Aktifitasku setiap hari Jumat selain bersantai di rumah sambil memperbarui cerita di wattpad, aku juga mengunjungi Mbah Aminah—Ibu mertua Kyai Abdullah, atau Neneknya Gus Zaka. Mbah Minah, begitu aku memanggilnya memang lebih memilih tinggal sendirian di rumahnya yang terletak tepat di depan rumahku.
Sejak kecil aku selalu bermain ke rumahnya, beliau sangat baik padaku meski aku kecil suka sekali mencuri mangga dan rambutan yang tumbuh di halaman rumahnya. Setiap aku bermain, aku pasti akan langsung menaiki dua pohon tersebut dan ‘merampok’ buahnya yang ranum. Biasanya Umi yang akan teriak-teriak mengomeliku, sedangkan Mbah Minah justru tersenyum dan membiarkannya saja tanpa berniat menegurnya.
Kenakalan tersebut berlangsung hingga aku berusia sebelas tahun. Terakhir kali aku melakukannya adalah saat aksiku ketahuan Gus Zaka. Waktu itu aku tengah asyik makan buah rambutan di atas pohonnya, tiba-tiba Gus Zaka muncul dan memintaku untuk turun sambil mengacungkan galah padaku. Jambang lebatnya bergerak-gerak dengan mata melotot membuatku ketakutan setengah mati hingga tanpa sadar aku menginjak ranting rapuh, tubuhku langsung melayang dan terjun ke atas tanah.
Jatuh dari pohon dengan ketinggian yang cukup tinggi, membuatku mengalami patah tulang. Waktu itu Gus Zaka yang menggendongku ke rumah dan disambut kepanikan Umi serta Abi saat mendengar tangisanku. Sejak saat itu aku begitu takut padanya, setiap ia datang ke rumahku mencari Mas Fahri—Kakak sulungku—aku selalu bersembunyi, tidak berani keluar sebelum Gus Zaka pergi.
Kejadian memalukan itu masih membekas hingga sekarang, membuatku tidak berani menatapnya meski hanya berjarak beberapa meter dariku dan selalu menghindari berurusan dengannya. Namun, kemarin mau tak mau akhirnya untuk pertama kalinya aku berurusan dengannya. Gara-gara telat dua menit, aku dihukum berdiri di depan kelas dengan satu kaki terangkat hingga pelajaran usai. Sambil mengajar, tatapan tajamnya tak pernah lepas mengawasiku yang sudah kebas dan nyaris jatuh tersungkur.
Bisa dibayangkan betapa malunya aku berdiri di depan kelas di bawah tatapan teman-temanku yang memandangku dengan berbagai macam ekspresi, ada yang kasihan, geli, hingga tatapan mengejek. Sialnya lagi aku sendirian, sahabatku Nafisya lebih memilih bolos begitu tahu sudah terlambat.
“Bilaa, Bil, mau kemana?” jenis teriakan cempreng yang sudah sangat kuhapal langsung menyerbu pendengaranku begitu aku keluar dari rumah. Kulihat Nafisya juga baru saja keluar dari rumahnya yang terletak di samping rumahku. Sambil cengengesan ia berjalan menghampiriku.
“Mau apa? menertawakanku lagi!” Sungutku dongkol. Dan, benar saja Nafisya langsung ngakak setelahnya. Rasanya kekesalanku pada Nafisya belum juga mereda sejak kemarin aku ditertawakannya habis-habisan.
Tawa Nafisya semakin berderai, “Salah sendiri kamu main nyelonong aja. Aku nyariin kamu sebenarnya untuk memperingatkan agar tidak perlu mengikuti kelas Gus Zaka,” aku mendengus sebagai jawaban. Memang benar Nafisya tidak bersalah, tapi tetap saja kesal sahabatku tertawa bahagia di atas penderitaanku tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Ngomong-ngomong, kapan update cerita nih? Dari tadi aku pantengin wattpad gak muncul-muncul.” Lanjutnya sambil menimang ponsel.
“Sebentar lagi, belum aku cek ulang. Ini lagi disuruh Umi nganterin kue untuk Mbah Minah,” ujarku sambil menunjukkan bungkusan plastik putih di tanganku.
“Ya sudah, aku tungguin jangan kelamaan. Udah gak sabar menanti Gus Zaka menghukum salah satu santrinya.” Cetusnya usil, sontak aku menaboknya gemas. Nafisya langsung mengaduh, setelah itu ia buru-buru kabur kembali masuk ke dalam rumahnya sambil cekikikan. Aku memutar bola mata kesal dan melanjutkan langkah menuju rumah Mbah Minah.
Perasaanku langsung tidak enak begitu melihat sebuah motor sport warna hitam doff terparkir di halaman. Rasanya aku ingin membalikkan badan dan kembali ke rumah, tetapi kakiku berhianat dengan terus melangkah mendekati pintu lalu mengetuknya pelan sambil mengucapkan salam.
Tanpa menunggu lama, pintu terbuka menampilkan sosok yang paling ingin kuhindari. Gus Zaka berdiri menjulang di depanku.Tinggiku yang hanya sebatas dadanya membuatku merasa seperti kurcaci berhadapan dengan raksasa jahat, aku sampai harus menengadah untuk menatapnya.
