BAGIAN 8

819 37 1
                                    

Seharian Rangga menjelajahi Rimba Tengkorak, mencari Setan Merah Lembah Neraka dan orang-orangnya, serta si Peramal Maut yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Tapi sampai senja datang mengunjungi mayapada ini, belum juga bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan Intan Kemuning yang mencari lewat udara pun, tidak melihat adanya tanda-tanda tempat persembunyian mereka di dalam hutan yang cukup ganas dan angker ini.
Bahkan Rangga sendiri meminta bantuan ular-ular penghuni hutan ini. Tapi usahanya tetap tidak membawa hasil yang menggembirakan. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa kembali ke Desa Weru. Dia tidak ingin bermalam di hutan yang cukup ganas ini. Sedangkan Intan Kemuning masih terus mencari tanpa mengenal lelah. Mereka akan saling memberi tahu jika menemukan tempat persembunyian orang-orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempas kan tubuhnya di bangku begitu berada di dalam kedai Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai ini bergegas menghampiri sambil membawa seguci arak manis. Rangga langsung meneguknya, membasahi tenggorokan yang terasa kering. Sedangkan Ki Jantar duduk di depannya. Hanya sebuah meja yang menghalangi mereka.
"Lihat peramal tua itu, Ki?" tanya Rangga seraya meletakkan guci arak ke meja di depannya.
"Tadi dia ada di sini, lalu pergi lagi," sahut Ki Jantar.
"Ke mana perginya?" tanya Rangga.
"Tidak tahu, Den. Tidak ada yang tahu tempat tinggalnya. Dia seperti hidup di atas pohon saja," sahut Ki Jantar.
Rangga mendesah panjang. Memang tidak mudah untuk mencari seseorang yang begitu tertutup. Apalagi semua orang di desa ini tidak tahu pasti asal-usulnya. Bahkan tidak ada yang tahu, di mana tempat tinggalnya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Ki Jantar yang kelihatannya murung. Tidak seperti biasanya laki-laki tua pemilik kedai ini begitu murung.
"Ada persoalan, Ki?" tanya Rangga memperhatikan kemurungan pemilik kedai itu.
"Dia meramalkan kematianku," sahut Ki Jantar lesu.
"Jangan percaya, Ki," tegas Ranggga.
"Bagaimana tidak percaya, Den. Sudah banyak buktinya kalau ramalannya selalu menjadi kenyataan," ada nada keluhan pada suara Ki Jantar.
"Hal itu tidak akan terjadi, Ki. Percayalah padaku. Dia itu hanya penipu. Tidak ada orang yang bisa mengetahui datangnya kematian," Rangga meyakinkan Ki Jantar.
"Malam nanti katanya aku akan mati, Den," kata Ki Jantar lirih.
"Percayalah, Ki. Aku akan menjagamu sepanjang malam. Tidak ada yang bisa meramalkan kematianmu. Itu hanya kebohongan saja, Ki," Rangga terus meyakinkan Ki Jantar yang sudah kehilangan semangat hidupnya lagi.
"Den Rangga bisa menjamin kalau aku masih bisa tetap hidup?"
"Tidak, Ki. Aku tidak bisa mengatakan itu. Hidup dan mati seseorang bukan manusia yang menentukan. Tapi Hyang Widi-lah yang menciptakan seluruh mayapada ini. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan datangnya ajal. Ki Jantar harus yakin itu. Jangan percaya pada ramalan kosong. Percayalah, Ki. Si Peramal Maut itu hanya omong kosong saja," Rangga terus memompa semangat Ki Jantar yang sudah rapuh.
Pada saat itu Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi masuk ke dalam kedai ini. Mereka tampak heran, karena kedai ini sepi sekali. Tak ada satu pun pengunjung yang datang. Bahkan pintu dan jendela nya tertutup rapat. Mereka menghampiri Rangga yang duduk satu meja dengan Ki Jantar, lalu menarik kursi masing-masing dan duduk melingkari meja.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya memandangi Rangga dan Ki Jantar bergantian.
"Ini..., Ki Jantar dapat ramalan," sahut Rangga.
"Kurang ajar...!" desis Pandan Wangi, geram.
"Ini tidak bisa didiamkan terus, Kakang. Jelas kalau peramal tua itu punya maksud tertentu," sambung Cempaka.
"Coba Ki Jantar melihat kejadian yang dialami Pandan Wangi. Bukan secara kebetulan Pandan Wangi diserang malam itu. Semua itu sudah diatur si Peramal Maut," jelas Rangga, memberi contoh pada peristiwa yang menimpa si Kipas Maut setelah mendapat ramalan kematiannya.
"Iya, Ki. Jangan percaya pada ramalan kosong itu. Buktinya Kak Pandan masih tetap hidup," selak Cempaka.
"Apakah aku bisa selamat nanti?" tanya Ki Jantar tidak yakin.
"Pasti, Ki," sahut Cempaka cepat.
"Kalian akan membantuku melawan ramalan itu?" ujar Ki Jantar berharap.
"Tanpa diminta pun, kami akan melawan, Ki," sahut Cempaka lagi.
"Terima kasih. Tapi kalaupun aku tetap mati, kuharap kematianku bukan karena ramalan maut itu."
"Jangan khawatir, Ki," Cempaka memberi keyakinan.
"Kapan ramalan itu datangnya, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.
"Tadi," sahut Ki Jantar mulai agak tenang.
"Waktunya?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Nanti malam."
"Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini," tegas Cempaka penuh semangat.
"Benar, Kakang. Malam nanti sebaiknya kita tidak tidur," sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja menyetujui usul kedua gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beranjak bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu kedai yang setengah tertutup.
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Cempaka, agak keras suaranya.
"Keluar sebentar. Kalian jangan ke mana-mana, dan tetap saja di kedai ini," sahut Rangga seraya berpesan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghilang di balik pintu kedai yang kembali tertutup. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka tetap duduk menemani Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai itu masih kelihatan murung, meskipun sudah agak tenang. Sementara Padmi sudah sibuk mempersiapkan makanan. Memang tidak ada orang lain di kedai ini. Ki Jantar sudah menutup kedainya begitu mendapat ramalan maut. Bahkan dia juga memberhentikan para pembantunya.

46. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Peramal TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang