PART 7

9.9K 619 7
                                    


Sore itu setelah kelas bubar, aku benar-benar menghadap Gus Zaka. Ia menggiringku ke dalam ruangannya yang dipenuhi buku-buku pada rak yang menggantung di dinding. Ruangan ini sangat luas dan menyatu dengan ruang keluarga, hanya saja dibatasi sebuah rak buku super besar yang terisi penuh berbagai macam kitab.

Kami duduk saling berhadapan, hanya dibatasi meja kayu besar yang berisi sebuah laptop dan tumpukan berkas-berkas di atasnya. Sesekali ia menggerakkan tubuhnya hingga kursi putarnya ikut bergoyang-goyang.

Gus Zaka menimang buku tebal bersampul hitam milikku dan memperhatikannya dengan seksama. Aku meliriknya waswas, dalam hati berdoa semoga ia tidak membacanya. Karena di dalam sana isinya tidak lain adalah cerita wattpad yang mengisahkan dirinya, kalau sampai dibuka dan dibacanya maka aku akan ketahuan menulis hal buruk tentangnya.

“Bolehkan saya mengambil buku saya?” tanyaku memberanikan diri mengangkat kepala dan menatapnya. Aku benar-benar tidak ingin ia membaca tulisan-tulisanku tentangnya.

Tidak langsung menjawab, Gus Zaka justru menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi putarnya, matanya balas menatapku lurus. Aku menahan diri untuk tidak gentar meski kedua tanganku sudah terasa dingin mendapat tatapan tajamnya.

“Boleh,” mataku langsung berbinar mendengar jawabannya, tetapi hanya sedetik. Sebelum kalimat berikutnya memudarkan binar mataku, “Setelah kamu menyelesaikan hukumanmu.”

Aku kembali menunduk. Jangan pernah berharap bisa lepas dari Gus Zaka dengan mudah, laki-laki ini di kalangan santri sudah terkenal suka sekali memberi hukuman.

“Apa yang sedang kalian lakukan di dalam hanya berdua saja?” tanpa kami sadari Nyai Faizah berdiri di ambang pintu yang sengaja dibuka lebar sejak kami masuk.

“Sedang memutuskan hukuman apa yang pantas untuk bocah kecil ini, Umi.” Alih-alih khawatir kena tegur dari Ibunya, Gus Zaka justru menjawabnya dengan santai. Nyai Faizah terkekeh pelan, namun tidak denganku. Mendengar kata hukuman dari mulutnya serasa mendengar cerita hantu yang menakutkan. Bulu kudukku seketika meremang.

“Jangan terlalu keras padanya, Gus.” Bela Nyai Faizah sambil menyingkir keluar.

“Hukuman lagi, hukuman lagi. Dasar modus!” Cetus Ning Maisa tahu-tahu menyelinap masuk sambil menggendong Faisal yang tengah merajuk. “Sana ikut Paman Zaka, biar gak berduaan saja.” Lanjutnya seraya menyorongkan tubuh putranya pada Gus Zaka. Faisal merajuk tidak mau.

“Upin-Ipin, Bunda,” rajuknya memeluk erat sang Bunda.

“Iya, nonton Upin-Ipin pakai laptopnya Paman Zaka.” Mendengar hal tersebut, Faisal langsung mengulurkan tangannya pada Gus Zaka, laki-laki itu menangkap tubuh sang keponakan dan mendudukkannya di pangkuan.

“Lapor Bunda kalau Paman Zaka macam-macam sama Kak Bila,” Ning Maisa mengedipkan sebelah mata pada Gus Zaka sambil tersenyum penuh arti. “Bunda sama Mbah Uty mengawasi dari luar.” Lanjutnya sebelum beranjak keluar.

Sepeninggalan Ning Maisa, Gus Zaka kembali menatapku. Aku menahan napas mennati kalimat yang akan muncul dari mulutnya.

