Menyembunyikan diri di balik jemuran milik para santri di belakang asrama putri, jeda waktuku dari aktifitas pesantren kumanfaatkan untuk mengisi lembaran kertas di tanganku. Namun, sudah setengah jam kertas tersebut hanya berisi coretan-coretan tidak penting.
Aku menghela napas panjang. Konsentrasiku terpecah, pikiranku masih tertinggal di teras ndalem setelah berbicara dengan Umi. Aku tidak tahu harus berbahagia atau bersedih.
Di satu sisi aku bahagia, tuduhan teman-temanku yang mengatakan aku hanya mengaku-ngaku sudah dilamar Gus Zaka tidaklah benar, karena pada kenyataannya memang Abi sudah resmi menerima lamarannya bahkan boleh dikatakan di saat aku masih bocah, tepat kejadiannya tak lama setelah insiden jatuh dari pohon rambutan yang membuatku patah tulang.
Namun, di sisi lain hatiku gamang. Dari sekian banyaknya laki-laki di dunia ini, mengapa harus Gus Zaka? Dia laki-laki yang paling kutakuti, aku bahkan masih tetap gemeteran setiap bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku akan menikah dalam waktu dekat dengan seseorang yang selalu membuatku takut?
Sekarang, aku mengerti maksud ucapan absurd Mas Fahri semalam. Rupanya seluruh keluargaku sudah tahu dan sengaja menyembunyikannya dariku selama bertahun-tahun. Bagaimana bisa mereka melakukan hal ini padaku, aku mengusap wajahku lelah.“Bilaa, Biil!” Lagi, suara cempreng Nafisya berteriak-teriak memanggilku dari kejauhan. Aku menengadah, kulihat ia berlari-lari ke arahku sambil membawa beberapa buku di tangannya.
“Nulis lagi,” cetusnya begitu mendekat, “Kamu sedang tidak lupa, kan kalau sore ini kelasnya Gus Zaka?” aku mengangguk lesu.
“Ya udah, kalau gitu buruan nanti telat lagi seperti kemarin.” Aku menggeleng tidak semangat. Nafisya buru-buru berjongkok di depanku. “Bila, jangan memikirkan omongan teman-teman, cuekin aja orang kenyatannya tidak benar. Kalau kamu bolos, teman-teman jadi akan semakin menganggapmu bersalah.”
Aku menatap Nafisya sendu, “Bagaimana jika ternyata hal itu memang benar, Sya?”
“Maksudmu?”
“Yang dikatakan Utari memang benar. Keluarganya datang melamarku, tapi Abi menolaknya dengan alasan seperti itu.”
“A—apa?! jadi kamu beneran menjadikan Gus Zaka sebagai alasan?” aku mengangguk. “Ya Tuhan, Bilaaa! Kamu tahu nggak sih, itu—itu—Ya Tuhan,” Nafisya tak mampu menyelesaikan kalimatnya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
“Gus Zaka memang sudah melamarku, tanpa sepengetahuanku,”
“Dan, kamu menjadikannya ala—tunggu dulu, melamarmu?” Nafisya masih berusaha mencerna ucapanku, kemudian ia menjerit histeris sambil mengguncang bahuku. Aku meringis. “Kamu dilamarnya tanpa sepengetahuanmu?!”
“Sya, apaan sih kamu!” protesku ketika guncangannya semakin keras.
“Kamu beneran dilamar sama Gus Zaka! Ya ampun, Bila! Teman-teman harus tahu supaya kamu tidak terus-terusan dapat tatapan sinis—“
“Tidak,” potongku cepat. Nafisya menatapku penuh tanda tanya.
“Eh, mengapa tidak? Ini bisa mengembalikan nama baikmu lho,”
Aku menggeleng tidak mau, “Berjanjilan untuk tidak mengatakannya pada siapapun?” pintaku serius.
“Tapi, Bil,”
“Aku tidak ingin orang-orang tahu, apa lagi hatiku sedang meragu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku setelah mendengar kenyataan tersebut,”
“Bil, coba pikir deh, kurang apa Gus Zaka? Dia tampan, pintar, kaya, dan disukai banyak santri. Kamu hanya perlu memantapkan hatimu, dia laki-laki yang salih. Percayalah, kamu beruntung mampu memikat hatinya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...