Menempuh perjalanan dari pasar malam menuju pesantren Al Hikmah sebenarnya hanya perlu waktu tidak lebih dari lima menit, tapi bagiku perjalanan ini terasa begitu lama sekali. Berkali-kali aku bergerak di atas boncengan motor matic besar milik Mas Fahri, sesekali tanganku meremas koko putihnya dengan resah. Namun, Mas Fahri justru sepertinya sangat menikmati kepanikanku, ia mengendarai motor dengan begitu santai hingga membuatku tidak sabar.
“Mas, jalannya cepetan dikit dong. Jangan kayak keong begini.” Gerutuku sambil menepuk punggungnya gemas.
Ia sama sekali tidak menjawab, bibirnya justru mengeluarkan siulan gembira. Aku merengut di balik punggungnya sambil melipat kedua tangan ke dada, menolak berpegangan.
“Pegangannya jangan dilepas, nanti jatuh,” tegurnya santai.
“Mas Fahri nyebelin, ih!” Seruku kesal.
“Kenapa sih, kayaknya takut bangt sama hukuman Gus Zaka. Dia tidak semenyeramkan yang kamu pikir, Bibil.”
“Gak menyeramkan gimana, orang Bila telat dua menit aja langsung disuruh berdiri di depan kelas pakai satu kaki sampai pelajaran selesai. Semua santri aja pada takut sama dia,”
“Niatnya, kan baik untuk mendisiplinkan para santrinya.”
“Tetep aja serem. Lihat jambangnya yang gerak-gerak kalau lagi marah sama pelototan matanya, Masya Allah rasanya Bila pengen pingsan.” Tawa Mas Fahri menyembur keluar.
“Jambang laki-laki itu keren, Bibil. Malah ada yang menganggapnya seksi, tidak perlu ditakuti,” ujarnya geli.
Aku mendengus tak terima, “Keren apanya, orang menakutkan gitu kok dibilang keren.” Bantahku tepat saat motor berhenti di depan gerbang pintu masuk pesantren.
“Suatu saat kamu akan menganggapnya keren, apa lagi nanti kalau sudah boleh menyentuhnya, kamu akan merasa menjadi gadis yang paling beruntung,” tawanya semakin berderai, aku mengerutkan kening mendengar kalimat terakhirnya.
“Maksud Mas fahri?” Dan, tawanya lenyap seketika.
“Eh, anu—sudah sampai, lekas turun.” Mas Fahri tampak gelagapan. Aku langsung turun dari boncengan dan menatapnya dengan curiga, Mas Fahri menghindar tak mau balas menatapku. Kerutan di keningku semakin dalam.
Saat itulah sebuah suara memanggil nama Kakakku, kami menoleh bersamaan. Kudapati seorang laki-laki yang kutahu merupakan Kakaknya Utari—salah satu temanku di pesantren—tengah berjalan menghampiri kami.
Namun, matanya tak sedikit pun lepas menatapku dengan pandangan berkilat. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan tatapannya yang seperti seekor elang tengah melihat mangsanya. Kedua tanganku tiba-tiba terasa dingin.
Masih dari atas motornya, Mas Fahri menepuk bahuku pelan dan berbisik, “Lekas masuk,” aku dapat menangkap ketegangan di wajah Mas Fahri yang sebelumnya tidak ada.
Tiba-tiba aku merasa khawatir. Apakah Mas Fahri ada masalah dengan laki-laki yang tengah berjalan semakin dekat tersebut?
“Tapi, Mas—“
“Jangan sampai Gus Zaka memberimu hukuman yang lebih berat. Kamu sudah sangat terlambat,” Mendengar nama Gus Zaka, seketika aku merasa ciut. Aku mengangguk dan buru-buru memasuki pintu gerbang. Sekilas kulihat Mas Fahri tengah berbincang serius dengan laki-laki tersebut.
Langkah kakiku semakin cepat begitu melewati ndalem Kyai Abdullah. Namun, sebuah motor datang dari arah berlawanan dan lampunya menyilaukan mataku, aku menutup mataku dengan kedua tangan.
“Nabila,”
Deg.
Suara seseorang yang sangat kutakuti itu memanggil namaku dengan lengkap. Tidak hanya Bila seperti orang-orang memanggilku, melainkan Nabila. Hanya ia satu-satunya orang yang memanggilku begitu lengkap. Aku membuka kedua tanganku, ia menghentikan motornya tepat di depan tempatku berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...