Dengan latar belakang jemuran milik para santri putri yang melambai-lambai ditiup angin sore, tanganku dengan lancar menggoreskan pena di atas kertas yang kini sudah penuh dengan coretan, sesekali mulutku komat-kamit menyuarakan isi kepalaku yang kemudian langsung tertuang ke dalam tulisan.
Entah sudah berapa lama aku duduk di atas batu di belakang asrama putri hingga pantatku rasanya kebas. Namun, keasyikanku dalam menuangkan imajinasi membuatku tak begitu mengabaikannya.
Ah, hampir lupa. Perkenalkan namaku Nabila, tapi bukan Nabila Syakiep meski kecantikan kami sebelas dua belas. Alih-alih cantik, orang-orang lebih suka menyebutku imut, sebutan lain dari cebol yang lebih sopan. Dengan tinggi yang tak sampai 150 cm sangat wajar mereka menyebutku imut.
Konsentrasiku menulis langsung buyar begitu terdengar suara melengking khas Nafisya yang berkali-kali menjeritkan namaku tepat di balik punggungku, hanya saja terhalang jemuran.“Bilaaa, oii, Bila! Di mana kamu?!”
Aku merengut kesal, gendang telingaku nyaris pecah mendengar teriakannya. Nafisya sahabat yang baik, tapi terkadang ia bisa sangat menyebalkan ketika mengeluarkan suara cemprengnya yang sudah mirip suara Nenek lampir.
“Tidak usah teriak-teriak, aku belum budhek!” Sungutku sebal. Dan, ia muncul dari balik jemuran tepat di belakang tubuhku sambil menenteng beberapa buku.
“Masya Allah, Bil. Dari tadi kucari-cari malah ngumpet di sini. Pasti nulis lagi,” tebakannya sangat tepat. Ia memang satu-satunya orang yang tahu kalau aku sangat suka menulis.
“Besok hari Jumat, makanya aku kebut sekarang biar sampai rumah tinggal ngetik aja tidak perlu mikir.” Jawabku sembari kembali menekuri buku dalam pangkuanku.
Sudah dua tahun aku sangat rajin menulis cerita di wattpad, salah satu platform menulis yang cukup populer. Namun, aku bukan penulis terkenal dengan jumlah pengikut mencapai ribuan. Terbukti dari karyaku di sana yang sudah cukup banyak, tetapi hanya memiliki segelintir pembaca. Nafisya merupakan salah satu dari dua pembaca setiaku yang tiada bosen ‘nyampah’ di kolom komentar setiap aku memperbarui ceritaku. Sementara yang satunya lagi tidak kukenal, tetapi ia jauh lebih aktif daripada Nafisya. Ia selalu menanyakan update-an ceritaku setiap kali hari Jumat aku belum muncul juga, ia seperti sudah sangat paham kalau aku gentayangan di jagat wattpad hanya pada hari Jumat.
Jumat merupakan hari libur di pesantren Al Hikmah, tempatku belajar saat ini. Dan, kesempatan tersebut kugunakan untuk pulang ke rumah yang berjarak tidak lebih dari dua kilometer dari pesantren.
Karya-karyaku lebih banyak berkisah tentang kehidupan seorang santri, dan tentu saja aku sangat menikmatinya karena memang tak jauh dari kehidupanku sendiri. Aku tak pernah bosan mengisahkan kehidupan para santri, terlebih jika ada kisah cinta antara santri dengan Gus-nya yang tampan dan menjadi banyak idola santri putri.
Namun, sudah terlalu banyak karyaku yang berkisah demikian. Karena itu, kali ini aku membuatnya sedikit beda. Dengan menjadikan Gus Zakaria—putra Kyai Abdullah, pengasuh pesantren Al Hikmah—sebagai tokoh utama, tanpa bermaksud sedikit pun untuk menyamarkan namanya. Dalam ceritaku, aku menggambarkan sosok Gus Zaka sama persis dengan kenyataan aslinya.