“Jadi, Nabila, sebagai hukuman kamu harus bersihkan seluruh buku di ruangan ini yang berdebu. Setelah itu kamu boleh mengambil bukumu,”

Tanpa sadar mataku berkeliling mengawasi rak-rak besar yang menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit ruangan tersebut. Aku menghembuskan napas yang sejak tadi kutahan. Kejam sekali Gus Zaka menyuruhku membersihkan semua buku yang totalnya mencapai ribuan tersebut, keluhku dalam hati. Ini sih tidak akan selesai meski dikerjakan selama dua hari.

“Kamu keberatan?” tanyanya saat melihatku hanya terdiam beberapa saat. Aku buru-buru menggeleng. Demi buku berisikan ‘aib’ Gus Zaka yang kutulis, aku rela mengerjakannya. “Bagus, ambil kemoceng di belakang pintu dan mulai kerjakan.” Perintahnya dengan tenang. Aku bangkit dan mulai mengerjakan perintahnya.

Selama aku melakukan pekerjaanku, ia diam di tempatnya sambil memangku Faisal yang tengah asyik menonton kartun favoritnya. Aku berusaha secepat mungkin menyelesaikan pekerjaanku, tetapi tinggi badanku yang minimalis membuatku kesulitan menjangkau rak-rak bagian atas meski sudah berjinjit hingga batas maksimal.

Sambil berjinjit, kutarik sebuah buku tebal dan hampir saja menjatuhkan buku-buku lainnya kalau saja Gus Zaka tidak menahannya. Aku tidak tahu sejak kapan ia berdiri di belakangku dengan posisi yang begitu dekat hingga aku dapat mencium aroma wangi khasnya yang menguar dari tubuhnya.

“Bukan begitu caranya, Nabila Salwa,” bisikan lirih tersebut terasa sangat dekat dengan telingaku.

Rafleksku adalah membalik badan, dan nyaris menabraknya kalau saja aku tidak buru-buru mundur hingga punggungku menabrak rak di belakangku. Jantungku berdetak kencang menyadari posisi kami yang begitu dekat. Aku menunduk dalam, berharap ia segera menyingkir dari hadapanku, atau paling tidak mundur selangkah saja agar aku punya sedikit ruang untuk bergeser.

“Apakah saya terlihat begitu menakutkan, Nabila?” suaranya lirihnya terdengar sangat lembut, rasa-rasanya aku sampai tidak mempercayai pendengaranku sendiri.

Aku tidak menjawabnya. Masih tidak berani mengangkat kepala, tanganku memainkan pegangan kemoceng, berharap kegugupanku sedikit berkurang. Melihatku tak bereaksi, Gus Zaka mendesah panjang.

“Kamu ingin bukumu kembali, kan?” tidak, aku tidak salah dengar. Suara Gus Zaka memang sangat lembut, jauh dari yang biasa kudengar saat mengajar di kelas apa lagi ketika marah. Aku cepat-cepat mengangguk sebagai jawaban.

“Kalau begitu angkat kepalamu dan tatap mata saya saat saya sedang mengajakmu bicara,” tubuhku semakin kaku. Bagaimana bisa aku menatap matanya, sementara melihat wajahnya saja aku sudah gemetaran?

“Ehm! Paman Zaka!” suara Ning Maisa dari balik rak terdengar penuh peringatan. Jelas Ning Maisa mendengar ucapan Gus Zaka. Laki-laki itu langsung menghembuskan napas kasar dan bergerak menjauh.

“Kamu boleh kembali, pekerjaannya tidak perlu diselesaikan. Untuk sementara bukumu saya tahan sampai kamu berani menatap saya.” Ada nada sedih dalam suaranya, tapi aku tidak tahu untuk apa.

Sekarang aku menyesal mengatakannya dalam hati bahwa ia begitu jahat menghukumku untuk membersihkan ribuan buku di ruangannya. Kalau boleh memilih, akan lebih baik jika aku dihukum seperti tadi daripada harus menatapnya.

Mungkin Nafisya benar, aku belum move on atas kejadian jatuh dari pohon rambutan yang menjadi awal mula ketakutanku akan sosok Gus Zaka.

Dengan perlahan, kulangkahkan kakiku keluar dari ruangannya, meninggalkan Gus Zaka yang menatap punggungku dengan pandangan sendu.

Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang