanak ini?” tanya Pandan Wangi.
“Aku hanya orang tua yang kebetulan bisa melihat kehidupan dan kematian seseorang,” sahut orang tua itu dengan bibir terus menyunggingkan senyum.
Pandan Wangi dan Cempaka kembali saling berpandangan dengan kening berkerut agak dalam. Kemudian mereka sama-sama memandangi laki-laki tua berbaju putih yang tidak dikenal sama sekali ini. Sedangkan orang tua itu hanya tersenyum-senyum saja.
“Siapa namamu, Kisanak?” tanya Cempaka dengan nada suara curiga.
“Orang-orang memanggilku, Ki Ramal, karena aku seorang tukang ramal ulung. Batinku bisa melihat jalan hidup seseorang tanpa diketahui orang lain,” laki-laki tua itu memperkenalkan sambil memuji dirinya sendiri.
“Lalu, apa maksudmu mendatangi kami?” tanya Pandan Wangi yang memang sama sekali tidak pernah bertemu laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Ramal ini sebelumnya.
“Aku melihat ada sesuatu pada dirimu, Nisanak,” sahut Ki Ramal dengan mata tajam menatap Pandan Wangi.
“Jangan coba-coba meramalku, Kisanak!” sentak Pandan Wangi kurang senang.
“Tidak. Sama sekali aku tidak meramalmu. Tapi...,” Ki Ramal tidak meneruskan. Sedangkan matanya semakin dalam memandangi Pandan Wangi.
Mendapat pandangan begitu dalam, Pandan Wangi jadi jengah juga. namun di balik itu, hatinya jadi penasaran dan ingin tahu, apa yang dilihat peramal tua ini dalam dirinya.
“Apa yang kau lihat di dalam diri Kak Pandan, Ki?” tanya Cempaka yang tidak bisa menahan penasaran di hatinya.
“Sesuatu yang gelap.... Ya..., kegelapan yang sukar untuk ditembus. Aku..., aku...,” suara Ki Ramal agak tersendat.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan matanya agak menyipit. Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak senang saja, tapi juga ingin tahu kelanjutannya. Sementara Cempaka sendiri semakin terlihat penasaran. Dipandangjnya Ki Ramal dengan wajah penasaran sekali.
“Sudah, Ki. Jangan bikin ulah macam-macam!” sentak Pandan Wangi seraya menyembunyikan perasaan sebenarnya.
Namun Ki Ramal masih tetap memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Dan ini membuatnya jengah. Si Kipas Maut merasa tidak senang, tapi juga penasaran. Hanya saja keingintahuannya tidak ingin ditunjukkan. Dan sebenarnya, Pandan Wangi paling tidak suka dirinya diramal-ramal seperti itu. Menurutnya, ramalan hanya akan mengganggu ketenangan pikiran saja, dan belum tentu kebenarannya.
“Oh..., sayang sekali...,” desah Ki Ramal tiba-tiba.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya disertai hembusan napas panjang. Sementara Cempaka semakin tertarik ingin tahu, apa yang dilihat peramal tua itu. Sampai-sampai tubuhnya disorongkan ke depan dengan sikut menekan, bertumpu pada tepi meja.
“Ada apa, Ki?” tanya Cempaka semakin ingjn tahu saja.
“Ah.... Tampaknya nasibmu malang sekali, Nisanak. Dalam beberapa hari lagi kau akan menemui ajal..,” tebak Ki Ramal dengan suara yang parau dan agak tersendat
“Kurang ajar...!” desis Pandan Wangi langsung memerah wajahnya.
“Maaf, Nisanak. Seharusnya aku tidak berkata demikian. Tapi semua yang kulihat mengatakan demikian. Maaf.... Maafkan aku, Nisanak...,” buru-buru Ki Ramal bangkit berdiri.
“Eh! Tunggu dulu, Ki...!” sentak Cempaka mencoba mencegah.
Ki Ramal melangkah mundur beberapa tindak. Dipandanginya Cempaka beberapa saat. Sementara Pandan Wangi semakin tidak suka dengan laki-laki tua peramal itu.
“Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya, jika kau tidak ingin terlibat dalam bencana,” ujar Ki Ramal pada Cempaka.
“He...!” Cempaka tersentak kaget
Tapi sebelum bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah cepat membalikkan tubuhnya. Dia tampaknya berjalan tergesa-gesa meninggalkan kedai ini. Sedangkan Pandan Wangi menggerutu, memaki-maki peramal itu. Gadis itu benar-benar tidak suka diramal akan mati dalam beberapa hari ini. Sementara pada saat itu, Ki Jantar menghampiri. Pemilik kedai ini langsung duduk di kursi, tempat peramal tua tadi duduk.
“Apa yang dikatakan peramal tua itu tadi, Den Ayu?” tanya Ki Jantar ingjn tahu.
“Peramal edan..!” dengus Pandan Wangi kesal
Si Kipas Maut itu langsung saja beranjak bangkit. Minumannya diteguk hingga tandas, kemudian berjalan menuju belakang. Sedangkan Ki Jantar dan Cempaka hanya memandanginya saja.
“Ada apa dengan Den Ayu Pandan Wangi...?” tanya Ki Jantar jadi semakin ingjn tahu.
“Tidak tahu,” sahut Cempaka seraya mengangkat bahunya.
“Apakah peramal itu mengatakan kalau Den Ayu Pandan Wangi akan mati...?” tebak Ki Jantar langsung.
Cempaka terkejut bukan main, sampai-sampai memandangi pemilik kedai itu dalam-dalam. Dugaan Ki Jantar memang tidak meleset sama sekali, dan ini yang membuat Cempaka terkejut bukan main
“Maaf, Den Ayu. Biasanya peramal itu selalu meramalkan kematian orang. Itu sebabnya dia dijuluki si Peramal Maut,” jelas Ki Jantar buru-buru.
Cempaka tidak berkata apa-apa, lalu bergegas bangkit berdiri dan meninggalkan kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya lebih dulu. Sementara Ki Jantar memandanginya sampai Cempaka lenyap di balik pintu. Laki-laki tua pemilik kedai itu menggelengkan kepala beberapa kali. Terdengar tarikan napas yang dalam disusul hembusan napas kencang.
“Hhh..., kenapa harus Den Ayu Pandan Wangi yang kena ramalan peramal tua itu...?” desah Ki Jantar terasa berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal Tua
ActionSerial ke 46. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.