Netra gelap itu masih sama menatapku dengan tajam seperti saat ia memberiku hukuman untuk berdiri di depan kelas. Diam-diam aku meremas ujung bajuku dengan resah. Ah, mengapa harus bertemu dengannya di sini sih. Tak kuasa berlama-lama membalas tatapan tajam itu, aku buru-buru membuang muka dan menunduk. Sikapku yang seperti ini membuatku teringat masa kecilku saat ketahuan mencuri rambutan olehnya.
Aku berdeham pelan untuk membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering, sebelum berucap pelan tanpa berani menatapnya, “Mbah Minahnya ada, Gus?” sial, aku bahkan dapat merasakan suaraku bergetar.
“Ada,” suaranya berat dan dalam, tapi setidaknya tidak tajam seperti kemarin. Keresahanku sedikit berkurang.
“Siapa, Gus?” tanya Mbah Minah muncul dari dalam, “Oh, Bila ternyata. Sini masuk, Nduk.” Pintanya begitu melihatku.
Gus Zaka menggeser tubuhnya memberiku jalan. Sambil menunduk aku berjalan melewatinya. Mbah Minah mengajakku duduk di sampingnya di ruang tamu, disusul Gus Zaka yang ikut duduk di seberang kami.
“Tumben sekali jam segini baru datang, dari tadi Mbah sudah menunggu. Mbah Minah baru saja meminta Gus Zaka untuk datang ke tempatmu, ternyata kamunya sudah datang duluan,” aku menggigit bibir dalamku untuk menahan ringisan. Kalau sampai hal itu terjadi, percayalah aku pasti akan bersembunyi dan tidak mau menemuinya. “Mangga di halaman sudah banyak yang masak, sudah ditawar mau dibeli borongan tapi tidak Mbah kasihkan. Mbah ingat kamu hari ini pulang, mau Mbah kasih semua untuk kamu saja biar dipetik sendiri. Kamu, kan suka sekali makan buah dari pohonnya.” Kali ini aku tidak dapat menahan ringisan. Mbah Minah jelas tidak pernah melupakan tingkahku semasa kecil. Rasanya malu diingatkan seperti itu di depan Gus Zaka yang memperhatikan interaksi kami dari tempatnya.
“Bila, kan sekarang sudah tidak naik-naik ke pohon lagi, Mbah.” Ucapku pelan.
Mbah Minah terkekeh pelan, “Ah, benar. Rasanya baru kemarin kamu masih suka naik ke atas pohon sampai patah tulang gara-gara jatuh, tiba-tiba sudah tumbuh besar dan cantik sekali sampai dijadikan rebutan banyak laki-laki. Mana sekarang sudah punya calon suami pula, sebentar lagi akan menikah.”
“Eh?” aku menatap Mbah Minah dengan bingung, tidak mengerti dengan ucapannya. Calon suami katanya? Aku bahkan belum pernah merasakan rasanya deg-degan dilamar seorang laki-laki seperti dalam cerita-cerita wattpad yang biasa kubaca, masak tiba-tiba sudah punya calon suami. Didekati satu laki-laki saja belum pernah, apa lagi dijadikan rebutan banyak laki-laki. Mbah Minah pintar sekali kalau mengarang, besok-besok sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk menggandengnya menjadi partner nulisku kalau aku membuat cerita baru. Siapa tahu bisa dapat banyak ide-ide menarik darinya.
“Ehm!” Tiba-tiba Gus Zaka berdeham keras, menginterupsi pembicaraanku dengan Mbah Minah. “Mbah, sepertinya saya harus segera kembali. Abah meminta saya untuk menggantikannya mengisi pengajian di kampung sebelah.” Pamitnya seraya bangkit dari tempat duduk. Setelah mencium tangan Mbah Minah, Gus Zaka berjalan keluar.
Tak mau ketinggalan, aku juga ikut bangkit. “Bila juga cuma mampir sebentar, Mbah, mengantar ini dari Umi.”
“Kok buru-buru sekali. Tidak main dulu sebentar.”
Aku tersenyum minta maaf, “Bila masih harus mengerjakan sesuatu di rumah, Mbah. Bila janji lain kali bakal main lagi.” Kataku sambil meraih tangan Mbah Minah dan menciumnya. “Nanti mangganya biar Mas Fahri saja yang metik, ya Mbah.”
“Ya sudah, sampaikan terima kasih pada Umi, ya.” Aku mengangguk dan segera berlalu.
Begitu kakiku keluar dari ruang tamu, aku melihat Gus Zaka tengah menyertater motornya. Di mataku penampilan Gus Zaka lebih terlihat seperti mafia-mafia jahat dalam novel-novel wattpad, jauh dari kesan seorang Gus yang sangat disegani di pesantrennya.
Pandangan kami saling bertabrakan, dan kulihat sudut bibirnya yang selalu terkatup rapat itu kini sedikit tertarik membentuk garis senyuman tipis, sangat tipis hingga terlihat begitu samar. Mata tajamnya yang masih menatapku juga tampak lebih lembut, tidak tajam seperti biasanya. Sejenak aku tertegun, bagaimana bisa sebuah senyuman yang teramat tipis mampu membuat seseorang yang tampak menakutkan, tiba-tiba berubah menjadi sangat tampan.
Hanya sesaat aku melihat pemandangan langka tersebut sebelum akhirnya Gus Zaka melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Mbah Minah. Hanya dengan melihat senyuman tipisnya, entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...