Prolog

73 6 0
                                    

  Sebelum garis wajah menutup garis hidupku, aku ingin merasakan nikmatnya semesta yang satu.
  
Satu kali pun tak apa untuk kuberistirahat sejenak sebagai tanda jeda dalam menjalankan pelik hidup.

Tiada kebahagiaan yang sempuna didunia ini. Pasti adakalanya seseorang merasa dirinya terjebak di sebuah lembah hitam dan tak tahu jalan untuk kembali. Adakalanya juga mereka mendapatkan sebuah kenangan yang berakhir dengan sebuah penyesalan. 

Di sini, aku hanya ingin mengungkapkan keluh kesahku selama ini. Tiada tempat untuk ku berbagi cerita, jika kau, sang pembaca sedang bertanya mengapa. Dan ini, salah satu caraku.

Aku adalah orang yang menentang keberadaan masa lalu. Keberadaannya seakan mengulat tanpa tahu tempat dan waktu. Aku selalu dibuat bingung dengan masa kelam yang telah berlalu itu. Mengusikku sewaktu-waktu yang bahkan hatiku tidak sedang terasa sendu. Aku menggaris bawahi bahwa masa lalu adalah kutukan untukku. Mereka yang ku inginkan dan tak kuinginkan muncul dengan tiada aba. Bercampur menjadi satu seperti jus. Jika pun takaran tidak pas maka rasanya akan hambar, terlalu manis, atau bahkan pahit. Itulah mengapa aku tidak suka dengan masa lalu. Terlalu egois!

Hidupku selalu menyedihkan jika disandingkan dengan masa lalu. Mulai dari pembullyan terhadapku, hinaan orang dengan alasan yang masih remang, tersisihnya aku dari keluarga ibu maupun dari keluarga ayahku, teraniayanya aku yang keluar menjadi anak pertama yang harus merasakan dulu ketidakdewasaan orang tua, penyesalan atas kematian ayahku, hingga memiliki mantan pun ku permasalahkan.

Terlalu banyak sekali ya ternyata hujan badai yang menerjangku. Hahaha :-)

Yeah, Semua menimpaku dalam kurun waktu yang lama alih alih membunuhku secara perlahan menggunakan barisan kata berupa sindiran dan makian. Itu sungguh menyakitkan dari pada menggunakan senjata. Hari-hariku bertebar senyum paksaan yang tak pernah ku inginkan. Hingga bertingkah konyol untuk membuat mereka tertawa agar tak ikut tahu atas deritaku.

Aku hanyalah gadis yang menginginkan sepucuk saja perhatian, bukan cari perhatian. Aku hanya ingin diakui keberadaanku. Itu saja. Aku juga tak butuh pujian apapun, karena aku pun tak suka dengan pujian. Aku hanya ingin ketulusan mereka.

Dan juga, Aku tak ingin disakiti, karena sudah cukup kesekian ini mereka mengoyak hati dengan bibir lancip yang dimiliki.

Sekali lagi aku ingin memiliki kehidupan yang baik. Tentu saja nantinya aku juga menginginkan pasangan yang tebaik juga di masa depan.

Kau tahu?
Aku itu sangat matre. Haha :-D

Cukup sampai di sini curahan hati yang membosankan dariku. Jika terus dilanjutkan, kau akan semakin hanyut penasaran.

Siapapun yang menemukan selembar gulungan kertas ini, aku harap kamu, yang menemukannya, jangan sepertiku yang egois terhadap alur hidup. Bebanku terlalu berat karena mungkin juga berawal dari perbuatanku sendiri. Berpikirlah sebelum melakukan sesuatu, janganlah justru sebaliknya.
Aku harap kita tidak ditakdirkan bertemu, karena itu akan membuat hening canggung.

Terakhir, aku berpesan jangan paksakan tersenyum disaat dirimu terasa hancur. Pada dasarnya sesuatu yang terpaksa tak akan berakhir bahagia. Jika memang perlu, ceritakan keluh-kesahmu pada seseorang yang benar-benar peduli, bukan hanya ingin tahu tentangmu. Ingatlah, Mengasah pisau pada tengkuk bukan akhiran solusi yang satu.

Terima kasih telah menjadi pembaca dan pendengar yang kasat walaupun tak tahu dimana singgahmu berada.

Kini aku lega.

Larva


  Lembar kertas bercoretkan deretan kata hasil dari curahan hati seorang gadis remaja itu kemudian digulung lalu dimasukkan pada botol yang berada digenggamnya. Ia menghela napas berat sembari menatap gulungan ombak yang kini menjadi objek utamanya, sebelum akhirnya menghanyutkan botol harapan yang telah ia rangkai dengan ratusan manik manik kata.
 
  Botol telah hanyut terbawa arus air. Segala keluhnya telah terbinasakan oleh gelombang air laut. Sekarang waktunya ia melegakan rasa yang telah terganjal oleh batu besar yang sudah belasan tahun menekannya. Betapa sakit hatinya menahan batu itu selama ini sebelum akhirnya hancur menjadi kerikil dan tinggal menyapunya.
 
  Di tepi pantai Kenjeran, Surabaya,gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berusaha untuk kembali tersenyum. Bukan untuk dipaksa tapi untuk memulai kembali senyum ceria yang menjadi titik pandang.
 
Sebelum beranjak pergi, gadis itu mengatur napas untuk berkata, " Atas namaku, Jinggala Dhatu Aswarani, aku berterima kasih pada semesta. Karenamu aku bisa mengambil hikmah dari segalanya walau tak semua. Berkatmu aku masih menghirup udara untuk sebatas hidup. Aku akan menambah semangat sebagai bekal untuk syukur atas karuniamu."
  
Bersama hawa terang, gadis bernama panggilan Jingga itu mengakhirinya dengan senyum tulus, bukanlah senyum palsu lagi. Kini ia bisa berjalan dengan tenang untuk kembali ke sekolah. Tiada wajah kusut lagi untuk mengawali aktivitas setelah semua kembali menjadi sedikit lebih baik.
  
Seiring perjalanan Jingga untuk kembali, dengan kaki yang masih menapak pada pasir putih pantai, ia tiba-tiba berhenti. Dari arah depan sekitar berjarak satu meter dihadapan Jingga, seorang remaja laki-laki yang juga memakai seragam yang sama sedang berdiri dengan gaya tangan yang dimasukkan pada saku celana.

Suolow 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang