Selagi menunggu Shen Qingqiu menyelesaikan pekerjaannya, Luo Binghe duduk tenang di kursi sambil memandangi hujan turun. Melihat bagaimana rintik hujan membasahi kaca jendela dan mengalir turun ke bawah, membuat jari Luo Binghe terjulur dan mengikut arah gerak rintik hujan tersebut.
"Kamu sedang apa?" tanya Shen Qingqiu yang telah menyelesaikan kerjanya dan duduk di samping Luo Binghe.
"Ah, Shizun...."
Luo Binghe diam sejenak sebelum berkata, "Tidak ada, hanya melihat langit hujan."
Shen Qingqiu melihat sebentar langit gelap yang menumpahkan isinya. Begitu gelap. Air yang membasahi kota pun sangat deras.
"Hujan yang menyebalkan," gerutu Shen Qingqiu.
Alis Luo Binghe terangkat, "Shizun tidak suka hujan?"
"Sedikit. Kalau kamu?"
"Aku menyukainya. Hujan terlihat romantis bagiku."
Alis Shen Qingqiu berkerut. Romantis? Dari mananya?
Seolah tahu isi pikiran Shen Qingqiu, Luo Binghe menjawab, "Aku tidak tahu bagaimana dengan shizun, tapi saat aku melihat hujan, aku merasa damai. Aku juga ingat kenangan ayah dan ibu sebelum mereka meninggal. Mereka suka mengajakku ke taman dan berkata, "hujan itu indah""
Shen Qingqiu diam mendengarkan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Luo Binghe.
"Shizun?"
"Aku memang kurang suka hujan. Gelap, basah, berisik. Tapi, setelah hujan...,"
Shen Qingqiu dan Luo Binghe melihat kembali langit. Hujan deras perlahan mereda. Langit gelap kembali terang.
"Ada pemandangan indah. Aku suka itu. Bagaimana denganmu?"
Luo Binghe terdiam. Ia tidak menyangka Shen Qingqiu akan berkata begitu. Seulas senyum hangat terukir dibibirnya.
"Menurutku, Shizun lebih indah."
Wajah Shen Qingqiu memerah. Tersipu malu dengan pujian Luo Binghe yang tiba-tiba.
END
Pontianak, 15 Desember 2019