Dimusuhi teman-teman secara tiba-tiba membuatku kehilangan keceriaan, semalaman aku bahkan tidak dapat berhenti menangis hingga membuat semua teman sekamarku kebingunan. Nafisya satu-satunya yang percaya padaku, ia tiada henti menghiburku dan membujukku untuk berhenti menangis.
Pagi-pagi bangun tidur wajahku sudah mirip seperti zombie, pucat dan tidak bercahaya. Gosip tentang aku yang mengaku-ngaku sudah dilamar oleh Gus Zaka menyebar dengan cepat, seluruh teman-temanku selalu mencibir setiap berpapasan denganku. Sama halnya ketika aku berada di kelas, semua teman-teman melirikku sinis sebelum membuang muka.
Nafisya menggenggam tanganku erat berusaha menguatkan. Aku menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak lagi menangis. Semalam air mataku sudah tumpah ruah hingga mataku sembab, seharusnya sudah kering dan tidak ada lagi yang ditumpahkan pagi ini. Aku memang cengeng, seperti yang selalu dibilang kedua Kakakku setiap mereka berhasil mengusiliku dan aku mengadu pada Umi sambil menangis.
Aku mencoba bersabar, Jumat depan saat pulang akan kutanyakannya langsung pada Abi. Ah, aku yakin sekali, seminggu ke depan pasti akan menjadi minggu terlama dalam hidupku.
Pukul 11.30 saat aku tengah membereskan meja belajarku, terdengar suara Mbak Hasna memanggilku.
“Bila, dipanggil sama Gus Zaka suruh menghadap Bu Nyai sekarang juga.” Aku langsung meletakkan beberapa kitab di tanganku, jantungku berdebar kencang.
Mungkinkah Gus Zaka dan Nyai Faizah sudah mendengar gosip yang beredar. Ya Tuhan, mau ditaruh di mana mukaku jika sampai hal itu terjadi. Namun, tiba-tiba aku ingat ucapan Gus Zaka semalam agar datang ke dapur ndalem untuk menjalani hukuman.
Seketika aku tersadar, aku terlambat. Harusnya aku datang menghadapnya tadi pagi seperti yang ia katakan semalam, tetapi pikiranku yang sedang ruwet membuatku melupakannya. Dalam hati aku berdoa, semoga Gus Zaka memanggilku untuk menghukumku. Seberat apapun aku rela menerimanya asalkan bukan untuk membahas tentang gosip yang beredar. Aku sungguh tidak sanggup lagi bertemu dengannya kalau sampai hal itu terjadi.
Dengan berat hati aku melangkah meninggalkan kamarku. Sepanjang jalan setiap berpapasan dengan para santri, mereka pasti akan melirikku tak suka. Beberapa yang membentuk gerombolan juga terang-terangan mengataiku dengan suara keras, sengaja agar aku mendengarnya.
“Dih sok cantik, ngarep banget kayak Gus Zaka mau aja sama dia,”
“Tapi emang cantik sih, pantes kalau jadi kembang desa.”
“Yang lebih cantik masih banyak! Sekelas Gus Zaka bisa dapetin yang lebih segalanya dari dia,”
Kasak-kusuk masih terus berdengung di belakangku, aku mencoba mengabaikannya meski hatiku rasanya sedih sekali mendengarnya. Mataku kembali memanas, tapi menolak air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mataku, sembab semalam belum hilang, aku tidak ingin menambahnya lagi.
“Bila, sini, Nduk. Dari tadi saya tungguin kok baru muncul,” Nyai Faizah melambaikan tangan memintaku masuk saat beliau melihatku di depan pintu. “Tolong bantuin Mbak Taslimah di dapur, ya. Kasihan dia sendirian.”
“Inggih, Bu Nyai,” jawabku seraya melangkahkan kaki masuk ke ndalem sambil mengucapkan salam. Nyai Faizah langsung memintaku untuk ke dapur.
Sesampainya di sana, kulihat Mbak Taslimah—khadimah keluarga ndalem tengah kerepotan mengerjakan banyak hal. Aku langsung menghampirinya dan menawarkan bantuan.
“Apa yang bisa Bila bantu, Mbak?”
“Oh, syukurlah, akhirnya. Sini, Bil, tolong kamu bikin sambal, setelah itu potong-potong kue, buah-buahannya juga ditata di atas piring.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...