Libur di pesantren Al Hikmah berlaku selama 24 jam dimulai dari hari Kamis pukul 17.00. Seluruh santri sudah harus kembali ke pesantren pada Jumat sorenya sebelum azan magrib dan mengikuti salat jamaah di pesantren, kemudian dilanjut dengan kegiatan lainnya hingga pukul 22.00.Kalau sampai ada santri yang terlambat, maka harus siap-siap mendapat takzir atau hukuman. Namun, aku memutuskan untuk terlambat hanya karena keinginanku untuk mengunjungi pasar malam di lapangan ujung desaku.
Pasar malam di desaku belum tentu digelar setahun sekali, karena itu aku rela mendapat takzir demi mengunjunginya. Takzirannya cuma disuruh hapalan, atau paling banter membersihkan kamar mandi di asrama putri.
Aku mengendap-endap berjalan ke kamar Mas Fahri supaya tidak ketahuan Abi. Umi masih bisa menolelir sikap bandelku ketika di rumah, tapi tidak dengan Abi. Kalau sampai ketahuan bolos, bisa-bisa aku dikirim ke pesantren yang sangat jauh agar tidak bisa keseringan pulang.
Sehabis magrib rumahku selalu ramai oleh para pemuda kampung yang ikut ngaji warahan dengan Abi, kesempatan tersebut kugunakan untuk keluar diam-diam dari kamarku.
Aku membuka pintu kamar Mas Fahri dan melongokkan kepala, kulihat Kakak sulungku itu tengah membaca sebuah buku, aku memanggilnya pelan. Ia menoleh dan kaget mendapati kepalaku melongok di antara celah pintu kamarnya sambil nyengir.“Kamu kok belum kembali ke pesantren?” tanyanya sembari menghampiriku dan melebarkan daun pintu.
“Sstt, jangan kenceng-kenceng nanti ketahuan Abi,” bisikku menempelkan telunjuk di bibir. “Bila memang sengaja terlambat.”
“Kok, gitu sih. Kena marah Abi lho kalau sampai ketahuan. Ayo, Mas antar sekarang.”
Aku menggeleng bandel, “Anterin ke pasar malem dulu, habis itu langsung ke pesantren.” Dan, berikutnya aku mengaduh kesakitan ketika ia melayangkan cubitan ke pipiku.
“Jadi, karena pasar malam sampai bela-belain bolos, eh?”
“Belum tentu setahun sekali—aduh, sakit,” aku kembali mengaduh. Mas Fahri kembali mencubitku.
“Dasar bocah bandel. Tidak ada pasar malam, kembali ke pesantren sekarang juga. Ayo!” Aku menahan tangannya yang sudah siap menyeretku, “Atau mau Mas adukan pada Abi?” ancamnya sok galak.
Aku langsung memasang wajah paling memelas dan mengeluarkan jurus andalanku, merengek. “Ayolah, sebentar saja. Bila pengen naik kora-kora sama bianglala, setelah itu janji langsung kembali ke pesantren deh.”
Dan, aku tahu jurus merengekku akan berhasil seratus persen jika berhadapan dengan Mas Fahri. Terbukti tak lama kemudian ia mendesah panjang.
“Bibil,” ia menyebutku dengan panggilan kesayangan. Aku tahu ia menyerah, dan aku bersorak dalam hati. Itulah mengapa aku sangat dekat dengannya melebihi kedekatanku dengan Mas Fahrul, Kakak ke dua yang kini tengah menyelesaikan kuliahnya di Jogja. Mas Fahri selalu memanjakan dan menuruti semua keinginanku, walau hal itu kadang-kadang membuatnya kena teguran dari Abi. Usia kami terpaut cukup jauh, tetapi sama sekali tidak menghalangi kedekatan kami.
“Ya sudah, ayo lewat belakang. Jangan sampai ketahuan Abi.”
“Nanti beliin martabak sama kacang rebus juga, ya,” pintaku yang langsung diiyakannya. Sambil berjingkrak-jingkrak bahagia, aku berjalan mengikuti langkah kaki Mas Fahri. Ia benar-benar membawaku ke pasar malam, berbaur dengan keramaian yang membuatku tak bisa menghentikan senyum sumpringah.
Sepanjang jalan, entah mengapa aku merasa banyak sekali mata yang memandangku. Sikap Mas Fahri juga berubah sangat posesif, ia menggandeng tanganku erat seolah tak mau aku lepas sedikit saja dan menjauh dari pengawasannya. Wajahnya yang terbiasa ramah juga jadi datar tak berekspresi, bahkan cenderung dingin setiap kami berpapasan dengan para pemuda di kampungku yang menyapanya dan curi-curi pandang ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta dari Gus Zaka (TERBIT)
Teen FictionRasa takut selalu menjalar setiap aku menatapnya. Di mataku, ia tak lebih merupakan sosok menakutkan yang selalu membuatku gemetaran. _Nabila Salwa_ Di usia yang sudah menginjak angka tiga puluh ini, sudah berapa kali mengalami jatuh cinta? Jika ada...