Kalau kamu membayangkan Gus Zaka merupakan sosok laki-laki tampan, ramah, dan menyenangkan, maka kamu salah besar. Bagiku, dia sangat menakutkan. Auranya suram dengan jambang lebat yang selalu ikut bergerak-gerak seram setiap kali memarahi santri yang tidak lancar hapalan, rambutnya gondong dan selalu dikucir menggunakan karet gelang, sementara mata tajamnya akan semakin berkilat saat sedang menghukum santri yang tidak disiplin. Tidak memperhatikannya ketika ia tengah mengajar, maka siap-siap berdiri di depan kelas dengan satu kaki hingga pelajaran usai.
Beruntung aku tidak pernah berurusan dengannya.Selama setahun menjadi santri di Al Hikmah, belum pernah sekalipun aku kena amarahnya. Hapalanku selalu lancar, bukan karena aku santri yang pintar dan rajin, tetapi karena aku berusaha sangat keras khusus untuk mata pelajaran yang diajar Gus Zaka, cari aman supaya terhindar dari kegalakannya.
Di rumah aku tergolong anak nakal, susah diatur, dan suka seenaknya. Berantem dengan kedua Kakak laki-lakiku menjadi kewajiban setiap bertemu, membuat Umi selalu mengelus dada. Namun, bukan berarti aku juga bersikap demikian di pesantren. Sifat bandel dan kekeraskepalaanku hanya berlaku di rumah, meski sebenarnya nyantri merupakan sebuah keterpaksaan karena aturan dari Abi yang mewajibkan seluruh anak-anaknya masuk pesantren. Kedua Kakakku malah setamat SD sudah mulai masuk pesantren, aku pengecualian karena kembali lagi aku adalah anak yang susah diatur. Abi sudah cukup bersyukur ketika akhirnya aku berhasil dipaksa masuk pesantren meski tidak seawal kedua putranya.
“Masya Allah, Bil, kamu lupa atau sengaja bolos tidak ikut kelasnya Gus Zaka?”
Aku mengangkat kepala dengan cepat, kulirik jam di pergelangan tanganku dan tiba-tiba kedua tanganku terasa dingin. Keasyikan menulis hingga aku tidak sadar sudah pukul 15.02, itu artinya aku sudah terlambat dua menit. Dengan tergesa kukemasi alat-alat tulisku dan bangkit, lalu berlari secepat kilat menuju kelasku mengabaikan teriakan Nafisya di belakang punggungku.
Sepertinya usahaku untuk menghindari kemarahan Gus Zaka akan berakhir sampai di sini. Aku terus berlari. Dari tempatku, kulihat Gus Zaka tengah berjalan menuju kelas. Tak peduli napasku yang sudah nyaris putus, aku berlari semakin cepat. Aku harus mendahului Gus Zaka masuk ke dalam kelas jika ingin selamat dari amukannya. Pria itu sangat tidak menyukai keterlambatan.
BRUK!
Semua benda yang kupegang jatuh dan berhamburan di atas lantai tepat di depan pintu kelasku. Kami tiba di depan pintu bersamaan dan aku menabraknya. Aku merasa pias, pasti wajahku sudah sepucat kertas. Buru-buru aku berjongkok memunguti buku dan alat-alat tulisku yang berserakan di atas lantai dengan tangan gemetar. Sebuah kesalahan aku menengadah dan tatapanku menabrak sosok tegap menjulang tinggi di atasku, pandanganku rasanya berkunang-kunang ketika beradu pandang dengan netra sekelam malam yang menatapku dengan sorot setajam pisau itu.
“Kamu terlambat,”
Suaranya dalam, tajam, dan membuat bulu kudukku meremang. Ya Tuhan, aku ingin pingsan saja.
Tamat riwayatmu, Nabila, batinku diliputi ketegangan luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...